Bujuk rayu para pria kemayu di bioskop tak laku
Merdeka.com - Abdur (29) tertarik mendengar kabar bioskop legendaris Grand Theatre yang bangunan gaya klasiknya mencolok di Perempatan Senen, Jakarta Pusat, masih beroperasi sampai sekarang. Dia ingin menjajal nonton film di sana.
Lajang asal Kota Bandung itu sehari-hari bekerja sebagai videografer di sebuah kantor kawasan Tebet. Dia mengaku sangat menggemari film apapun genrenya, serta menggandrungi aktivitas ke bioskop. Keputusan menonton di Bioskop Senen itu belakangan dia sesali.
Abdur menyambangi bioskop yang sudah berdiri sejak era Hindia Belanda itu, Selasa (30/8) lalu. Seharusnya dia menonton bersama kru merdeka.com, namun karena satu dan lain hal, rencana itu tak terlaksana.
-
Kapan Gedung Kesenian Jakarta diresmikan sebagai bioskop? Gedung Kesenian Jakarta lantas diresmikan sebagai gedung bioskop Diana yang amat populer ketika itu.
-
Apa yang awalnya menjadi Gedung Kesenian Jakarta? Mulanya bernama Municipel Theatre Sebelum menjadi pusat kesenian warga, Gedung Kesenian Jakarta merupakan ruang hiburan sederhana yang terbuat dari gedek bambu yang sudah ada pada 1804.
-
Di mana bioskop pertama di Indonesia? Rumah seorang pengusaha ini dialihfungsikan sebagai bioskop dengan nama 'The Royal Bioscoope'.
-
Kapan bioskop pertama di Medan dibangun? Di Medan, pada tahun 1889 telah dibangun bioskop pertama yang didirikan oleh seorang Belanda bernama Michael.
-
Kenapa bioskop pertama di Medan dibangun? Pada saat itu, orang-orang yang datang ke bioskop adalah dari kelompok masyarakat kalangan elite yang tinggal di Kota Medan, sekaligus para pejabat pemerintahan Hindia-Belanda.
-
Apa nama bioskop pertama di Medan? Bioskop tersebut bernama De Oranje Bioscoop yang pada saat itu masih menayangkan film-film bisu yang menceritakan kisah orang-orang Belanda maupun Eropa.
Di lobi bioskop Grand Theater, Abdur ingat belasan orang duduk menunggu film yang hendak diputar. Dia berencana menonton pemutaran pukul 17.00 WIB. Bioskop ini mulai beroperasi pukul 13.00, memutar empat film hingga selesai tutup pukul 20.00.
Abdur mengatakan belasan lelaki memadati lobi bersamanya sore itu seakan menggelar temu komunitas. Satu pria uzur sangat mencolok karena semua rambutnya beruban terkesan seperti pensiunan salah tempat, banyak juga lelaki muda dengan pakaian bagus, serta sosok difabel berusia paruh baya namun kemayu.
"Saya yakin mereka semua penyuka sesama jenis," kata Abdur.
Konfirmasi soal identitas seksual pengunjung bioskop itu, belakangan diperoleh merdeka.com dari penonton bernama Toni. Dia juga penyuka sesama jenis dan terhitung sering nongkrong di Bioskop Grand Theatre.
Toni adalah lelaki dengan tinggi setidaknya 170 cm, berbadan kekar, kulitnya gelap, ucapannya kenes, dan selalu tampak ingin tahu tentang sosok-sosok pria di sekitarnya. Toni selalu mengenakan masker warna hijau menutupi wajahnya. Hanya dia yang memakai masker dari semua pengunjung bioskop. Satu waktu dia sempat membuka maskernya. Wajahnya bersih tanpa cambang ataupun kumis. Abdur ingat didekati Toni ketika sedang mengantre membeli tiket.
"Sendirian saja?" ucap Toni yang mengenakan flanel dan jeans biru kepada Abdur.
Abdur, seorang heteroseksual, tidak terbuka menjelaskan orientasi seksnya karena khawatir akan memicu kegaduhan. Kepada Toni, Abdur sekadar mengaku sedang menunggu kawan lelaki yang belum datang untuk nonton bersama.
"Teman apa pacar. Pacar kali," sahut Toni sambil tersenyum manis.
Abdur lantas bertanya, mengapa tak ada sama sekali penonton wanita sore itu. Toni tanpa tedeng aling-aling mengatakan bioskop ini sejak lama sudah menjadi tempat berkumpul homoseksual dari seantero Jakarta. Di tengah obrolan keduanya, tiga pria lain menghampiri. Rata-rata usianya 30-an. Mereka semua mengajak Abdur berkenalan.
"Di sini kalau ada cowok baru langsung disamperin," kata Toni.
Seorang lelaki yang hendak memasuki ruang tunggu bioskop membuat banyak mata menoleh. Yudi adalah pria populer yang datang belakangan itu.
Yudi berjalan di tangga bergaya kemayu, berpakaian kaos warna hijau ketat dan berbadan atletis. "Hai Yudi...," sahut nyaris seluruh lelaki di bioskop, termasuk empat orang yang sedang mengerubungi Abdur.
Suasana lobi Bioskop Senen (c) 2016 merdeka.com/Muhammad Zul Atsari
Loket akhirnya dibuka seperempat jam sebelum pertunjukan mulai. Abdur tak perlu merogoh kocek. Toni membelikannya satu tiket cuma-cuma. Untuk pelanggan setia sepertinya, Toni mengaku cukup membayar Rp 5 ribu per lembar pada penjaga loket. Harga resmi yang tertera sebetulnya lebih mahal Rp 3 ribu. Harga normalnya pun masih jauh lebih murah dibanding bioskop-bioskop jaringan besar seperti Cineplex 21, yang biasanya mencapai Rp 40 ribu per lembar.
"Kamu kan baru nonton di sini," kata Toni. Saat dikonfirmasi merdeka.com, penonton lain mengakui traktiran tiket seperti itu lazim dilakukan terutama jika muncul pengunjung lelaki baru.
Toni menggandeng Abdur masuk ruang pemutaran film. Mereka memilih kursi bagian tengah. Toni beralasan ingin berbincang tanpa diganggu pasangan lain. Ada 16 pria yang menonton sore itu.
Berdasarkan cerita salah satu penonton yang ditemui terpisah, sudah biasa jika pasangan di dalam bioskop berbuat mesum. Sebagian dari mereka adalah pria yang bekerja sebagai pekerja seks komersial. Tak ada penonton bersedia berbicara blak-blakan soal tarif hubungan intim di dalam gedung bioskop.
Ruang bioskop gelap, bau pesing, hening. Abdur mengaku tidak ingat judul film yang diputar, karena kualitas gambarnya sangat buruk. Yang jelas itu adalah film panas produksi luar negeri. Para penonton bebas merokok. Ketika film berjalan 15 menit, tiba-tiba tangan Toni merayap ke bagian pangkal paha Abdur.
Merasa risih, Abdur memutuskan hengkang dari ruangan supaya tak lagi digerayangi. "Eh aku mau keluar dulu ya teman aku di luar," kata Abdur sambil pura-pura menerima telepon.
Abdur ingat, dia sudah bersiap lari ketika berjalan menuruni tangga bioskop. Di luar gedung, dia terkejut melihat Toni berjalan sekian langkah di belakangnya. Perempatan Senen saat itu hujan deras. Langkah Abdur terhenti. Toni ikut berhenti sejenak, tapi tak berapa lama kembali berjalan menuju Abdur bersama rombongan tiga lelaki.
Abdur memutuskan nekat menembus hujan, berlari-lari kecil menyeberang jalan raya. Toni dan tiga pria lain tetap mengikuti. Kejar-kejaran singkat ini akhirnya berakhir di Monumen Perjuangan, depan Stasiun Senen. Toni berhenti mengikutinya, karena kehilangan jejak. Abdur rupanya sempat ngumpet di halte bus Pasar Senen selama lima menit.
Saat mengingat lagi pengalaman kurang menyenangkan itu, Abdur mengaku geli bercampur segan. Dia tidak fobia pada homosekual, namun menurutnya para pengunjung bioskop Senen cukup agresif menggoda sesama lelaki sehingga membuatnya risih. "Enggak lagi-lagi deh ke sana," ujarnya.
Warga sekitar mengetahui perkembangan bioskop Senen, yang terhitung bangunan bersejarah Jakarta, menjadi lokasi berkumpul para penyuka sesama jenis. Lilies sebagai pedagang yang menyewa ruko dekat bioskop, menilai aktivitas berkumpulnya homoseksual di seputaran Senen mulai marak 16 tahun lalu. Warga dan komunitas gay membaur, sehingga tidak pernah terjadi konflik.
Dia menanggapi santai kabar penonton lelaki yang belum pernah datang, seperti Abdur, digoda oleh pelanggan kawakan bioskop. Suami Lilies ternyata pernah bernasib sama. "Suami saya kan ganteng, digodain gitu sama homo. Lalu suami saya kabur," ujarnya sambil terbahak.
Baca juga seri liputan khusus bioskop:
Sisi gelap penuh lendir bioskop legendaris SenenBioskop pinggiran menunggu giliran menjemput ajalSiasat bertahan bioskop alternatifVideo: Bioskop Grand Senen, sarang pria penyuka sesama jenis
(mdk/ard)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Di tengah kabar itu, Wakil Sekretaris Fraksi PDIP Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) DKI Jakarta Wa Ode Herlina mengungkap lokasi yang biasa dijadikan tempat berkum
Baca SelengkapnyaSebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya, Banda Aceh memiliki kisah dan sejarah panjang tentang lahirnya bioskop dan perfilman di Indonesia.
Baca Selengkapnya"Tidak ada satupun dari agama-agama tersebut yang mentolerir praktik LGBT," tegas Anwar Abbas.
Baca SelengkapnyaGedung ini awalnya jadi lokasi hiburan militer bagi kalangan warga Belanda
Baca SelengkapnyaPesona Ibukota Jakarta sudah tersaji sejak dahulu kala. Meski sudah banyak perubahan saat ini, namun suasana klasik zaman dulu mampu membangkitkan nostalgia
Baca SelengkapnyaBerdasarkan pantauan, di sekitar pohon tersebut memang banyak tisu dan botol minuman keras.
Baca SelengkapnyaPolisi mengungkap bisnis film porno yang menggunakan situs streaming berbayar.
Baca SelengkapnyaGang tersebut tampak kumuh dan dipenuhi rumah-rumah penduduk.
Baca SelengkapnyaTerdapat satu alat berat juga ikut merobohkan bangunan tersebut.
Baca SelengkapnyaGunawan telah bekerja sebagai penjual di Blok M sejak tahun 2015, awalnya di lantai atas sebelum lantai itu ditutup.
Baca SelengkapnyaAnak di bawah umur pernah dijadikan budak prostitusi di kawasan Gang Royal.
Baca Selengkapnya