13 Desember: Penandatanganan Deklarasi Djuanda, Cikal Bakal UU Perairan Indonesia
Merdeka.com - Deklarasi Djuanda dicetuskan pada 13 Desember 1957 oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia yang menjabat kala itu. Hari ini, bertepatan dengan 64 tahun berlalunya sejak deklarasi tersebut ditandatangani, kami ingin mengajak Anda untuk memahami kembali isinya.
Deklarasi Djuanda secara umum menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.
Sebelum adanya Deklarasi Djuanda, batas-batas wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Namun ketentuan hukum ini sangat rawan konflik yang mengancam keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Untuk itu, Deklarasi Djuanda dicetuskan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kritis ini.
-
Siapa pahlawan nasional pencetus Deklarasi Djuanda? Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Surabaya dan menghiasi gambar uang pecahan Rp50 ribu. Biografi Singkat Djuanda Kartawidjaja lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 14 Januari 1911 dari pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat.
-
Apa isi Deklarasi Djuanda? Dalam deklarasinya, ia menegaskan bahwa laut Indonesia adalah laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia. Wilayah laut tersebut menjadi satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
-
Kapan Djuanda Kartawidjaja lahir? Biografi Singkat Djuanda Kartawidjaja lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 14 Januari 1911 dari pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat.
-
Siapa yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Siapa presiden pertama Indonesia? Siapa nama presiden pertama Indonesia?Jawaban: Ir. Soekarno
-
Siapa Bapak Persandian Republik Indonesia? Mayjen TNI (Purn) dr. Roebiono Kertopati lahir pada 11 Maret 1914 di Ciamis, Jawa Barat dan wafaf di usia 70 tahun pada 23 Juni 1984.
Berikut ulasan selengkapnya mengenai Deklarasi Djuanda yang menarik untuk dipelajari.
Asal Usul Deklarasi Djuanda
Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut. Pulau-pulau di Indonesia terbentang dari ujung timur ke barat sejauh 6.400 km. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000 kilometer.
Luasnya wilayah Indonesia ini didominasi oleh laut, yang mengambil tempat hingga 80% dari keseluruhan wilayah. Dengan bentang geografis itu, luas wilayah Indonesia adalah 1,937 juta kilometer persegi daratan, dan 3,1 juta kilometer teritorial laut, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta kilometer persegi.
Dahulu, wilayah Indonesia ang baru merdeka sangatlah berbeda dengan kondisi saat ini. Wilayah laut Indonesia sebagai warisan Belanda hanya merupakan jalur laut selebar 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tersurut yang melingkari setiap pulau. Jika ditotal, maka luas keseluruhan wilayah laut Indonesia saat itu tidak sampai satu juta km persegi.
Di luar dari wilayah itu, statusnya merupakan perairan internasional atau laut bebas. Jadi secara hukum, pada saat itu laut hanyalah bertindak sebagai pemisah antar pulau-pulau yang ada di Nusantara. Jika menilik sejarah, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada zaman itu jalur laut selebar 3 mil dari bibir pantai tersebut didasarkan pada jarak tembak meriam yang tidak sampai 3 mil.
Dari segi hukum, ketentuan tentang lebar laut teritorial yang sangat sempit itu didasarkan pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, 1939), produk hukum zaman Hindia Belanda yang kemudian diteruskan dan diadopsi oleh Indonesia ketika baru saja merdeka, mengutip oseanografi.lipi.go.id.
Dalam perjalanan sejarah awal Indonesia merdeka, dirasakan bahwa ketentuan hukum laut tersebut (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939) ternyata sangat rawan terhadap keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Wilayah laut teritorial Indonesia tidak merupakan wilayah yang utuh, tetapi terpisah-pisah oleh perairan internasioal atau perairan bebas.
Wilayah perairan internasional yang berada di antara pulau-pulau Nusantara menjadi bebas dilayari atau dimasuki oleh kapal-kapal asing yang bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat merugikan atau mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Terjadinya pemberontakan di sejumlah daerah di Indonesia dan konflik politik dengan Belanda mengenai Irian Barat (Papua) yang belum terselesaikan saat itu menyebabkan masalah kewilayahan laut ini menjadi sangat genting, karena kapal-kapal perang asing bebas berkeliaran di antara pulau, sementara Indonesia tidak bisa mencegahnya lantaran kendala hukum dan sarana-prasarana.
Untuk menanggapi situasi kritis ini maka pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri RI yang ketika itu dijabat oleh Ir. Juanda Kartawijaya mendeklarasikan “Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia” yang nantinya dikenal sebagai “Deklarasi Juanda”.
Substansi Deklarasi Djuanda
Diumumkannya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 itu adalah upaya untuk memperkuat posisi dan kendali Indonesia atas wilayah perairannya. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State), sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.
Kemunculan deklarasi mengalami pertentangan internasional dari banyak negara yang sebelumnya bebas keluar masuk ke dalam wilayah Indonesia karena berbagai kepentingan. Namun jika ditelaah kembali, keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau Nusantara tentu merupakan sebuah hal yang amat janggal.
Hal tersebut karena penduduk antar pulau itu jelas-jelas masih berasal dari satu bangsa yang sama, sehingga adalah hal yang aneh jika sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya. Oleh sebab itu, muncullah gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia melalui Deklarasi Djuanda.
Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada waktu itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia, mengutip publikasi dari kemenparekraf.go.id.
Desakan itu juga didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Pertanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956.
Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi. Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Kabinet Djuanda. Sejalan dengan ketegangan yang terus terjadi antara Belanda dan RI, pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda.
Sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI. Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional 3 pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya. Sebagai alternatif terhadap RUU itu, disusun konsep ’asas negara kepulauan’
Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri memutuskan penggunaan ’Archipelagic State Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’.
Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut.
Dengan dikeluarkannya deklarasi tersebut berarti Ordonansi tahun 1939 yang merupakan warisan kolonial tidak berlaku lagi. Deklarasi Juanda lantas disahkan melalui UU No. 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan menggunakan ’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’archipelagic state’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia. (mdk/edl)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Surabaya dan menghiasi gambar uang pecahan Rp50 ribu.
Baca SelengkapnyaDengan disahkan UUPA, urusan pendaftaran hak atas tanah, landreform, dan hukum adat di Indonesia menjadi isu utama yang harus segera dijalankan.
Baca SelengkapnyaPeringatan ini berkaitan dengan rantai peristiwa penting yang menentukan arah perjalanan sejarah Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Baca SelengkapnyaTerbentuknya pemerintahan darurat di Pulau Sumatra menjadi momen penyambung hidup NKRI serta gelorakan semangat perjuangan melawan kolonial.
Baca SelengkapnyaBerikut potret Bapak Pendidikan Nasional saat dikunjungi oleh sosok penguasa Indonesia sebelum wafat.
Baca SelengkapnyaLambang negara Republik Indonesia Garuda Pancasila ternyata memiliki perjalanan panjang.
Baca Selengkapnya23 Agustus diperingati Hari Konferensi Meja Bundar yang menjadi sejarah penting kekuatan diplomasi Indonesia.
Baca SelengkapnyaAda sejarah penting di balik tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Baca SelengkapnyaNaskah proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) Tahun 1949 menjadi saksi bisu pemberontakan pasca kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaDengan insting jurnalistiknya, B.M. Diah memutuskan untuk memungut kembali naskah teks proklamasi yang asli dari tempat sampah.
Baca SelengkapnyaKolonel Soeprayogi, diangkat sebagai menteri urusan stabilisasi ekonomi oleh Presiden Sukarno, memainkan peran kunci dalam peraturan untuk pengambilan keputusan
Baca SelengkapnyaSidang kedua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945 merupakan momen krusial dalam sejarah awal Republik Indonesia.
Baca Selengkapnya