Bagai hidup di dua dunia
Merdeka.com - Rumah itu berukuran sekitar 7 x 6 meter, dengan tembok yang sedikit lapuk. Lantainya berupa tegel. Sekitar pukul setengah enam pagi, perempuan paruh baya itu sibuk membersihkan rumah peninggalan mantan suaminya.
Rumah itu adalah kediaman Ipeh (46), bukan nama sebenarnya. Letaknya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Anaknya ada enam.
Rumah itu sudah berdenyut sejak pagi. Hiruk pikuk membersihkan rumah, ditambah Ipeh mengurus ketiga putrinya hendak sekolah. Ipeh mengerjakan semuanya seorang diri. Dia adalah orang tua tunggal. Dia bercerai dengan suaminya. Seorang anak Ipeh sudah menikah. Bahkan dia sudah dikaruniai cucu.
-
Bagaimana cara pelacur mendapat penghasilan? …Jika wanita mengiringkan seorang gadis dan mengantarkannya ke rumah seorang pemuda, atau jika ada wanita memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena mendapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua wanita baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda 4000 oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya…
-
Kapan prostitusi ini terjadi? Peristiwa tak layak ini dilakukan oleh warga Kecamatan Pungging, Mojokerto, Jawa Timur sejak 2023 lalu.
-
Siapa saja yang menggunakan jasa pacar jalanan? Tren ini cukup banyak diminati karena mudah diakses dengan harga jasa ekonomis.
-
Apa saja yang ditawarkan jasa pacar jalanan? Para wanita muda dilaporkan terlihat menjual pelukan, ciuman, dan kebersamaan mereka di kios-kios pinggir jalan, yang memicu kembali wacana media sosial yang tersebar luas tentang ekonomi persahabatan berbayar.
-
Bagaimana cara wanita menawarkan jasa pacar jalanan? Di sebelah stasiun kereta bawah tanah di Shenzhen, seorang wanita muda mendirikan kios dengan tanda yang tertulis 'Satu yuan (Rp2.200) untuk pelukan, 10 yuan Rp22.000) untuk ciuman, 15 yuan (Rp33.000) untuk menonton film bersama.'
-
Kenapa pelacur di masa Jawa kuno dikenakan pajak? Bahkan mereka dikenakan pajak sebagaimana profesi lain.
Jarum jam terus bergerak dan menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ipeh bersiap-siap hendak bekerja. Dari rumah, dia berdandan biasa saja, memakai kerudung, mengenakan kaos putih, dan jaket jin.
Di sakunya terselip duit Rp 20 ribu. Cukup buat sekali jalan. Dia lantas menumpang angkot jurusan Stasiun Bojonggede. Dari sana, dia naik kereta listrik dengan perhentian terakhir stasiun Tanah Abang. Dia tiba di tujuan tengah hari.
Turun dari kereta, Ipeh lantas buru-buru masuk ke toilet. Dia mengeluarkan bedak dan gincu, dan perlahan memoles wajahnya sudah keriput. Kerudung dikenakannya juga ditanggalkan. Setelah kelar, dia lantas mejeng di sudut stasiun.
Sesekali dia menggoda lelaki. Tidak pandang bulu. Sejak empat tahun lalu dia menekuni jalan ini. Dia melacur. Terpaksa katanya.
Di usianya, dia paham tak mungkin bisa bersaing dengan lonte lebih bahenol dan muda. Ipeh juga tak sanggup lagi menjajakan tubuh hingga larut malam. Dia cuma bisa meladeni satu atau dua lelaki. Itu juga kalau dipesan sebelumnya. Batasnya hingga petang.
"Enggak bisa sampai malam kerjanya. Kasihan anak saya yang perempuan, masih kecil umur sepuluh tahun harus ditemani di rumah, sama sudah umur," kata Ipeh kepada merdeka.com, Kamis (15/12) pekan lalu.
Ipeh harus sudah sampai rumah pukul 20.00 WIB. Tak peduli kalau ada pelanggan ingin ditemani hingga malam, dia mesti balik kanan. Saat azan Maghrib terdengar, perempuan itu segera bergegas. Sebelum naik kereta, Ipeh kembali ke ruang riasnya: toilet stasiun. Dia menghapus semua pulasan supaya terlihat menor, dan kembali seperti saat berangkat. Ketika di perjalanan, Ipeh mengeluh karena cuma menggaet satu lelaki, dan hanya dibayar Rp 150 ribu.
Walaupun berbagi keluhan sepanjang jalan, Ipeh teringat si bungsu. Sebelum menumpang angkot menuju rumah, dia berhenti sejenak membeli sebungkus nasi goreng kesukaan anaknya. Kalau pulang kerja, kata Ipeh, anaknya kerap bertanya di tempat kerja ada makanan apa.
"Kan saya ngakunya ke anak kerja di restoran," kata Ipeh sambil tersenyum malu.
Setelah nasi goreng dibayar, Ipeh melanjutkan perjalanan menggunakan angkot. Walaupun sudah gelap dan minim penerangan, dia biasa saja melewati jalan menuju rumahnya. Sampai di rumah, raut wajah Ipeh tak sedikit pun nampak letih ketika melihat lima anaknya. Dia langsung memberikan sebungkus nasi goreng untuk putri kecilnya. Sesekali ketika makan, putri kecilnya selalu bertanya soal pekerjaan dilakukan ibunya.
"Tadi ramai kok di warung makannya. Ibu nyuci piring banyak banget," kata Ipeh sambil mengelus kepala anaknya.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Ipeh langsung duduk di samping anaknya dan menemaninya makan. Saat selesai, dia langsung mendampingi sang anak belajar. Kali ini anaknya belajar matematika. Walaupun tamatan sekolah dasar, Ipeh berusaha mengajarkan dan membantu putrinya mengerjakan tugas.
Sesekali dia memberi wejangan buat sang putri akan menghadapi Ujian Nasional, supaya selalu belajar dan berdoa. Usai menemani buah hatinya belajar, Ipeh tak lantas istirahat. Dia segera membereskan dapur dan mencuci baju anak-anaknya.
"Gini saja kerjaan saya dari pagi sampai pagi lagi. Rasa capek ada, tapi ya mau gimana lagi. Harus terima dan lapang dada saja. Toh ini semua demi anak," ucap Ipeh.
Setali tiga uang, Mijah (30), bukan nama sebenarnya, hidup bertiga dengan anaknya di rumah kontrakan berukuran kurang lebih dua meter di kawasan Tangerang. Mijah, sambil menutup tangan dan raut wajah sedikit malu, menceritakan kepada merdeka.com bagaimana lelahnya bergelut kurang lebih empat tahun seolah hidup di dua dunia.
Mijah 'bekerja' mulai jam tiga sore atau setelah petang hingga pukul 02.00 WIB. Dia hanya memakai kaos berwarna biru telur asin dan jaket jin. Dari rumah, dia butuh satu jam buat ke tempat 'praktik' menggunakan kereta api jurusan Tangerang-Tanah Abang. Usai bergumul dengan pelanggan hingga larut malam, Mijah pulang menggunakan angkot ke arah Harmoni, disambung bus ke arah Tangerang.
Mijah ternyata menikah di usia amat muda. 12 tahun. Kini, dia selalu pulang dini hari usai menjajakan diri. Itu usai bercerai dengan sang suami. Dia langsung disambut oleh anaknya yang remaja.
"Anak saya selalu nanya. 'Ibu baru pulang ya ?' Ya saya jawab aja, 'iya nak, sudah tidur lagi saja sana'," ucap Mijah dengan senyum tipis.
Mijah tak langsung istirahat, melainkan bergegas memasak dan menyetrika pakaian ketiga anaknya. Menjelang azan Subuh, Mijah membangunkan ketiga anaknya supaya mandi dan salat Subuh. Selesai mengurusi ketiga anaknya, dia langsung mencuci piring, pakaian, dan membersihkan lantai.
Saat pekerjaan rumah tangga kelar, Mijah cuma punya waktu buat merebahkan diri hanya beberapa jam saja. Kemudian dia menunggu ketiga anaknya pulang sekolah. Dia mengakui waktunya lebih sering habis di jalan, dan tidak sempat menemani anaknya mengerjakan tugas sekolah. Seakan dia berbagi kegetiran hidupnya.
"Jarang untuk nganterin atau ngajarin anak, paling cuma bangunin anak saja," kata Mijah sambil mengusap air mata yang perlahan menetes.
Walau begitu, dia merasa hal itu paling berharga bisa dilakukan buat anaknya, meski cuma melihat mereka pergi dan datang. "Baru saya berangkat kerja," kata Mijah.
Terkadang, Mijah juga jenuh dengan kegiatannya sehari-hari. Mijah selalu mengeluh sakit kepala karena itu. Namun, dia merasa kehidupan dia jalani saat ini tak patut disesali.
"Syukuri saja lah," imbuh Mijah sambil tersenyum.
(mdk/ary)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berikut sederet aktivitas yang dilakukan oleh ojol saat istirahat. Tak hanya tidur, ada juga yang ke warnet!
Baca SelengkapnyaBerbeda dari biasanya, dua pemuda kedapatan ke luar negeri justru menggunakan ojek.
Baca SelengkapnyaBerikut sederet aktivitas yang dilakukan oleh ojol saat istirahat. Tak hanya tidur, ada juga yang ke warnet!
Baca SelengkapnyaKeberadaan Pak Ogah dan banyaknya kendaraan yang berputar balik, dinilai menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan ibu kota.
Baca Selengkapnya