Golkar lebih berpengalaman ikut dalam pemerintahan
Merdeka.com - Setelah pemilihan presiden berakhir, Partai Golongan Karya (Golkar) mulai melihat ulang posisi mereka dalam koalisi Merah Putih. Namun hingga saat ini Golkar belum menentukan sikap apakah menjadi oposisi atau menyokong pemerintahan baru Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla.
Di lain pihak, kepemimpinan Aburizal Bakrie akan berakhir. Ini dianggap sebagai momentum tepat menentukan sikap melalui mekanisme musyawarah nasional.
Muncul sejumlah suara ingin musyawarah nasional itu digelar tahun ini. Tapi keinginan itu terganjal lantaran Ical menetapkan memperpanjang masa jabatannya hingga tahun depan.
-
Apa yang dibahas dalam pertemuan Golkar? “Yang intinya, menginginkan Hasta Karya ini solid, kami sampaikan bahwa sampai saat ini seluruh organisasi Hasta Karya “Hasilnya adalah memberikan kewenangan penuh pada Ketua Umum Golkar Bapak Airlangga Hartarto untuk menentukan arah kebijakan, langkah-langkah yang akan diambil terkait dengan pilpres, pileg, dan pilkada,“ tegas Ketum MKGR.
-
Siapa Ketua Umum Partai Golkar? Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto bersilaturahmi dengan pimpinan ormas Hasta Karya atau pendiri, ormas yang didirikan, dan organisasi sayap partai berlambang pohon beringin, Minggu (6/8/2023).
-
Siapa ketua umum Partai Golkar saat ini? Airlangga Hartarto menjadi Ketua Umum Partai Golkar ke-11 sejak pertama kali dipimpin Djuhartono tahun 1964.
-
Kapan Golkar akan mengadakan Munas? Posisi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto ramai menjadi perbincangan, terlebih soal rencana musyawarah nasional (Munas) partai tersebut akhir tahun ini.
-
Apa pesan para ketua dewan kepada pengurus Golkar? “Jangan ada lagi konflik internal yang justru kontraproduktif dengan cita-cita Partai Golkar, mengembalikan kemenangan seperti Pemilu 2004,“ ujar Lodewijk.
-
Siapa yang memimpin Golkar? Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mendampingi Presiden Joko Widodo yang memimpin jalannya KTT di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, Rabu (6/9).
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar Agung Laksono termasuk yang ingin musyawarah itu digelar tahun ini. Selain sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai, dia beralasan sikap partai terhadap pemerintahan baru dapat segera ditentukan.
Bersetelan safari dan ditemani secangkit teh hangat, Agung selama lebih dari setengah jam menjelaskan soal itu dan masa depan partai di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Rabu malam lalu.
Berikut penjelasan Agung Laksono kepada Ahmad Baiquni, Faisal Assegaf, dan juru foto Muhammad Luthfi Rahman dari merdeka.com.
Bagaimana Anda melihat pentingnya pelaksanaan musyawarah nasional Golkar sebentar lagi?
Tujuan musyawarah nasional itu pertama, menerima pertanggungjawaban DPP selama lima tahun. Kedua, menyusun program kerja untuk lima tahun ke depan. Ketiga, memilih ketua umum dan jajaran pengurus baru untuk masa bakti berikutnya. Keempat, menyusun rekomendasi nasional.
Saya berharap musyawarah nasional akan datang tentu tidak lagi menghasilkan produk apapun, termasuk rekomendasi, menimbulkan multiinterpretasi dan perdebatan bisa menyebabkan gangguan atau distorsi soliditas partai.
Kapan jadwal musyawarah nasional luar biasa itu?
Tidak, bukan musyawarah nasional luar biasa. Kita hindarkan istilah musyawarah nasional luar biasa karena memang tidak ada sesuatu luar biasa. Jadi musyawarah nasional Partai Golkar kedelapan itu berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga mengikuti mekanisme lima tahunan periodesasi.
Tapi saya berpandangan kewenangan untuk penyelenggaraannya ada di tangan DPP. Maka selanjutnya saya serahkan ke DPP. Ada mekanisme untuk itu, melalui rapat pleno, rapat pimpinan nasional, dan sebagainya.
Nah, sekarang ini selama ketua umumnya Pak Aburizal Bakrie, ya masuk dalam koalisi Merah Putih. Tentu perubahan-perubahan tergantung pada DPP akan datang. Saya belum bisa memprediksi tapi biasanya ada tiga macam sikap.
Pertama, partai itu bersikap oposan. Secara apriori, apapun keputusan pemerintah selalu ditentang. Baik atau tidak baik, apalagi tidak baik. Baik saja ditentang.
Kedua adalah tipe pengikut. Sebagai loyalis betul, apapun diikuti. Apapun keputusan pemerintah itu diikuti. Seperti Golkar waktu Orde Baru. Bahkan menyosialisasikan, mengamankan. Karena memang keputusannya diambil bersama-sama antara Golkar dengan pemerintah. Karena sifatnya sudah menyatu maka kebijakan apapun tentu akan didukung oleh koalisi meski orang lain memandang kurang sejalan dengan prorakyat.
Ketiga adalah moderat. Mendukung sepenuhnya, berada bersama-sama pemerintah, tidak berseberangan. Tapi keputusan atau kebijakan pemerintah itu dipandang tidak menguntungkan atau tidak prorakyat, maka ada ruang untuk mengatakan tidak.
Ada ruang berdemokrasi. Ada ruang untuk mengoreksi. Tapi kalau itu memang betul-betul mendukung program-program sejalan dengan aspirasi rakyat, membangun masyarakat, membangun bangsa dan negeri ini dalam segala aspek kehidupan, apakah itu di sektor pertahanan, ekonomi, hukum, sosial, apa saja, maka didukung dan ikut menyukseskan.
Secara tradisi, Golkar di sikap ketiga itu. Nah, di saat sekarang posisinya adalah berkoalisi Merah Putih dan pak ketua umum sudah menjelaskan tidak selamanya oposisi juga, tapi lebih kepada penyeimbang. Kita lihat nanti mudah-mudahan saya yakin Golkar tidak punya niat jelek. Golkar selalu karakternya ingin menciptakan iklim kondusif.
Melihat posisi saat ini berada pada koalisi Merah Putih, apakah opsi ketiga dapat dijalankan secara penuh?
Karena ini belum berjalan, saya sendiri belum tahu. Ini kan untuk pemerintah. Kalau dengan pemerintahan sekarang, ya sepertinya opsi ketiga itu. Biasa, tidak ada masalah. Saya belum bisa mengatakan sekarang. Secara pasti apakah itu oposisi, bisa juga akan sebaliknya. Secara politik itu masih nanti untuk bisa menyimpulkan ini betul-betul oposan atau loyalis atau loyalis tapi kritis.
Apakah dalam Golkar sudah lebih banyak orang ingin Ical lengser?
Tidak ada hubungannya itu. Kalau saya sering berbeda pandangan dengan Pak Ical, bukan berarti saya secara pribadi bermusuhan. Kami masih sering mengobrol bersama. Musyawarah nasional ini niatnya bukan langsung melengserkan, tapi itu mekanisme organisasi.
Itu merupakan modus operandi dari mekanisme organisasi kepartaian. Di situ ada konsolidasi, penyegaran, pembaharuan, macam-macam. Melalui musyawarah nasional itu ada penegasan sikap politik dan sebagainya.
Jadi bukan berarti musyawarah nasional otomatis melengserkan. Itu konotasinya negatif. Salah satunya adalah mengganti kepengurusan, mengganti kepemimpinan. Tapi Golkar bukan hanya sekali ini menyelenggarakan musyawarah nasional. Setiap lima tahun.
Untuk kesempatan Golkar lima tahun mendatang, apakah pergantian pengurus harus diselenggarakan tahun ini atau memang bisa menunggu tahun depan?
Saya kira tidak tergantung dari waktu penyelenggaraan. Hasil pemilu itu lebih pada kinerja. Memang lebih cepat tentu lebih baik. Biasanya, mekanismenya habis pemilu konsolidasi. Konsolidasi itu melalui musyawarah nasional. Ada kaderisasi, pembinaan, rekrutmen, sampai mobilisasi pemilu. Kembali lagi konsolidasi, begitu seterusnya.
Lebih cepat tentu lebih baik sehingga banyak bersuara seperti itu. Ada bersuara 2014, ada bersuara 2014 akhir. Tapi ada juga bersuara 2015 awal. Saya tidak ingin memperdalam perdebatan-perdebatan itu lagi. Menurut saya, Anggaran Dasar memandang seperti itu, sesuai mekanisme lima tahunan.
Namun karena kewenangan penyelenggaraannya ada di DPP, saya serahkan sepenuhnya kepada DPP untuk dijalankan. Pada waktunya akan ditetapkan nanti, biasanya lewat rapat pimpinan nasional. Saya tidak tahu persisnya kapan.
Apakah lebih banyak yang kecewa dengan kepemimpinan Ical?
Ya, itu sebagai bagian dari dinamika. Biasa lah. Pemerintahan juga ada gembira, ada kecewa. Saya kira itu wajar-wajar saja. Penting buat saya itu kita tetap bersatu dan karena nanti setiap habis pemilu ada perpecahan lagi.
Golkar sudah banyak melahirkan partai politik. Dulu Gerindra dari Golkar. Ada juga NasDem. Bahkan PKPI pun dulunya pentolan-pentolannya dari Golkar juga. Yah, saya harap sudahlah, masa lalu tidak lagi terulang. Dalam rangka membesarkan partai ke depan memang perlu langkah-langkah pembaruan.
Untuk kepentingan membesarkan Golkar ke depan, apakah untuk pemerintahan baru nanti Golkar lebih baik di luar pemerintahan atau tetap seperti biasa ikut bergabung?
Masalahnya kalau di dalam pemerintahan Golkar sudah terbiasa sih. Apalagi faktanya, banyak juga gubernur, bupati, wali kota dari Golkar. Jadi sudah terbiasa. Kalau di luar pemerintahan sebetulnya pernah juga di luar pemerintahan. Sebagai penyeimbang, kalau tidak salah, tapi tidak penuh, zamannya Pak Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika jadi presiden. Hanya sedikit sekali menteri dari Golkar.
Saya tidak bisa mengatakan mana lebih baik. Hanya kalau ditanya, pasti lebih berpengalaman di dalam pemerintahan. Ikut serta karena memang program pokok partai itu catur sukses. Ada sukses kaderisasi, sukses konsolidasi pusat sampai daerah-daerah, ikut menyukseskan pembangunan negara untuk kesejahteraan rakyat, dan sukses pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, pemilihan presiden.
Tapi di luar pemerintahan ini, apalagi di luar pemerintahan bersikap oposisi, ini memang belum pernah kami lakukan. Di luar pemerintahan bisa juga, tidak berarti selamanya oposisi. Artinya moderat tadi, bisa bergabung mendukung pemerintahan, bisa juga sebaliknya, tergantung dari isunya, melalui kebijakan.
Jadi saya tidak bisa mengatakan di luar pemerintahan itu karena tidak pengalaman, Golkar kemudian menjadi lebih jelek. Saya kira tidak juga. Secara pasti itu harus belajar dari pengalaman. Maksud saya harus dilakoni dulu. Tapi apapun saya yakin Golkar tidak punya niat negatif terhadap pemerintahan.
Jika ternyata pilihannya harus berada di luar, kemudian Golkar memilih sikap moderat, bagaimana Golkar memberikan kritik terhadap pemerintahan?
Ya, lebih dimungkinkan untuk mengkritik. Bisa disampaikan melalui mekanisme di parlemen, melalui komisi-komisi, disuarakan oleh fraksi kami. Kebijakan dari DPP tapi dijalankan oleh fraksi sebagai kepanjangan tangan dari partai. Atau bisa juga melalui media dalam bentuk penyataan politik.
Artinya, di manapun posisinya Golkar tetap bisa bermain?
Bisa. Dalam kebijakan itu kan biasanya dituangkan dalam undang-undang (UU). Kemudian dituangkan dalam peraturan daerah. Nah di situ terjadi pergumulan, terjadi pembahasan. Dari situ publik bisa melihat dari proses itu sikapnya seperti apa.
Seringkali bisa kelihatan. Apalagi kalau sekarang lebih terbuka. Menurut saya, publik bisa melihat dalam pembicaraan di DPR melalui siaran televisi, radio, koran, atau online.
Menurut Anda, pemerintahan mendatang apakah sebagai momen tepat bagi Golkar belajar berada di luar pemerintahan?
Ya, bisa saja dikatakan begitu karena sama-sama baru. Pemerintahan juga baru. Tapi ada yang mengatakan partai itu menjadi oposisi pada umumnya kebetulan. Karena tidak memenangkan dalam pemilu, akhirnya menempatkan diri menjadi oposisi.
Oposisi itu untuk partai kalah dan itu bukan sesuatu dirancang. Tergantung hasil pemilu. Saya juga tidak pernah mendengar sebuah partai sebelum pemilu menyatakan menjadi oposisi. Biasanya menyatakan diri menjadi oposisi atau menjadi loyalis setelah selesai pemilu. Jadi, apakah tepat atau tidak, saya kira tidak bisa dinilai sekarang.
Atau memang sebagian besar pengurus atau pimpinan Golkar tidak percaya diri untuk menjadi oposisi?
Kita belum ada pengalaman, belum bisa mengambil keputusan. Terlalu gegabah menyimpulkan sekarang. Penting dilandasi niat baik bukan untuk mengganggu pemerintahan sehingga membuat suasana selalu keruh, lalu semua tidak jalan.
Kalau niatnya ingin membuat suatu kebijakan pemerintah bermutu baik, mesti ada perdebatan. Saya punya pengalaman lainnya setelah berpuluh tahun terjun dalam dunia politik, aktif di parlemen, aktif di pemerintahan. Perdebatan itu akan menghasilkan kesimpulan lebih bermutu daripada satu arah disodorkan begitu saja.
Dengan perdebatan itu bisa ada koreksi-koreksi. Begitu juga kebijakan pemerintah. Tapi kalau lebih banyak keterlibatan dan kebijakan itu diperluas, lebih bagus lagi. Memang agak lama, tapi biasanya lebih baik.
Kalau memang perlu ganti kepengurusan, menurut Anda siapa kader pantas memimpin Golkar nanti?
Saya sebagai salah satu calon tentu tidak pas kalau saya mengatakan hal itu. Lebih baik bertanya ke lainnya saja. Tidak pas kalau bertanya ke saya siapa lebih baik ke depan. Lebih baik tanya kepada kepala daerah, konstituennya, atau pemangku kepentingan, atau kepada pemegang suara. Pemegang suara itu dari provinsi satu, dari kabupaten satu. Itulah pemegang suara. Jadi kalau mau tahu, tanya ke sana.
Atau Anda punya prediksi siapa menjadi pesaing terkuat Anda nanti dalam pencalonan?
Ya, ada menyebut-nyebut seperti Pak Hidayat (MS Hidayat). Ada juga nama-nama lain, tapi saya belum bisa memastikan. Sebab yang sudah mendeklarasikan baru dia.
Biodata
Nama:
Agung Laksono
Tempat dan Tanggal Lahir:
Semarang, Jawa Tengah, 23 Maret 1949
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (1972)
SMA di Medan, Sumatera Utara (1968)
SMP Perguruan Cikini, Jakarta (1963)
SD (1960)
Karier:
Parlemen
Ketua DPR (2004-2009)
Anggota MPR dari Utusan Daerah Sulawesi Tenggara (1999-2004)
Anggota DPR/MPR tiga periode (1997-1998 dan 1987-1997)
Wakil Ketua FKP MPR (1997-1998)
Sekretaris FKP MPR (1993-1997)
Eksekutif
Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2009-2014)
Menteri Negara Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999)
Menteri Negara Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Pembangunan VII (1998)
Organisasi:
Ketua Umum PPK Kosgoro 1957 (2002-2007)
Ketua DPP Golkar (1993–2004)
Dewan Pembina Bamuhas Kosgoro (1996–2001)
Ketua Yayasan STIMA Kosgoro
Anggota Dewan Pertimbangan Organisasi Kosgoro (1995-2000)
Wakil Ketua Dewan Kehormatan KADIN Indonesia (1993-1998)
Sekjen PPK Kosgoro (1990-1995)
Ketua Kompartemen Pembinaan Organisasi dan Keanggotaan KADIN (1988-1993)
Ketua Departemen Pengabdian Masyarakat DPP Golkar (1988-1993)
Ketua Umum DPP AMPI (1983-1988)
Ketua Umum BPP HIPMI (1983-1986)
Wakil Bendahara PDK I Kosgoro DKI Jakarta (1979-1983)
Ketua Biro Pengarahan Sarana dan Dana DPD Golkar Tingkat I DKI Jakarta (1979-1984)
Wakil Sekretaris DPD AMPI Tingkat I DKI Jakarta (1978-1979)
Wakil Sekertaris Jenderal DPD AMPI Tingkat I DKI (1977-1978)
DPP Angkatan Muda Jayakarta
Ketua BPD HIPMI JAYA (1975-1977)
Ketua Umum DPP AMPI (1983-1988) (mdk/fas)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Agung Laksono menyindir sejumlah pengurus Partai Golkar yang merangkap jabatan.
Baca SelengkapnyaInternal Golkar kembali panas jelang Munas pemilihan ketua umum
Baca SelengkapnyaAirlangga sebelumnya mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar per Sabtu (10/8) malam.
Baca SelengkapnyaKeputusan itu diambil secara musyawarah mufakat oleh para peserta rapat yang terdiri dari seluruh perwakilan DPD Partai Golkar seluruh Indonesia.
Baca SelengkapnyaSelain dedikasi, Agus juga mengapresiasi segala prestasi ditorehkan Airlangga selama memimpin partai berlambang pohon beringin.
Baca SelengkapnyaAGK mengatakan, penunjukkan dirinya sebagai PLT ketua umum Partai Golkar dilkukan secara musyawarah mufakat.
Baca SelengkapnyaNama Bahlil dikabarkan bakal menjadi ketua umum menggantikan Airlangga dan diputuskan pada Munas Golkar digelar Desember mendatang.
Baca SelengkapnyaSebanyak 38 ketua DPD juga menegaskan taat pada satu komando di bawah kepemimpinan Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto.
Baca SelengkapnyaRidwan Kamil sudah bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto membahas peluang menjadi Cawapres Ganjar.
Baca SelengkapnyaJK menyebut Agung Laksono 'hobi' memecah belah. Ia menyinggung Kosgoro usungan Agung Laksono untuk memecah belah Golkar.
Baca SelengkapnyaKabar Agus Gumiwang menjadi calon kuat Plt Ketum Golkar dibenarkan Waketum Partai Golkar Dito Ariotedjo dan Ketua Dewan Pakar DPP Partai Golkar Agung Laksono.
Baca SelengkapnyaKetua MKRG Adies Kadir menyerahkan surat dukungan kepada Airlangga Hartarto.
Baca Selengkapnya