Tetap Buka saat Pandemi, Sekolah Gajahwong Ajarkan Kemandirian di Tengah Keterbatasan
Merdeka.com - Seperti tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945, pendidikan merupakan jaminan yang wajib diberikan oleh negara kepada seluruh warganya.
Namun nyatanya, saat ini masih banyak warga negara yang belum mendapatkan hak pendidikannya secara layak. Adanya pandemi Covid-19 makin membuat sistem pendidikan semakin sulit dijangkau kalangan bawah. Pasalnya, penggunaan sejumlah perangkat tambahan seperti gadget, laptop, dan koneksi internet belum bisa dijangkau semua kalangan.
Kenyataan tersebut mendasari Sekolah Gajahwong untuk memperjuangkan hak dasar pendidikan bagi anak-anak pemulung serta pekerja jalanan di kawasan Kampung Ledhok Timoho RT 50/05 Muja Muju, Kota Yogyakarta.
-
Kenapa anak-anak di Desa Gabus Serang harus seberangi sungai? Mereka harus sebrangi Sungai Cidurian menggunakan rakit bambu lantaran tak ada fasilitas jembatan.
-
Bagaimana anak-anak Desa Gabus Serang seberangi sungai? Rakit ini hanya bisa menampung enam sampai tujuh orang, dengan resiko tinggi. Pasalnya rakit bambu hanya dibuat ala kadarnya, sebagai alat penyeberangan utama. Untuk menggerakannya, seorang operator menarik tali baja yang membentang dari masing-masing ujung Sungai Cidurian.
-
Apa yang digunakan anak-anak di Desa Gabus Serang untuk seberangi sungai? Mereka harus sebrangi Sungai Cidurian menggunakan rakit bambu lantaran tak ada fasilitas jembatan.
-
Apa saja program yang dilakukan Banyuwangi untuk mengatasi anak tidak sekolah? Selain menerapkan kebijakan zero drop out, Banyuwangi juga menggelontorkan berbagai program untuk menekan anak tidak sekolah. Di antaranya program Akselerasi Sekolah Masyarakat (Aksara), untuk memfasilitasi warga berusia dewasa mengikuti pendidikan kesetaraan, terutama kesetaraan SMP (paket B) dan SMA (paket C).
-
Siapa yang membantu siswa SD menyeberangi sungai? Dandim 1501/Ternate Letkol Arm Adietya Yuni Nurtono membenarkan ada anggotanya yang sukarela membantu siswa SD menyeberangi sungai karena jalur itu merupakan jalan pintas dibanding memutar sejauh 1,3 kilometer.
-
Siapa yang bisa bantu anak sekolah? 'Jika anak sering mengeluhkan sekolah, keluhan mereka harus dianggap serius,' kata Dr. Jenn Mann. Orangtua harus mendengarkan dan memahami apa yang dirasakan anak mereka.
Berada di bantaran sungai Gajahwong, sekolah yang diprakarsai oleh Team Advokasi Arus Bawah (TAABAH)itu mencoba mengubah keadaan anak-anak yang kurang beruntung di tengah keadaan yang serba terbatas.
“Di Sekolah Gajahwong rata-rata muridnya berumur 3 sampai 7 tahun, dengan latar belakang orang tua sebagai pekerja jalanan seperti pemulung, pak ogah, hingga para penjaga warung,” ujar Vera, salah satu pegiat pendidikan di Sekolah Gajahwong kepada merdeka.com.
Memberikan Pendidikan di Tengah Keterbatasan
©2021 Merdeka.com
Vera mengungkapkan, pandemi Covid-19 membuat proses pendidikan yang diajarkan di sekolah tersebut menjadi cukup terhambat.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah keterbatasan komunikasi, mengingat para wali murid di sekolah tersebut tak semuanya menggunakan smartphone. Selain itu, pihaknya juga kesulitan saat memantau perkembangan materi yang sudah diajarkan.
“Dengan adanya pandemi ini otomatis sekolah harus menerapkan pembatasan. Sekolah pun harus berbagi peran dengan orang tua di rumah agar proses pengajaran bisa tetap terstimulasi dan maksimal. Namun saat kita bikinkan jadwal pendidikan ternyata tidak maksimal. Orang tua banyak yang kesulitan dalam mengaksesnya karena banyak yang tidak bisa baca tulis,” tutur perempuan yang menggemari aktivitas sosial kemasyarakatan tersebut.
Penegakan Protokol
©2021 Merdeka.com
Sekolah Gajahwong mengajarkan sejumlah materi di luar pendidikan formal seperti pendidikan emosional diri, kepemimpinan, ekologi, sampai kemandirian untuk kelestarian alam. Sekolah ini pun terus mencoba menerapkan berbagai metode pendidikan agar anak-anak tersebut bisa menerima pengajaran dengan utuh di tengah pandemi.
Agar pelaksanaan pendidikan tetap berjalan, akhirnya metode belajar tatap muka dengan protokol ketat pun dipilih setiap seminggu sekali dengan tetap menjaga jarak serta mengenakan masker.
“Untuk saat ini, anak-anak mengambil metode pendidikan di sekolah seminggu sekali dengan mengenakan masker, cuci tangan serta diatur jadwal masuknya setiap 10 menit sekali untuk pelajar soal emosional dan kepemimpinan, termasuk presentasi karya (karena harus tatap muka),” ujar Vera.
Membawa Misi Kemandirian bagi Anak Pekerja Jalanan Jogja
©2021 Merdeka.com
Vera mengungkapkan jika saat ini visi sekolah Gajahwong masih sama, yakni terus berupaya mengangkat mimpi anak-anak didiknya agar bisa memiliki kehidupan yang lebih baik.
Banyak dari konsep pendidikan yang diadopsi untuk memandirikan anak-anak tersebut, salah satunya dengan 3 R (recycle, reuse, reduce).
Kemudian ada juga pelestarian bahasa Jawa, termasuk pengenalan bahasa Inggris serta pendekatan nilai-nilai pelestarian alam hingga saat dewasa mereka bisa sadar anak pentingnya lingkungan bagi kehidupan manusia.
Beberapa kegiatan lainnya juga diajarkan di sekolah Gajahwong, seperti menanam, melukis, hingga membuat permainkan yang membentuk karakter kreatif dari anak-anak tersebut.
“Goalsnya anak-anak harus bisa hidup mandiri, dengan tetap melestarikan lingkungan lewat pelajaran yang kami adakan,” terang Vera.
Bertahan di Tengah Keterbatasan
©2021 Merdeka.com
Sekolah Gajahwong saat ini memiliki 25 orang murid aktif dengan tiga orang pengajar yang bergantian memberikan materi pelajaran.
Terkait pembiayaan sekolah, Vera mengungkapkan jika sekolah juga terus mengupayakan terfasilitasinya metode pendidikan dengan beberapa pemasukan mandiri, mulai dari biaya mahasiswa penelitian, usaha peternakan, menjual pakaian layak pakai, donasi, hingga persewaan jasa angkut.
Vera juga menambahkan, saat ini sekolah tersebut masih membutuhkan sejumlah ruangan. Bangunan semipermanen yang saat ini dipakai bocor di beberapa bagian. Pihak sekolah sendiri masih kesulitan melakukan renovasi karena terhalang hak kepemilikan tanah serta biaya.
“Harapan dari Sekolah Gajahwong sendiri sebisa mungkin di sini kita memfasilitasi anak-anak dengan baik, dan penunjang di sini juga semoga lebih baik ke depannya karena pendidikan seperti yang diajarkan di sini merupakan pondasi agar mereka lebih baik dari keadaan orang tuanya sekarang,” harapnya.
(mdk/nrd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Setiap hari mereka menyeberang sungai itu tanpa didampingi orang tua
Baca SelengkapnyaSetiap hari anak-anak di kampung ini harus bertaruh nyawa untuk menuju sekolah menggunakan rakit, lantaran tak ada akses jembatan.
Baca SelengkapnyaBeberapa sekolah kekurangan siswa. Namun kegiatan belajar mengajar tetap berjalan.
Baca SelengkapnyaGanjar Pranowo berkomitmen untuk menghadirkan sekolah gratis se-Indonesia untuk masyarakat yang kurang mampu.
Baca SelengkapnyaAnak putus sekolah di Banyuwangi hanya 2,08 persen dan menjadi salah satu terendah di Jatim.
Baca SelengkapnyaBahkan, para guru ini harus menggunakan perahu untuk menuju ke tempat sekolah tersebut.
Baca SelengkapnyaSejumlah sekolah di Kabupaten Demak menerapkan pembelajaran secara daring atau online.
Baca SelengkapnyaAnak-anak terpaksa digendong warga agar sepatu dan baju mereka tidak basah saat melintasi sungai Regoyo.
Baca SelengkapnyaPerjalanan bertaruh nyawa itu terpaksa ditempuh para pelajar SD di dua desa karena akses menuju sekolah hanya melalui jembatan rusak tersebut.
Baca SelengkapnyaSebanyak 18 siswa kelas 1 di SDN 02 Desa Tanjung, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kabupaten Kampar, Riau belajar di ruangan bekas water closet (WC).
Baca SelengkapnyaPerempuan asal Jakarta Timur ini rela memberikan ilmunya secara cuma-cuma kepada anak-anak pemulung di wilayah TPU Pondok Kelapa.
Baca Selengkapnya