Pelaku Ditahan Tak Berarti Kasus Usai, Korban Perdagangan Anak Trauma Seumur Hidup
Merdeka.com - Anak-anak yang menjadi korban perdagangan orang tidak akan pernah bisa melupakan kejadian pahit yang menimpa dirinya. Rasa takut, malu, minder, dan perasaan tak menyenangkan lain yang dialami saat peristiwa pahit itu berlangsung bisa menimbulkan trauma seumur hidup.
Dari sudut pandang ini, meskipun pelaku sudah ditahan, kondisi korban perdagangan anak tidak bisa pulih seperti sediakala, khususnya berkenaan dengan mentalnya. Hal ini dialami oleh Mawar (15) dan Melati (16), korban perdagangan anak melalui praktik prostitusi daring di sebuah hotel di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 2020 lalu. Praktik prostitusi daring itu berlangsung selama sebulan sebelum akhirnya digerebek Polsek Sleman, yakni terhitung sejak 2 Februari 2020 hingga 6 Maret 2020.
Selanjutnya, proses hukum terhadap pelaku prostitusi daring bernama Ismu Sundarto (IS) berlangsung pada Maret hingga Mei 2020. Selama proses hukum berlangsung, Mawar dan Melati tinggal di rumah aman dan mendapat fasilitas pendampingan dari Rifka Annisa Women’s Crisis Center (RAWCC). Konselor Hukum RAWCC, Arnita Ernauli Marbun (28), yang mendampingi Mawar dan Melati mengungkapkan, selama di rumah aman, setiap kali menjumpai pria dengan postur tubuh mirip pelaku, keduanya ketakutan.
-
Kenapa anak itu trauma? Tak hanya luka bakar yang tak kunjung sembuh, kini korban mengalami trauma atas kejadian yang menimpanya “Aku kan biasanya buka jendela kalau pagi-pagi. Terus dia takut, 'jangan dibuka, aku takut kalau dibakar. Itu ada orangnya.' Jadi dia kayak trauma gitu“
-
Mengapa anak korban kekerasan rentan panik? Kekerasan yang dialami anak tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga dapat menimbulkan trauma yang mendalam pada aspek psikologis mereka. Trauma ini berpotensi menyebabkan masalah mental, seperti serangan panik dan depresi, yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari anak.
-
Kenapa anak korban merasa sedih? 'Ma? Cepet banget perginya? Yeyen Nakal ya? Yeyen minta maaf ya ma sudah jadi anak yang kurang baik. Mama enggak perlu mikirin Yen lagi ya, di sini Yen baik. Mama baik di sana ya, Yen sayang banget sama mama,' tutur dia.
-
Apa saja dampak trauma pada anak? Trauma dapat menyebabkan anak mengalami berbagai masalah, seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan kesulitan berkonsentrasi.
-
Apa saja efek psikologis anak korban perang? Anak-anak yang menjadi korban perang seringkali mengalami berbagai efek psikologis yang serius sebagai akibat dari pengalaman traumatis yang mereka alami.
-
Kenapa broken home bisa berdampak pada kesehatan mental anak? Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memahami dan mengatasi perasaan mereka tentang perceraian orang tua.Mereka juga mungkin mengalami rasa kehilangan, ketidakamanan, dan kebingungan tentang kedua orang tua mereka.
Mawar dan Melati bukan satu-satunya korban perdagangan anak di Yogyakarta. Selama enam tahun terakhir, sudah lebih dari 10 korban perdagangan anak yang didampingi RAWCC. Arnita mengatakan, di luar korban yang didampingi RAWCC bisa jadi banyak kasus serupa yang tak terungkap.
Berdasarkan data RAWCC, sebagian besar pelaku perdagangan anak menggunakan modus tawaran pekerjaan untuk melancarkan aksinya. Dari modus tersebut, para korban kemudian dijerumuskan dalam praktik prostitusi daring.
Selain tawaran pekerjaan, RAWCC baru menemukan satu modus lain yakni tawaran sekolah gratis. Sampai liputan ini ditulis, proses hukum dugaan kasus perdagangan anak dengan modus tawaran sekolah gratis itu masih berjalan, sehingga cerita mengenai korban belum bisa diungkap ke publik.
Akibat kejahatan kemanusiaan tersebut, Mawar, Melati, dan para korban perdagangan anak lain mengalami trauma sepanjang hidupnya. Dampak psikologis yang mereka alami tidak serta merta hilang meskipun pelaku sudah dihukum.
Hukuman Tersangka Lebih Ringan
©2021 Merdeka.com/Rizka Nur Laily Muallifa
Ismu Sundarto (26) alias Novan, tersangka kasus prostitusi daring yang melibatkan Mawar dan Melati dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ia terbukti melakukan TPPO dengan modus tawaran pekerjaan sebagai pramuniaga toko dan LC terhadap Mawar, Melati, dan 5 perempuan dewasa lain.
Pria asal Gunung Kidul, DIY, itu diganjar putusan hakim Pengadilan Negeri (PN) Sleman dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp60 juta subsider satu bulan kurungan. Hukuman tersangka ini lebih ringan dari tuntutan yang diajukan pihak korban.
“Kami mengajukannya Undang-Undang TPPO juncto UU Perlindungan Anak, hasil putusannya dikenai TPPO aja,” terang Arnita.
Sejak Juli 2020, terpidana Ismu Sundarto menjalani hukuman kurungan di Polsek Sleman. Terpidana Ismu kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman dan ditahan di Lapas Kelas IIB Sleman. Keberadaan Ismu di Lapas tersebut tidak lama, ia kemudian dipindahkan ke Lapas Kelas IIA Yogyakarta. “Hanya 2 atau 3 bulan di sini, lalu ada masalah hutang-piutang dan dipindahkan ke Lapas Kelas IIA Wirogunan di Jalan Taman Siswa,” terang Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kelas IIB Sleman, Erik Murdiyanto (35), di Sleman, Senin (29/3).
Sementara itu, Merdeka tidak berhasil menemui terpidana Ismu untuk menyimak cerita kejahatan kemanusiaan dari sudut pandangnya. Pasalnya, setiap media yang hendak meliput diharuskan mengantongi izin tertulis dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Kepala KPLP Lapas Kelas IIA Yogyakarta, Suyadi di Yogyakarta (29/3/2021) menegaskan, setiap media tak yang hendak mewawancarai Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) alias tahanan tidak cukup hanya membawa surat permohonan wawancara yang ditujukan kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta atau Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana ditahan.
“Kami mohon maaf tidak bisa memenuhi permintaan untuk wawancara, bukannya kami tidak mau, tapi prosedurnya memang begitu. Semua media harus izin dulu ke DitjenPas di Jalan Veteran (Jakarta),” ujar Suyadi. Sedangkan mengurus izin administratif hingga tingkat pusat membutuhkan waktu cukup lama. Sehingga liputan ini tidak bisa menyertakan cerita perdagangan anak dari sudut pandang pelaku.
Selanjutnya, meskipun terpidana sudah mendapat ganjaran akibat perbuatan kriminalnya, kasus perdagangan anak tidak lantas selesai sampai di situ, khususnya dari sisi korban. Korban Mawar dan Melati mengalami trauma mendalam yang tak bisa dilupakan seumur hidupnya. “Yang aku lihat sepanjang masa pendampingan, mereka takut sama orang yang mirip pelaku, yang postur tubuhnya mirip pelaku,” ungkap Arnita.
Sebagai informasi, di antara keduanya hanya Mawar yang mengalami eksploitasi seksual dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK). Sementara itu, Melati tidak mengalaminya karena ia dipekerjakan sebagai admin yang bertugas mengatur transaksi haram tersebut.
“Yang jadi korban, ini menurut pengamatan teman-teman Konselor Psikologi yang mendampingi juga, malah jadi sexual active. Dan ini yang kami khawatirkan. Kalau sudah begitu, meskipun proses pendampingan selesai dan menurut hasil assessment sudah siap dipulangkan, nggak ada jaminan dia nggak mengulangi lagi di tempat lain,” imbuhnya.
Arnita menjelaskan, korban Mawar menjadi aktif secara seksual sebagai dampak dari praktik prostitusi daring. Salah satu faktor pemicunya yakni lantaran aktivitas seksual yang ia lakukan di masa lalu bisa menghasilkan uang secara cepat. Faktor pemicu itu semakin relevan di tengah keterbatasan ekonomi yang dialami Mawar dan keluarganya.
Tantangan Pendampingan Korban
Lebih lanjut, Arnita menceritakan, mendampingi korban tindak pidana perdagangan anak memiliki tantangan tersendiri. “Menjelaskan ke mereka kalau kamu ini jadi korban perdagangan orang, posisimu bahaya, jadi kamu harus kami tolong, itu aja susah. Belum lagi mengatasi kebosanan, kejenuhan mereka, bisa seharian penuh mereka mengeluh bosan,” jelasnya.
Senada, National Project Officer, Counter Trafficking and Labour Migration International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Gita Agnestasia melalui keterangan tertulis yang diterima Merdeka, Rabu (30/3/2021), menjelaskan, dalam beberapa kasus, korban anak-anak tidak stabil secara emosional, mereka bisa dengan mudah mengubah perasaan dan keinginannya. Maka, bantuan yang diberikan harus disesuaikan dengan masing-masing korban.
Dalam kasus Mawar dan Melati, selama sekitar tiga bulan di rumah aman, keduanya difasilitasi dengan beberapa kegiatan pemberdayaan seperti memasak, menjahit, dan tata rias. Para konselor RAWCC mengarahkan korban untuk menekuni hobinya. Tujuannya, begitu proses pendampingan korban dan kasus hukum selesai, mereka bisa kembali ke tengah masyarakat dalam kondisi berdaya sosial dan ekonomi.
Tidak hanya itu, sampai liputan ini ditulis, pendampingan terhadap korban Mawar dan Melati masih berlanjut. Kini, pendampingan terhadap korban dilakukan oleh Dinas Sosial (Dinsos) di masing-masing daerah tempat tinggal korban. Di sisi lain, RAWCC juga masih terus memantau kondisi para korban melalui komunikasi dengan Dinsos dan keluarga korban.
“Belum lama Dinsos sana telepon, tanya ke Rifka (RAWCC, red), apakah korban Melati kembali ke Jogja, soalnya dia kabur dari rumah. Terus, kakak Mawar juga telepon ke saya, minta tolong supaya memberitahu korban untuk tidak mengulangi apa yang pernah dilakukan dulu (hubungan seksual). Nah, kalau sudah begitu kan kami nggak bisa ngapa-ngapain. Kalaupun kami ada di sana juga nggak bisa berbuat apa-apa,” ungkap perempuan kelahiran Yogyakarta itu.
Menurut Arnita, dampak paling nyata dan berkelanjutan yang dialami korban perdagangan anak ialah hilangnya konsep diri. Para korban yang terlibat praktik prostitusi potensial mengulangi perbuatannya lantaran praktik tersebut membuat mereka mendapatkan uang secara cepat.
Senada, saat melakukan penelitian mengenai anak-anak yang dilacurkan di Kota Surabaya, Jawa Timur sepanjang 2014-2020 Yayasan SAMIN (Serikat Anak Merdeka Indonesia) menemukan kecenderungan itu.
“Anak-anak itu, ya usianya sekitar 15-17 tahun, mereka sama-sama menyewa apartemen untuk menghindari penggerebekan di hotel-hotel. Nanti biaya sewa apartemennya dibagi rata, kira-kira per orang Rp500 ribu per bulan. Itu kan termasuk mudah bagi mereka, wong mereka sebulan aja bisa dapat berapa dari pelanggan (pengguna jasa seks, red). Ya dibuat hidup sehari-hari, beli kuota, beli apa gitu,” ungkap Fathuddin Muchtar di Bantul, Jumat (12/3/2021).
Pencegahan dan Penanggulangan
©2021 Merdeka.com/Rizka Nur Laily Muallifa
Lebih lanjut, saat ini RAWCC menjadi satu-satunya lembaga yang sedang melakukan pendampingan korban perdagangan anak di Yogyakarta. Dalam lima tahun terakhir, data korban perdagangan anak yang didampingi RAWCC menunjukkan peningkatan. Jumlah korban terbanyak terjadi pada 2020 yakni lima orang. Sebelumnya, pada 2016 ada 2 korban, 2017 sebanyak 3 korban, dan 2018 sebanyak 1 korban.
Pada 2019, data yang dirilis Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY di aplikasi SIGA DIY menyebut ada 5 korban perdagangan orang di wilayah setempat yang terdiri dari perempuan dan anak-anak. Namun, data tersebut tidak merinci jumlah korban perdagangan orang yang berusia anak-anak.
Dihubungi terpisah, Suster Catharina dari Yayasan Gembala Baik Yogyakarta menceritakan pembentukan Jaringan Talitha Kum Yogyakarta, jaringan yang berfokus pada isu perdagangan orang. Jaringan yang terbentuk pada 26 Januari 2021 itu terdiri dari lima LSM, yakni Yayasan Gembala Baik, Rifka Annisa, Yayasan SAMIN, Indriya Nati dan Lembaga Kita.
Kini Jaringan Talitha Kum Yogyakarta masih melakukan upaya-upaya memperkenalkan jaringan kepada masyarakat. “Bertepatan dengan Women’s Day kemarin, 8 Maret, kami siaran di radio, memperkenalkan jaringan biar pelan-pelan dikenal orang. Biar nanti kalau ada kasus (perdagangan orang), masyarakat bisa memberi info ke kami,” ujar Suster Catharina melalui sambungan telepon, Jumat (12/3/2021).
Ke depan, selain melakukan fungsi penanganan kasus perdagangan orang, Talitha Kum juga akan memaksimalkan upaya-upaya pencegahan. Selanjutnya, Talitha Kum bersama Jaringan Nasional Anti Perdagangan Orang menjalin kerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) Indonesia untuk melakukan advokasi kebijakan.
Sebelum terbentuk Jaringan Talitha Kum Yogyakarta, secara terpisah Rifka Annisa dan Yayasan SAMIN sudah melakukan upaya-upaya pencegahan perdagangan orang seperti penyuluhan dan pendampingan komunitas. “Di Bantul dan Sleman ada 2 atau 3 desa yang kami dampingi. Memperkuat kohesi sosial masyarakat. Lalu, di kantor kelurahan diberi pemahaman jangan sekali-kali menaikkan usia dalam KTP,” ujar Fath, panggilan akrab Fathuddin Muchtar.
Senada, Ketua Pelaksana P2TPAKK RDU DIY, Sri Maryani SH, M.Hum (60), menjelaskan, sejak tahun 2014 Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY menyikapi banyaknya isu perdagangan orang melalui upaya pencegahan. “Karena apa, kalau trafficking itu kan sindikat. Harus ada proses, cara mungkin dengan penipuan, tipu daya dan lain sebagainya, serta untuk tujuan eksploitasi. Tapi kalau anak, hanya ada proses ada tujuan sudah bisa dikatakan perdagangan orang,” ungkapnya di Yogyakarta, Selasa (23/3).
Maryani menambahkan, sebelum adanya Perda Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Terhadap Korban Perdagangan Orang, Pemprov DIY pernah menggelar sosialisasi antisipasi perdagangan orang untuk seluruh kepala desa di wilayah setempat. “Intinya jangan sampai lurah itu memalsukan dokumen, menaikkan umur di KTP, mengubah status dari nikah menjadi lajang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Maryani mengungkapkan, kasus perdagangan anak di Yogyakarta sangat jarang dijumpai. Tapi, beberapa kali pihaknya menemui indikasi yang merujuk pada unsur-unsur perdagangan orang. Sementara itu, penetapan indikasi kasus yang ditemukan termasuk TPPO atau tidak menjadi kewenangan Polda DIY.
Selama 14 tahun terakhir, terhitung sejak 2006-2020, Polda DIY menangani 8 (delapan) kasus perdagangan orang. Semua kasus tersebut merupakan praktik prostitusi daring di mana seluruh korbannya ialah perempuan dewasa.
Penyidik Unit TPPO Polda DIY, Ipda Nanang Kencoko Pamungkas mengungkapkan, seluruh kasus perdagangan orang yang ditangani Polda DIY sepanjang 2006-2020 terkuak saat institusi penegak hukum itu melakukan razia hotel sebagai pelaksanaan Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat). “Dari pihak sini (Polda, red) pasang umpan, entah kontakan sama muncikari atau PSK-nya, dari situ bisa diselidiki benar tidak ini kasus perdagangan orang. Itu awalnya,” ujarnya ditemui di ruang kerjanya, Kamis (25/3/2021).
Pada Juli 2020 misalnya, Polda DIY melakukan razia di Hotel Grand Tjokro Yogyakarta dan mendapati dua laki-laki dan dua perempuan telanjang bulat. Mereka berempat mengaku telah melakukan persetubuhan. Sementara itu, kedua perempuan tersebut mengaku telah dijual oleh seorang muncikari bernama Andre Destian Saputra. Tahun-tahun sebelumnya, Polda DIY juga menangkap para pelaku perdagangan orang saat melakukan razia di hotel-hotel di wilayah kerjanya.
Sementara itu, meskipun angka kasus perdagangan anak di DIY terbilang kecil, LSM-LSM yang tergabung dalam Jaringan Talitha Kum Yogyakarta menduga ada lebih banyak korban perdagangan anak yang tidak diketahui.
“Aku menemukan ini di Rifka, bisa jadi lebih banyak yang terjadi di luar dan tidak ketahuan. Pernah kami menangani kasus yang si korban ini sudah disekap selama delapan tahun. Itu pun waktu di proses hukum susah karena melibatkan sindikat, nggak ketahuan pelakunya. Jadi kurasa banyak,” ungkap Arnita.
Seroja (20) menjadi korban perdagangan anak sejak usianya masih 12 tahun. Selama delapan tahun itu, ia diminta melayani para pria hidung belang. Kejadian pahit yang menimpa Seroja sulit diungkap karena melibatkan sindikat. Saat kabur ke pemukiman warga di sebuah kampung di Yogyakarta, kondisi Seroja sudah linglung. “Dia lari ke permukiman, minta tolong warga. Kondisinya sudah linglung gitu,” terang Arnita.
Selama delapan tahun itu Seroja selalu dalam pengawalan. Suatu hari Seroja diminta membeli meterai tanpa ada pengawalan. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur dan meminta tolong warga. Si penolong inilah yang akhirnya mengantar korban ke RAWCC guna mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis.
Senada, Fath dari Yayasan SAMIN menduga ada kasus perdagangan anak di DIY, terutama di Kota Yogyakarta. Mengingat kota ini merupakan tujuan wisata. “Dugaan kami di Jogja banyak modus trafficking. Trafficking secara hukum mungkin tidak ditemukan, tapi secara modus ada,” tandasnya. (mdk/rka)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Korban diperkosa saat membeli jajan di toko milik pelaku
Baca SelengkapnyaIni mempertimbangkan kerugian dan dampak negatif yang dialami korban dan tidak jarang bersifat permanen.
Baca SelengkapnyaSekali anak mengalami kekerasan, hal ini akan menempel di otak mereka dan menimbulkan dampak yang tak bisa disepelekan.
Baca SelengkapnyaAnak-anak korban perang menerima dampak psikologis yang memprihatinkan
Baca Selengkapnya