Dari Balik Lapas yang Penuh Sesak
Merdeka.com - Malam itu sangat mencekam bagi para penghuni tahanan Blok C2 di Lapas Klas 1 Tangerang, Banten. Kunci sel mereka tak sempat dibuka sipir. Nahas, mereka tak bisa lari kemana-mana saat si jago merah mengamuk Rabu (8/9) dini hari. Kebakaran diduga akibat arus pendek listrik.
41 Kantong jenazah keluar dari Lapas Klas 1 Tangerang pagi harinya. Total 48 narapidana meninggal dunia akibat insiden kebakaran tersebut. 7 Orang meninggal di rumah sakit saat menjalani perawatan.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly seolah buang badan. Dia menyalahkan kelebihan kapasitas menjadi salah satu biang kerok puluhan napi tewas terpanggang di Lapas Tangerang.
-
Kenapa tiang listrik di Menteng terbakar? Diduga, terbakarnya tiang listrik itu dipicu korsleting atau hubungan arus pendek.
-
Kenapa Embung di Kebumen terbengkalai? Perangkat desa setempat mengungkapkan, sebenarnya proses pembangunan embung tersebut sudah bermasalah sejak awal. Pembangunan embung tersebut sempat mangkrak selama dua tahun. Namun pada akhirnya proyek itu rampung pada tahun 2021.
-
Dimana tiang listrik di Menteng terbakar? Sebuah tiang listrik tiba-tiba terbakar di Jalan Prof M Yamin menuju Taman Menteng, Jakarta, Rabu (17/1/2024).
-
Dimana peristiwa kebakaran terjadi? Peristiwa tersebut terjadi di ibu kota Kerajaan K'anwitznal dekat lokasi pemakaman.
-
Apa yang terjadi pada bangunan terbengkalai? Setiap bangunan yang tidak terpakai dan diubah fungsinya memberikan kesan baru yang segar.
-
Kenapa TPA Putri Cempo terbakar? Dugaan awal, kebakaran terjadi akibat suhu panas akibat kemarau dan tingginya gas metana yang menumpuk di bawah sampah.
Seorang penghuni Lapas tersebut, Roy (nama samaran), mengakui penatnya hidup di dalam penjara yang penuh dengan manusia.
Dinginnya malam seolah tidak mampu mengusir hawa gerah dalam kamar. Kapasitas kamar untuk lima orang, diisi hingga 14 tahanan. Tidak ada kipas angin, apalagi pendingin ruangan. Roy terpaksa tidur bertumpuk dengan narapidana lain.
"Tidurnya berjejal," kata Roy saat berbincang dengan merdeka.com.
Tenggelam dalam dunia narkoba, membuat pria paruh baya ini harus merasakan kehidupan dari balik jeruji besi. Selama lima tahun enam bulan dia jadi penghuni Lapas Klas I Tangerang. Total tujuh tahun enam bulan, dia menyandang status sebagai narapidana kasus narkoba.
Lembaga pemasyarakatan yang ditujukan sebagai tempat untuk melakukan pembinaan terhadap para narapidana, nyatanya berbanding terbalik dengan pengalaman yang pernah dialami.
Masih terekam jelas dalam ingatan Roy, ketika pertama kali tiba di Lapas. Dia disodorkan pada dua pilihan 'dibantu atau dibambu'. Hal ini mengacu kepada serangkaian proses yang harus dilewati oleh tahanan baru seperti dirinya.
"Enggak bayar 86 (istilah damai) dia digulung, dibambu (digebukin) sama KPLP (Kalapas) sama tamping (tahanan pendamping) yang menjalani masa asimilasi," cerita Roy.
Besaran tarif pungutan liar (pungli) ini juga relatif. Berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp500 ribu. Jika narapidana tersebut sanggup membayar, sebagai imbalannya dia bisa langsung ditempatkan ke dalam blok.
"Kalau enggak 86, digulung, dibotakin. Setelahnya dinaikan ke menara berbulan bulan. Di sana enggak ada air, airnya susah," terangnya.
Diakui Roy, gesekan antar narapidana juga sering terjadi di dalam Lapas. Kondisi ini secara tidak langsung juga dipengaruhi karena faktor Lapas yang over capacity.
"Kalau misalkan gesekan di satu blok itu sering juga. Itu gampang kalau lu kesel sama gue. Gue jejek (pukul) lu di dalam. Tapi kalau satu blok lu sakit hati, bisa lu bales gue, pas gue tidur," jelas pria yang selesai menjalani masa hukuman tahun 2015 itu.
Merdeka.com telah berusaha menghubungi Victor Teguh Prihartono saat masih menjabat Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Tangerang. Namun Victor tidak menjawab upaya konfirmasi yang diajukan.
Kondisi yang sama juga terjadi di Lapas Salemba. Surya Anta, aktivis Papua yang sempat ditahan karena terlibat kasus makar, mengalami bagaimana kehidupan di dalam Lapas over capacity berjalan. Selain tidur berjejal, untuk urusan mandi juga tidak jauh berbeda.
"Memang secara umum memang over kapasitas. Dan sudah, tidur, mandi, bareng-bareng," tuturnya.
©2019 Merdeka.com/Arie BasukiKondisi ini terjadi ketika Surya Anta ditempatkan di penampungan Lapas Salemba. Di sana, kamar mandi hanya ada satu. Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau, para narapidana harus terbiasa mandi bersama.
Istilah penampungan merujuk kepada tempat bagi narapidana sebelum ditempatkan ke dalam blok. Surya Anta bercerita, ketika seseorang ditangkap polisi, dia terlebih dahulu dimasukkan ke sel. Setelah itu, jika statusnya naik menjadi tersangka, kemudian dimasukkan ke dalam blok di rutan polisi.
Setelah itu ketika kasusnya sudah P21 pelimpahan ke Kejaksaan, kemudian dipindahkan ke Rutan Salemba. Saat itu dia nanti akan masuk ke penampungan selama 30 hari kemudian akan turun ke blok ketika kasusnya masuk ke persidangan.
Selain over capacity, Surya Anta mengakui persoalan pungli juga masih marak. Ibarat pohon, pungli di dalam Lapas sudah mengakar kuat bahkan ketika narapidana tersebut baru masuk.
"Biasanya kalau enggak mampu bayar kena hukuman. Kena hukuman itu ada dicabutin alisnya, ada yang disuruh jongkok seharian semalaman, dan ada yg disuruh bersih-bersih ini itu, pijat dan segala macam," akunya.
Kondisi Lapas yang over capacity diakui oleh Kepala Lapas Salemba Yosafat Rizanto. Menurutnya, kelipatan kepadatan jumlah narapidana di sana sudah hampir 300 persen dari daya tampung ideal.
"Hampir 300 persen," tuturnya.
Persoalan over capacity Lapas tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Kepala Kantow Wilayah Kemenkum HAM Riau, Pujo Harinto menerangkan kondisi serupa juga terjadi di Bumi Lancah Kuning. Di Lapas Kelas II A Bagan Siapi-Api, jumlah narapidana over capacity sebanyak 846 persen. Harusnya kapasitas lapas sebanyak 98 narapidana. Namun kenyataannya, ada 927 narapidana menjalani hukuman di sana.
Sedangkan di Lapas Kelas II B Teluk Kuantan, over capacity narapidana mencapai 649 persen. daya tampung ideal seharusnya 53 narapidana. Namun diisi 397 narapidana.
Bersarkan data yang dimiliki Kanwil Kemenkum HAM Riau, 16 Lapas dan rumah tahanan memiliki daya tampung 4.455, namun diisi 13.210 narapidana.
Menurut Pujo, jalan keluar yang bisa ditempuh untuk mengurangi kelebihan beban Lapas ini adalah dengan melakukan restoratif justice bagi narapidana.
"Solusi harus ada restoratif justice bagi pelaku tindak pidana tertentu melalui assessmen yang ketat, dan pidana alternatif," tuturnya.
Untung dari Over Capacity
Persoalan over capacity ibarat mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi ada yang dirugikan. Namun sisi lain menguntungkan.
Pakar di bidang kriminologi dan kepolisian, Adrianus Eliasta Meliala menuturkan, kondisi lapas over capacity membuat anggaran yang dikelola Pemasyarakatan menjadi bertambah. Hal ini membuat rawan praktik penyimpangan.
"Jadi selalu menyenangkan di mata para sipir kalau punya warga binaan yang banyak, agar kemudian lalu dari pembelian macam-macam itu mereka bisa mengambil satu lah," katanya.
Alasan kedua adalah menciptakan suatu kondisi, di mana narapidana dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Dengan banyaknya napi di Lapas, kata dia, maka mereka membentuk komunitas. Saling mengenal, lalu memilih Ketua.
“Lalu di mata petugas Lapas sebagai kapital. Saya sebagai petugas mau pergi ke Jakarta lah, lalu kemudian itu minta sangon kepada ke kelompok itu yang kemudian belikan tiket atau apalah," ujarnya.
Menurut Adrianus, untuk mengubah kondisi seperti ini diperlukan terobosan agar persoalan Lapas over capacity bisa berkurang.
Pernyataan senada juga diungkapkan Anggota Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa. Menurutnya, persoalan over capacity menjadi bisnis menguntungkan di dalam Lapas.
Sebagai contoh, kata Desmond, apabila Lapas tersebut menambah jumlah tahanan, maka otomatis uang makannya juga bertambah. Kemudian, lanjut dia, ada proyek penyewaan tikar untuk para narapidana. "Itu real kok," ujarnya.
©2019 Merdeka.com/Arie BasukiPolitikus Partai Gerindra itu menunjuk pemerintah terkait kondisi Lapas over capacity. Menurutnya, tatanan hukum harus dibenahi. Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Desmond, Lapas menjadi tempat bagi semua yang terjerat hukum.
Bagi Desmond, pembangunan Lapas baru tidak akan bisa menyelesaikan persoalan over capacity. Berkaca dari kebijakan yang sudah-sudah, negara telah menggelontorkan triliunan anggaran untuk pembangunan Lapas. Namun persoalan utama tidak terselesaikan.
"Padahal di negara mana pun, hari ini penyakit masyarakat seperti ini bisa disalurkan. Belanda sudah tidak ada lagi penghuni Lapas-nya itu kan. Australia sudah ditata rapih. Jadi semua orang benahi. Yang jadi soal pemerintah ini pada saat kita membikin undang-undang pemasyarakatan yang sudah selesai, ditunda gitu loh. Digantung enggak jelas," ucapnya.
Beberapa solusi yang dinilai bisa dilakukan adalah kesiapan rumah sakit rehabilitasi untuk warga yang terjerat narkoba. "Jangan sampai akhirnya semuanya buangnya ke Lapas. Maka ini yang terjadi dengan over capacity," pungkasnya.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kemenkum HAM, Rika Aprianti mengakui kondisi Lapas over capacity membuat jumlah sipir tidak seimbang. Namun ketika dikonfirmasi terkait dugaan permainan anggaran di dalam Lapas dengan memanfaatkan kondisi over capacity, Rika mempersilakan DPR untuk menyampaikan bukti-bukti.
"Kalau kayak gitu kita berbicara pada fakta. Kita welcome kok semua hal yang berkaitan adukan silakan adukan, laporkan. Kalau saya tidak akan berbicara tidak berdasarkan fakta, kalau ada data di kami kami sampaikan," ucap Rika.
Kemenkum HAM ogah disalahkan sendirian terkait persoalan Lapas over capacity. Rika menjabarkan, sejumlah langkah telah ditempuh untuk mengatasi persoalan klasik tersebut. Pertama dengan pembangunan Lapas baru. Namun, diakui Rika, solusi ini belum seratus persen menjawab persoalan.
Terlebih biaya yang dibutuhkan untuk membangun tidaklah sedikit. Belum lagi urusan perawatan dan pengadaan perangkat perangkat terkait, termasuk juga persoalan keamanan.
"Itu salah satu solusi tetapi bukan solusi ya, karena pertama mahal. Kedua itu tidak menambah kapasitas terlalu jauh, karena harganya mahal dari segi pembangunan," tuturnya.
Upaya Kemenkum HAM selanjutnya, memberikan hak bebas bersyarat, termasuk juga remisi. Ini diberikan bagi narapidana yang mengikuti pembinaan dengan baik selama menjalani hukuman. Kemudian memberikan hak integrasi seperti cuti bersyarat, cuti menjelanh bebas. Sedangkan untuk kasus narkoba, terbukanya peluang untuk dilakukan rehabilitasi.
"Penggunaan narkotika bisa langsung direhabilitasi alangkah sangat menguntungkan sekali bagi Lapas dan Rutan. Itu bisa mengurangi hingga 30 persen," jelas Rika.
Bicara soal data, Rika mengatakan, jumlah narapidana di Indonesia sebanyak 266 ribu. Sementara Lapas di seluruh Indonesia idealnya hanya bisa menampung narapidana sebanyak 130 ribuan saja.
Belum lagi soal anggaran. Rika menilai, sering kali Kementeriannya berhutang kepada para pemborong karena kurangnya anggaran. Contohnya, utang kepada vendor penyedia jasa makanan para narapidana.
“Karena hunian tahun ini pada tahun depannya itu nanti bertambah,” katanya.
Pakar Kriminologi Adrianus Meliala mengakui, anggaran menjadi salah satu persoalan dalam pengelolaan Lapas di Indonesia. Belum lagi bicara soal kekurangan sumber daya manusia di Lapas.
Dia mengatakan, banyaknya narapidana menjadi beban bagi negara. Sebab, uang makan para narapidana yang dianggarkan negara Rp18 ribu per orang dalam satu hari.
Untuk kesehatan para narapidana, dia mengungkapkan, pemerintah menganggarkan Rp10 ribu untuk setahun. “Paling bisa beli panadol tuh, paling juga hanya 1 tablet,” imbuhnya.
Adrianus juga menyinggung rencana pemerintah yang ingin membangun 13 Lapas baru. Angka itu jauh dari kebutuhan. Menurut dia, Indonesia butuh membangun 140an Lapas untuk menampung seluruh narapidana yang ada saat ini.
Selanjutnya, bicara soal SDM, Adrianus mengungkapkan, idealnya 10 narapidana dijaga oleh 1 sipir. Artinya, jika saat ini ada 270 ribu narapidana, maka Indonesia membutuhkan 27 ribu orang sipir. Faktanya tidak demikian.
Kata dia, total jumlah petugas Lapas di Indonesia ada 40 ribu. Tapi 40 ribu termasuk manajemen dan pembinaan. Khusus penjaga tahanan hanya 8 ribu orang. Jauh di bawah angka ideal.
“Jadi harusnya 270 ribu dijaga 27 ribu orang. Tapi dalam kenyataannya, hanya dijaga 8.000 orang dibagi 700 Lapas kurang lebih sekitar itu. Maka hasilnya tadi seadanya,” kata Adrianus.
Tim Penulis: Ronald Chaniago, Kirom, Abdullah Sani, Yacob Billiocta
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kejadian berawal saat korban duduk main handphone di tembok jembatan saluran air.
Baca Selengkapnya