Bahaya Bansos Dipolitisasi Petahana
Merdeka.com - Ratusan triliun duit negara digelontorkan untuk penanganan wabah pandemi virus corona. Masyarakat mendapat haknya demi menjaga kehidupan ke depan. Kesempatan baik itu justru menjadi celah bagi kepala daerah petahana. Tidak sedikit mereka memanfaatkan guna mendulang suara di Pilkada Serentak 9 Desember 2020.
Bantuan sosial (bansos) kerap ditunggangi kepentingan politik. Beberapa kepala daerah bahkan sudah terang-terangan menampilkan foto mereka di beragam macam bantuan sembako. Mulai dari Bupati Klaten Sri Mulyani, Bupati Jember dr Faida, dan teranyar Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bisa bertindak lebih jauh. Mereka sedang fokus mengatur sistem penyelenggaraan Pilkada Serentak yang berbeda di tengah pandemi ini. Untuk itu mereka menyadari perlu bantuan segala pihak, seperti Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawas Pemilu, KPK sampai DPR.
-
Bagaimana cara pemerintah bagikan bansos? Menko PMK juga menyarankan Kemensos memberikan pembinaan untuk korban judi online yang mengalami gangguan psikososial.
-
Apa yang diselamatkan Kemensos terkait penyaluran Bansos? Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menyampaikan progres perbaikan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang di tahun 2020 banyak mendapatkan catatan dari BPK, BPKP, dan KPK. Dalam acara yang diselenggarakan di Gedung ACLC KPK tersebut Mensos Risma menyatakan potensi kerugian negara penyaluran Bansos lebih dari Rp523 M/bulan dapat diselamatkan melalui penidaklayakan penerima Bansos yang dilakukan bersama Pemerintah Daerah sebanyak 2.284.992 Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
-
Apa itu Bansos PKH? Berbagai jenis bantuan sosial, seperti Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan Program Keluarga Harapan (PKH), akan tetap dilanjutkan.
-
Kenapa Bansos diberikan? Tujuan dari program ini adalah untuk membantu meringankan beban ekonomi bagi masyarakat yang kurang mampu, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan.
-
Siapa yang dapat bansos? Muhadjir mengamini, pernyataan tersebut menjadi kontroversi publik. Dia menilai hal itu disebabkan interpretasi yang keliru oleh masyarakat.
"Pilkada tidak bisa diselesaikan oleh satu pihak tapi semua pihak harus ikut membantu dan mendukung agar lancar dan sukses," kata Ketua KPU Arief Budiman saat dihubungi merdeka.com, Jumat pekan lalu.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan bahwa sebenarnya politisasi bansos memang kerap terjadi bukan hanya saat pandemi Covid-19 saja. Justru para petahana bisa lebih memperkuat media kampanyenya. Salah satunya dengan bansos.
Politisasi bansos tentu sangat mencederai konsep kompetisi Pilkada yang adil dan setara. Alih–alih petahana melakukan kinerja terbaik dalam penanganan Covid-19, justru malah konsentrasi mereka tidak lagi optimal. Justru tidak menutup kemungkinan berorientasi pada bagaimana caranya mengumpulkan dukungan dan suara sebanyak–banyaknya dari masyarakat melalui bansos.
"Sangat mungkin terjadinya politisasi berbagai program penanganan Covid maupun penyaluran bansos. Seperti kasus politisasi bansos dari Bupati Klaten yang viral itu. Nah, yang tidak terungkap itu sebenarnya banyak sekali," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada merdeka.com, Jumat pekan lalu.
Menurut Titi, Indonesia terlalu mengandalkan institusi elektoral seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua institusi ini sejatinya berhadapan dengan ketidakpastian hukum bila turut memantau bansos covid-19.
Untuk itu, pihaknya mendesak institusi berwenang berperan aktif. Terutama mengawasi potensi politisasi bansos untuk kepentingan kepala daerah petahana. Bahkan DPRD harus mengawasi ketat sebagai legislatif di daerah.
Kekhawatiran politisasi bansos dirasakan anggota komisi II DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera. Strategi memanfaatkan momentum musibah dirasa sebagai cara licik dalam berpolitik.
Menurut dia, DPR mendukung Bawaslu dan Kemendagri untuk melakukan sanksi sesuai dengan peraturan. Ini dikarenakan politisasi bansos merupakan tindakan kriminal.
"Politisasi bansos itu tindakan kriminal. Harus diberikan sanksi, termasuk mendorong sanksi sosial," ucap Mardani kepada merdeka.com.
Kementerian Sosial sebagai ujung tombak penyaluran bantuan memang sudah berkoordinasi dengan pihak KPK terkait penyelenggaraan bansos.Mereka juga menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kejaksaan Agung.
Politisasi bantuan sosial (Bansos) oleh kepala daerah dapat dijerat dengan undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 76 ayat (1) huruf a UU ini berbunyi, kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan pribadi, keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut pada Pasal 78 ayat 2. Pasal ini menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diberhentikan. Salah satunya pada huruf e yang berbunyi jika melanggar larangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sebagaimana dimaksud Pasal 76 ayat 1, kecuali huruf c, huruf i dan huruf j.
Pasal ini dapat dikonstruksi untuk calon kepala daerah yang melakukan politisasi bansos dan itu bisa dibuktikan untuk impeachment. Jika dalam konteks Pilkada, bisa juga pelakunya dijerat dengan Undang-Undang Pilkada. Khususnya pada Pasal 71 tentang netralitas aparatur sipil negara dalam Pilkada.
Pengawasan politisasi bansos perlu pengawasan ketat. Direktur Populi Center, Usep S Ahyar, beranggapan bahwa pengawasan dilakukan kepada petahana masih minim. Kesempatan itu yang dijadikan celah petahana dengan menggunakan instrumen pemerintah untuk menyukseskan kampanye.
Menurut Usep, sebenarnya penyalahgunaan jabatan para petahana di masa pandemi seperti ini bisa ditelusuri. Walaupun memang membutuhkan tenaga yang ekstra. Ini dikarenakan tidak ada riak-riak politik dan melibatkan banyak unsur.
Usep juga mengatakan bahwa jika suatu daerah tidak ada riak politik, bukan berarti tidak ada penyalahgunaan kewenangan. Hal itu masih tetap terjadi namun tidak mencuat ke publik karena mereka kompak dalam melakukan politisasi birokrasi.
"Sebenarnya bisa ditelusuri, namun yang namanya korupsi politik pasti ada sangkut pautnya dengan pembuatan kebijakan. Itu kan melibatkan banyak orang. Kalau ada perpecahan biasanya agak mencuat tuh isu-isu politisasi bansos dan politisasi birokrasi lainnya, tapi redup karena bisa jadi semuanya kebagian," kata Usep menjelaskan.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata meminta agar masyarakat lebih cerdas, ketika mendapat bantuan sosial atau bansos selama musim kampanye
Baca SelengkapnyaMenurut DPR, momentum pelaksanaan pilkada seperti saat ini berpotensi memunculkan kasus politisasi bansos.
Baca SelengkapnyaKapten Timnas AMIN Syaugi menilai pembagian bansos sengaja dimasifkan pemerintah jelang Pemilu 2024
Baca SelengkapnyaTimnas Amin mengingatkan, pejabat pemerintahan yang melanggar bisa diberhentikan dari jabatannya.
Baca SelengkapnyaAnggaran tersebut dipotong guna memenuhi kebutuhan penyediaan Bansos.
Baca SelengkapnyaPemerintah disebut tidak lagi menggunakan data Kemensos, melainkan data Kemenko PMK.
Baca SelengkapnyaKPK mewanti-wanti ada clonflict of interest (COI) dalam penyaluran bansos tersebut.
Baca SelengkapnyaSaat ini banyak rakyat atau keluarga miskin yang membutuhkan bantuan akibat kenaikan harga bahan-bahan pokok.
Baca SelengkapnyaSelain itu, ditengarai juga ada peluang politisasi bansos yang bisa ditafsirkan sebagai menguntungkan paslon tertentu.
Baca SelengkapnyaAirlangga memastikan tidak ada program salah satu paslon yang menggunakan bansos pemerintah.
Baca SelengkapnyaGanjar sudah memprediksi penyaluran bantuan sosial (bansos) kerap dimanfaatkan para pejabat untuk mengkampanyekan salah satu paslon.
Baca SelengkapnyaFoto-foto adanya penumpukan bansos itu merupakan bukti kuat.
Baca Selengkapnya