Beda Batas Hasil Swab Test
Merdeka.com - Temuan kasus presumtif dalam hasil tes usap (PCR Swab) covid-19 memunculkan kebingungan. Masyarakat sejauh ini hanya tahu dua hasil. Positif dan negatif. Permasalahan ini tentu membuat mereka harap-harap cemas. Tidak menutup kemungkinan sudah banyak dana sudah yang terkuras.
Seorang peserta tes usap, Pr mengaku, sudah mengeluarkan kocek hingga lebih Rp6 juta untuk menjalani tes. Semua dilakukan di Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) Laboratorium, salah satu perusahaan penyedia jasa tes PCR Swab di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Pada tes pertama sekitar pertengahan September 2020, dia membayar Rp1.288.000. Hasilnya positif covid-19. Dari hasil itu dia meminta ibu dan adiknya untuk melakukan tes karea mereka tinggal satu rumah. Hasilnya pun sama. Hingga selama 14 hari mereka menjalani isolasi mandiri.
-
Bagaimana kematian korban diketahui? Kematian korban diketahui pertama kali oleh penghuni apartemen yang mencium aroma kurang sedap.
-
Mengapa korban diduga meninggal? Diduga kuat, korban meninggal karena sakit karena tidak ditemukan luka akibat kekerasan.
-
Siapa yang ditemukan meninggal? Saat itu, ditemukan seorang pria atas nama W (55) dalam keadaan tak bernyawa.
-
Kapan Covid-19 pertama kali terkonfirmasi di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Bagaimana korban meninggal? 'Dalam proses dari Lampung ke Jakarta ini (korban) pendarahan hebat. Pelaku juga mengetahui bahwa si korban sedang pendarahan. Pelaku ini mengetahui bahwa korban sedang pendarahan hebat, namun dibiarkan saja, sehingga korban kehabisan darah dan meregang nyawa,' kata dia.
-
Kenapa muncul wabah misterius ini? Para pejabat China dengan cepat memberikan penjelasan, menekankan masyarakat tidak perlu panik. Para pejabat mengaitkan peningkatan kasus penyakit mirip pneumonia ini dengan kombinasi patogen umum selama musim dingin pertama tanpa pembatasan Covid-19 yang ketat.
Memasuki tes usap kedua, pemerintah sudah menetapkan harga maksimal Rp900.000. Pr bersama keluarganya kembali menjalani tes kembali di GSI Laboratorium. Justru hasil keluarkan membingungkan. Tertulis, presumtive positive/inconclusive. "Kita sudah tes, mau bayar mahal mandiri, berharap hasilnya jelas, positif atau negatif," kata Pr mengeluhkan hasilnya kepada merdeka.com, Rabu pekan lalu.
Penetapan harga tes usap ditetapkan Ketua Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN), Airlangga Hartarto. Adapun penetapan ini dilakukan sesuai dengan rekomendasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Selama ini penyebab mahalnya biaya penanganan pasien terjangkit virus corona, salah satunya harga PCR Swab. Ini karena berkaitan dengan investasi prasarana laboratorium harus standar biosafety level 2.
Selain itu, harga reagen PCR juga terbilang mahal. Untuk satu kali pengetesan diperlukan satu reagen seharga Rp800.000 sampai Rp1 juta. Itu pun belum termasuk alat-alat lainnya dalam pemeriksaan Covid-19. Sehingga diperkirakan total pengeluaran yang dikeluarkan untuk satu kali pemeriksaan sebesar Rp1,2 juta.
Terkait hasil persumtif, Profesor Zubairi Djoerb menyebut dalam kondisi ini peserta tes usap artinya tidak 100 persen terinfeksi virus corona. Sebaiknya seseorang mengalami kasus ini harus lebih detil berkonsultasi dengan dokter.
Zubairi juga mendorong hasil pemeriksaan itu juga harus memiliki perbandingan dengan laboratorium lainnya. Sebab, selain hasil tes ‘PCR SARS-Cov-2 yang Presumtive positive/inconcusive', dalam hasil tes juga dilampirkan sejumlah keterangan lain, seperti E Gene, E Gene Ct, dan RDRP Gene, yang disertai angka tertentu. Untuk angka ini merupakan batas menentukan pasien positif maupun negatif.
"Setiap laboratorium memang berbeda. Jadi laboratorium itu menyatakan batas positif negatifnya, tergantung mereka menetapkan batasnya," ujar dia.
Terdapat dua macam tes untuk mengetahui apakah seseorang mengidap Covid-19. Yang pertama, tes swab dan yang kedua adalah tes kilat antibodi atau belakangan dikenal dengan rapid test.
Tes swab dilakukan dengan cara mengambil sampel pada bagian hidung atau tenggorokan. Lalu sampel dikirim ke laboratorium untuk ditemukan tanda-tanda materi genetika virus. Selanjutnya, dilakukan tes diagnostis menggunakan sampel atau swab untuk dianalisa di laboratorium memakai polymerase chain reaction (PCR). Akurasinya sejauh ini yang dicatat pemerintah.
Untuk kasus Pr dan keluarganya, angkanya E Gene Ct menunjukkan angka 33,9. Prof Zubairi selaku Tim Satgas Covid-19 dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menduga pasien tersebut merupakan Orang Tanpa Gejala (OTG). Dengan hasil itu, tentunya laboratorium memiliki batas dan hasilnya presumptive.
Hasil itu tak perlu dikhawatirkan berlebih. Asalkan pasien tetap menjaga kesehatan dan ingat jaga kesehatan, kondisi itu bisa dikatakan sembuh dari Covid-19. "Bisa dinyatakan negatif. Syaratnya harus tanpa gejala. Tanpa panas, batuk, pilek tergantung laboratorium dan tergantung dari hasil itu," tegas dia.
Pr memang segera diberikan surat rekomendasi sehat dari Puskesmas dekat tempat tinggalnya di kawasan Jaksel. Informasi itu didapat setelah dia jengkel mendapat hasil presumtif dari GSI Laboratorium. Hasil tes usap itu kemudian dilaporkan ke Puskesmas dan diminta isolasi mandiri kemudian diberikan surat keterangan sehat tanpa melakukan tes usap kembali.
Keterangan serupa dari Puskesmas juga akan diberikan kepada adiknya. Sedangkan sang ibu tetap diminta kembali melakukan swab test untuk memastikan kondisinya benar-benar sehat. Kondisi umur dan memiliki riwayat penyakit juga menjadi pertimbangan lainnya.
Pilihan untuk menunggu surat keterangan sehat pun diambil. Lelaki berusia 29 tahun itu tidak mau ikut saran GSI Laboratorium untuk mengikuti tes usap ketiga.
Zubairi mengakui, hasil presumtif memang membingungkan masyarakat. Biasanya kasus ini muncul saat seseorang yang telah meninggal dunia usai melakukan pemeriksaan. Lantaran hasil belum diketahui sehingga sering dikatakan meninggal dunia karena Covid-19.
Kementerian Kesehatan mengaku belum bisa menjelaskan detil mengenai kasus presumtif. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Ahmad Yurianto, mengaku tidak mengetahui tentang istilah ini. Mantan Jubir Satgas Covid-19 ini masalah ini sehingga disarankan bertanya kepada ahli. "Saya tidak kenal istilah Presumtif," tegas dia kepada merdeka.com.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra menambahkan, hasil presumtif ini memang menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Sebaiknya hasil positif harus menjadi pegangan yang mendasar. Sebab, di saat itu seseorang harus benar-benar menjaga kesehatan.
"Secara umum, kalau dalam keadaan normal, kita harus melihat hasil yang terkonfirmasi positif sebagai kewaspadaan yang paling tinggi," ujar Hermawan.
Dalam kasus persumtif, dia melihat memang perlu diperhatikan para petugas melaksanakan tes usap. Hal ini harus semakin diperbaiki sehingga bisa menjawab keraguan dari pasien.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jenazah diketahui berinisial S, usia 57 tahun asal Tambak Wedi Baru Barat, Surabaya.
Baca SelengkapnyaPolisi menemukan fakta baru dari hasil sementara autopsi ayah dan balita ditemukan tewas membusuk di Koja, Jakarta Utara.
Baca SelengkapnyaTim dokter bekerja untuk mengidentifikasi identitas jasad, penyebab kematian dan memprofiling riwayat medis.
Baca Selengkapnya