Ponpes dan Rumah Ibadah Pakai Listrik Surya, Suar Pemanfaatan Energi Ramah Lingkungan
Merdeka.com - Sudah belasan tahun Pondok Pesantren (Ponpes) Darussalam di Desa Saobi, Kecamatan Kangayan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk memenuhi kebutuhan listrik harian. Siapa sangka, pemanfaatan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) yang kini sedang dikebut pemerintah itu justru lahir dari keterbatasan.
Meskipun secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Sumenep, Desa Saobi tidak terletak di daratan Pulau Madura, melainkan di Pulau Saobi yang masuk wilayah Kepulauan Kangean. Dari pusat Kabupaten Sumenep, Pulau Saobi hanya bisa dicapai melalui perjalanan laut dengan waktu tempuh hingga belasan jam. Kondisi geografis inilah yang membuat Desa Saobi terlambat mendapat pasokan listrik PLN.
Di tengah kondisi serba terbatas, pada tahun 2003, Suharto Noer, pengasuh Ponpes Darussalam Saobi saat itu, berinisiatif memasang instalasi PLTS secara swadaya. Salah satu alasannya, komputer di ponpes beberapa kali rusak karena tegangan listrik yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sering tidak stabil.
-
Bagaimana Instalasi PLTS di Omah Joglo membantu penghematan biaya listrik? Dengan adanya PLTS ini, energi listrik untuk lampu dan pompa air sumur di Omah Joglo Tanjung dapat digantikan dengan sumber energi solar dari panel PLTS. Adanya instalasi itu mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 1.550 kg CO2/tahun dan melakukan penghematan biaya listrik sebesar Rp1.828.575 per tahun.
-
Dimana instalasi PLTS dibangun di Desa Donoharjo? Pembuatan Instalasi PLTS dilakukan di Omah Joglo Tanjung, Padukuhan Banteran.
-
Bagaimana cara PLTA Ketenger menghasilkan listrik? Air yang sudah tertampung di kolam selanjutnya dialirkan untuk menggerakkan turbin yang kemudian menghasilkan listrik.
-
Kenapa Desa Muara Enggelam menggunakan PLTS? Namun, mereka berhasil mengatasinya dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
-
Dimana PLTS PLN di IKN dibangun? PLTS yang berada di Sepaku, Penajam Paser Utara, ini ditargetkan rampung dan beroperasi pada Mei 2024.
-
Kapan PLTA Ketenger dibangun? Pembangunan PLTA Ketenger dimulai pada tahun 1935 dan rampung pada tahun 1939.
“Lalu karena sering ke kota (pusat Kabupaten Sumenep, red), terus lihat di internet ada energi alternatif. Maka, pertama membeli sendiri dengan kapasitas kecil, pakai satu keping panel surya,” tutur Pengasuh Ponpes Darussalam Saobi, Herman Junaidi (46) saat dihubungi Merdeka melalui telepon, Rabu (25/8/2021).
Selanjutnya, Ponpes Darussalam Saobi mendapatkan bantuan pendanaan untuk memasang instalasi PLTS Atap dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Timur yang dijembatani Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DRPD) asal Kabupaten Sumenep. Mulai tahun 2005, kebutuhan listrik di Ponpes Darussalam Saobi sepenuhnya mengandalkan PLTS Atap dengan kapasitas 3.000 watt. Peralihan pemenuhan kebutuhan listrik dari PLTD ke PLTS Atap berhasil memangkas biaya operasional ponpes secara signifikan.
“Pakai diesel (PLTD, red) operasional di pondok itu kadang 2 juta atau 2,5 juta. Itu nggak nyala full, kadang lampu itu sudah mati sebelum subuh. Tangan hitam semua karena bergulat dengan mesin, solar, dan oli. Setelah ada PLTS jadi bersih (tangannya),” kenang Herman yang juga berprofesi sebagai ASN di Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep.
Lebih lanjut, alumnus Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang itu menuturkan, setelah beralih menggunakan PLTS Atap biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik ponpes maksimal hanya Rp100 ribu per bulan untuk perawatan instalasi panel surya.
Pemanfaatan PLTS Atap secara mandiri dilakukan sejak tahun 2005 hingga 2019, sebelum akhirnya elektrifikasi PLN masuk ke Pulau Saobi melalui program PLTS Terpusat. Mulai tahun 2019 itulah, kebutuhan listrik Ponpes Darussalam Saobi dipenuhi dari dua sumber berbeda. PLTS Atap yang terpasang di ponpes digunakan pada siang hari, sementara kebutuhan listrik ponpes pada malam hari dipenuhi dari PLTS Terpusat.
Ponpes Darussalam Saobi bukan satu-satunya lembaga pendidikan berbasis agama yang memasang instalasi PLTS secara mandiri. Pada 2019 silam, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) memasang PLTS berkapasitas besar di Ponpes Wali Barokah, Kota Kediri, Jawa Timur. Pemasangan PLTS itu menjadi upaya mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus menciptakan kemandirian energi di lingkungan ponpes.
“PLTS yang merupakan energi baru terbarukan dirintis LDII sebagai kontribusi terhadap bangsa dan negara dalam upaya mengurangi pemanasan global dan menjaga kelestarian lingkungan hidup,” tutur Ketua Ponpes Wali Barokah, Drs. H. Sunarto, M.Si di Kediri, Sabtu (3/4/2021), melalui akun YouTube Official Ponpes Wali Barokah.
Setelah PLTS Rooftop Hybrid Ponpes Wali Barokah resmi beroperasi dua tahun silam, biaya pengelolaan ponpes berkurang signifikan. Instalasi PLTS berukuran 40 - 41 meter itu dipasang di atap salah satu bangunan ponpes yang memiliki titik intensitas matahari terbesar.Energi yang dihasilkan PLTS tersebut mencapai 1 juta watt dan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik di lingkungan ponpes. Bahkan, potensi PLTS Rooftop Hybrid Ponpes Wali Barokah belum dimanfaatkan sepenuhnya karena kebutuhan listrik di ponpes berkapasitas 5.000 santri itu sudah tercukupi.
Eco Pesantren
©2021 Merdeka.com/Dok. Ponpes Darussalam Saobi
Pemanfaatan PLTS Atap di Ponpes Darussalam Saobi dan Ponpes Wali Barokah Kota Kediri menjadi angin segar bagi cita-cita pemerintah Indonesia menuju target bauran energi primer energi baru terbarukan (EBT) minimal 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050 (Neraca Energi Nasional 2020, hlm. 76).
Kedua lembaga pendidikan itu menunjukkan praktik pemanfaatan EBT yang diharapkan bisa membawa dampak sosial bagi masyarakat sekitar untuk turut melirik pemanfaatan PLTS Atap guna memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga.
“Kita ingin ponpes jadi salah satu agen perubahan menuju pengembangan energi yang lebih bersih, pengembangan energi terbarukan,” ujar Dirjen EBTKE, Dadan Kusdiana, Rabu (28/4/2021).
Lebih lanjut, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memiliki komitmen mengembangkan PLTS sebagai salah satu upaya mempercepat target bauran energi. Sejak April 2017, Ditjen EBTKE telah memasang PLTS di atap 102 ponpes dari Aceh hingga wilayah timur Indonesia. Pengembangan PLTS Atap di lingkungan ponpes juga dibersamai dengan pemasangan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) di 150 ponpes yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Selain pemasangan PLTS Atap dan LTSHE, dalam program bertajuk Eco Pesantren: Energi Terbarukan dari dan untuk Pesantren itu, Ditjen EBTKE juga membangun infrastruktur Biogas Komunal di lingkungan pesantren.
“Dengan biogas komunal, tidak perlu lagi LPG. Dengan PLTS Atap, tidak perlu lagi tagihan listrik tinggi. Dengan lampu LED, lebih hemat energi,” bunyi keterangan dalam unggahan video di akun facebook resmi Ditjen EBTKE, Minggu (11/8/2019).
Rumah Ibadah Mandiri Energi
©2021 Merdeka.com/SOLAR KITA
Masjid Istiqlal yang merupakan masjid terbesar di Asia Tenggara juga telah memanfaatkan PLTS Atap dengan kapasitas 150 kWp. Pemasangan instalasi PLTS itu dilakukan bersamaan dengan renovasi besar Masjid Istiqlal sejak Mei 2019.
"Nanti akan kita tambah lagi (instalasi panel surya). Ini baru separo. AC, segala macam, kita ngambilnya dari solar system ini. Istiqlal AC-nya dingin, pemborosan listrik? enggak, kita pakai tenaga surya. Semenjak ada tenaga surya, penghematan untuk listrik luar biasa," ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A dalam Podcast Ngobrol Lingkungan, Rabu (11/8/2021).
Tepat di seberang Masjid Istiqlal, bangunan dengan arsitektur neo-gothik khas Eropa berdiri dengan dua menara salib berwarna putih, itulah Gereja Katedral. Awal 2021 silam, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) menobatkan Gereja Katedral sebagai gereja katolik pertama di Indonesia yang menggunakan energi surya untuk memenuhi kebutuhan listriknya.
"Daya maksimal dari seluruh panel mencapai 238,02 kWp atau setara dengan 183 unit rumah dengan daya 1.300 watt,” bunyi siaran pers Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Kamis (21/01/2021). Berkat PLTS Atap itu, Gereja Katedral bisa menghemat biaya listrik hingga 30% dari total biaya sebelumnya.
Lebih jauh, pemanfaatan PLTS Atap di Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta bisa menjadi role model bagi rumah-rumah ibadah lain melihat potensi teknis PLTS Indonesia diperkirakan 16 hingga 95 kali lebih besar dibandingkan dengan perkiraan nasional saat ini oleh Kementerian ESDM, yaitu 207 GW (Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia's Solar Potential, IESR, hlm. 2).
Skenario Transisi Energi
©2021 Merdeka.com/Dok. Ditjen EBTKE Kementerian ESDM
Sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia gencar mewacanakan pengembangan EBT, baik untuk pembangkit listrik maupun dimanfaatkan langsung pada berbagai sektor. Hal itu selaras dengan potensi yang dimiliki Indonesia sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia serta dilalui garis khatulistiwa, yakni berupa tenaga surya, tenaga air, dan angin.
Pemanfaatan pembangkit listrik berbasis EBT berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca. Pada 22 April 2016 silam, Indonesia menunjukkan komitmen dan kontribusinya dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencegah terjadinya perubahan iklim dengan meratifikasi Perjanjian Paris di New York. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi aksi terintegrasi untuk membangun ketahanan dalam menjaga sumber daya pangan, air, dan energi.
Lebih lanjut, dalam rangka mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi nasional, Indonesia menggunakan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagai kerangka acuan penetapan peraturan di sektor energi sekaligus pedoman rencana strategis nasional lintas sektoral.
RUEN yang berlaku saat ini diterbitkan tahun 2017 dengan menggunakan data riil di lapangan yang dikumpulkan hingga tahun 2015 berdasarkan beberapa indikator, yakni sosial-ekonomi, energi, dan lingkungan. Bisa dikatakan, RUEN adalah pintu gerbang bagi terwujudnya Indonesia sebagai negara mandiri energi.
Berangkat dari fakta tersebut, Agus Praditya Tampubolon melakukan kajian dengan cara memproyeksikan data RUEN hingga tahun 2050, serta mempertimbangkan kebijakan saat ini dan yang akan datang. Salah satu yang ditawarkan dari hasil penelitian bertajuk National Energy General Plan (RUEN): Existing plan, current policies implication and energy transition scenario (IESR, Juni 2020) adalah Skenario Transisi Energi. Di mana pemerintah diusulkan mengeluarkan kebijakan batu untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara atau PLTU dari tahun-tahun tertentu dan menggantinya dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan.
"Ketika energi terbarukan membawa perubahan bagi rencana energi di seluruh dunia, kami menyadari penting untuk meningkatkan pemanfaatannya dengan menawarkan Skenario Energi Transisi. Kami menyimulasikan PLTU digantikan panel surya dan angin. Semakin cepat PLTU digantikan energi terbarukan, semakin tinggi pangsa energi terbarukan itu," ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa dalam pengantar publikasi hasil penelitian tersebut.
Penelitian itu menyebutkan, larangan PLTU bisa mempercepat transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan. Kebijakan tersebut dinilai akan mendorong pemanfaatan energi terbarukan meningkat signifikan. Jika hal itu terjadi, pangsa energi terbarukan Indonesia yang sebagian besar berasal dari tenaga surya, tenaga air, dan angin diperkirakan akan melampaui energi fosil pada tahun 2040.
(mdk/rka)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ulubelu terus berkembang menjadi 'Negeri Tiga Energi'.
Baca SelengkapnyaSelama ini, pengembangan PLTS di Desa Nanggulan dilakukan menggunakan dana desa.
Baca SelengkapnyaBahkan, listrik yang dikelola oleh Bumdes setempat adalah energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Baca SelengkapnyaGanjar Beberkan Sederet Program Optimalisasi EBT dan Energi Hijau di Jawa Tengah
Baca SelengkapnyaPLTS yang berada terapung di atas Waduk Cirata ini memiliki kapasitas 192 megawatt peak (MWp).
Baca SelengkapnyaKehadiran PLTS ini akan memperkuat lembaga lokal, khususnya Badan Usaha Milik Desa.
Baca SelengkapnyaPenempatan PLTA yang dibangun Belanda diperhitungkan dengan begitu matang sehingga tidak berdampak negatif pada lingkungan sekitar.
Baca SelengkapnyaPLTS kini menjadi alternatif energi ramah lingkungan di DKI Jakarta. Sejumlah gedung dan rumah warga mulai memanfaatkannya.
Baca SelengkapnyaTerbentang di area seluas 200 hektare dengan lebih dari 340 ribu solar panel, PLTS terapung ini mampu memproduksi 245 juta kWh energi bersih per tahun.
Baca SelengkapnyaEnergi Baru Terbarukan dihadapkan dengan 4 tantangan.
Baca SelengkapnyaSejak 47 tahun yang lalu, warga setempat hanya menggunakan penerangan yang terbatas.
Baca SelengkapnyaDalam skema transisi energi itu, PLN pun memiliki perhatian pada sisi hilir alias pola konsumsi energi.
Baca Selengkapnya