Jadi lawan di Jakarta, akur di daerah
Merdeka.com - Dalam politik tidak ada lawan dan kawan abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi. Ungkapan tersebut memang menjadi kiblat dalam dunia politik. Demi kepentingan, hari ini kawan besok bisa menjadi lawan, juga sebaliknya.
Dalam ajang pilkada serentak 2017 misalnya, tiga poros besar kekuatan yang bertarung di Pilgub DKI ternyata tidak selamanya berperang juga di daerah lain. Koalisi yang dibangun di pusat bisa berbeda di tingkatan pilkada.
Di Pilgub DKI, PDIP, Demokrat dan Gerindra membentuk tiga poros berbeda. Ketiga partai itu seolah membuat kutub yang saling serang satu sama lain.
-
Kenapa PDIP melobi PKB untuk Pilkada Jakarta? 'Atas dasar fakta itu, kami berniat menjalin kerja sama politik dengan PKB. Waktu itu kan PDIP belum bisa mengajukan calon sendiri sebab Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 yang membolehkan kami mengajukan calon sendiri belum ada,' tambah dia.
-
Siapa yang ingin diusung oleh PDIP? 'Kalau memang misalnya Pak Anies berpasangan dengan kader kami jadi wagubnya,' Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Utut Adianto kepada wartawan.
-
Siapa yang diusung PDIP? Tri Rismaharini dengan Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans yang diusung PDIP.
-
Apa keinginan Prabowo terkait Megawati? Begitu pula dengan Prabowo Subianto yang mengungkap ada rencana untuk melakukan pertemuan politik dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Hanya saja, Prabowo belum tahu kapan Megawati bersedia menerimanya.
-
Apa yang dihalangi dari Prabowo dan Megawati? Sesungguhnya pertemuan antara Prabowo dengan Megawati tidak ada halangan atau hambatan. Dia menyebut, perbedaan politik antara Prabowo dan Megawati di Pilpres 2024 tidak menjadi permasalahan.
Demokrat, PPP, PAN dan PKB membentuk koalisi Cikeas untuk mengusung duet Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. PDIP, Hanura, NasDem dan Golkar membentuk koalisi besar dengan mengusung petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat. Sedangkan Gerindra dan PKS mengusung duet Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Ketiganya melambangkan elite politik yang mendominasi saat ini, Jokowi dengan back up Megawati, kubu Prabowo Subianto, dan kubu Susilo Bambang Yudhoyono.
Mega dampingi Ahok-Djarot daftar ke KPUD ©2016 merdeka.com/muhammad luthfi rahman
Ketiga poros itu pun mulai saling serang. Tidak cuma para pasangan calon, kader partainya sudah mulai memanasi mesin politik untuk kemudian saling lempar peluru dan bola panas ke arah musuhnya. Pilgub DKI rasa pilpres pun dirasakan para pendukung.
Namun, perseteruan ketiga poros itu rupanya tidak terjadi di daerah lain. Di Pilgub Sulawesi Barat misalnya, PDIP dan Gerindra berdamai untuk mengusung pasangan Ali Baal Masdar dan Enny Angraeny Anwar. Koalisi ini juga ditambah NasDem, PAN, PKB dan PPP.
Di Sulawesi Barat, koalisi PDIP dan Gerindra ini justru bertarung dengan koalisi Demokrat, PKS dan Hanura mengusung Suhardi Duka-Kalama Katta. Sedangkan partai beringin mengusung Salim Mengga-Hasunddin Mas'ud.
Konstelasi politik di Kulonprogo, DIY juga membuat PDIP dan PKS bergabung mengusung pasangan Hasto Wardoyo-Sutedjo. Pasangan nomor urut dua ini juga disokong oleh Golkar, PAN, Hanura dan NasDem. Koalisi gemuk ini bakal menantang pasangan Zuhadmono Azhari-Iriani Pramastuti yang diusung Gerindra, PKB dan Demokrat.
Deklarasi Anies Baswedan-Sandiaga Uno ©2016 Merdeka.com/Anisyah Al Faqir
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menyebut, dalam konteks politik di Indonesia, koalisi memang tidak utuh bulat. Artinya koalisi di tingkat nasional bisa berbeda dengan di tingkat lokal atau daerah.
"Koalisi partai politik itu tergantung dari kesepakatannya apa. Artinya koalisi di tingkat nasional bisa tidak berlaku di tingkat lokal," ujar Djayadi dalam perbincangan dengan merdeka.com, Kamis (3/11) kemarin.
Dalam konteks Pilgub DKI, Djayadi tidak menampik adanya pertarungan antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Prabowo dan Megawati. Namun pertarungan ketiganya di Pilgub DKI bukan karena perbedaan fatsun politik, tetapi lebih dipengaruhi oleh dinamika politik lokal.
"Jika saja Megawati mengusung Risma di Pilgub DKI, mungkin saja saat ini Prabowo dan SBY akan bergabung dengan Megawati. Hanya karena kemudian PDIP mengusung Ahok, Prabowo dan SBY akhir berseberangan dengan Megawati," ujarnya.
Deputi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyebut cairnya koalisi di Tanah Air dikarenakan dukungan terhadap calon kepala daerah tidak didasarkan pada fatsun partai. Koalisi baik di tingkat nasional maupun daerah lebih dikarenakan pasangan calonnya.
"Gerindra misalnya, punya fatsun politik ekonomi kerakyatan dan anti asing, PDIP partai wong cilik. Nah ketika membangun koalisi mereka tidak berdasarkan pada fatsun itu," ujarnya.
Kampanye Agus-Sylvi di Gedung Djakarta Theater ©2016 merdeka.com/muhammad luthfi rahman
Terlebih dalam banyak kasus, koalisi tidak dibangun oleh parpol, tetapi justru oleh pasangan calon. Pasangan calon justru mendudukkan bareng para parpol untuk kemudian dimintai dukungan.
"Pasangan calon justru yang menggerakkan partai, bukan partai atas dasar fatsun dalam membentuk koalisi. Nah politik kita apalagi dalam konteks pilkada saat ini masih seperti itu," terang Maskurudin.
Hal itu terlihat jelas ketika koalisi terbentuk, kontribusi parpol kepada pasangan terlihat sangat minim. Yang ada justru sebaliknya, para pasangan calon kepala daerah yang kerja sendiri.
"Kontribusi parpol ke calon itu minim. Mereka para calon justru kerja sendiri. Mereka bikin tim sendiri yang lebih efektif dari parpol," ujarnya. (mdk/hhw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jika PDIP bersama PKB dan PKS mendukung Anies maka akan semakin bagus dan berpeluang menang.
Baca SelengkapnyaPKB akan bekomunikasi dengan PDIP membahas calon kuat yang akan menjadi jagoan mereka.
Baca SelengkapnyaEriko mengatakan, dalam membangun kerja sama tidak ada partai yang bisa mengedepankan egonya.
Baca SelengkapnyaKetua DPD PDIP Jatim, Said Abdullah, mengatakan partainya terbuka bila dalam bekerja sama dengan partai lainnya
Baca SelengkapnyaAhok menyerahkan keputusan pencalonan Pilkada Jakarta kepada Tim Desk Pilkada DPP PDIP, Sekjen PDIP dan nantinya akan diputuskan oleh Megawati Soekarnoputri
Baca SelengkapnyaPengumuman tersebut rencananya akan dilakukan langsung oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Baca SelengkapnyaPDIP membuka peluang mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Syaiful Hidayat untuk dicalonkan pada Pilkada Sumut.
Baca SelengkapnyaHasto Kristiyanto memastikan PDIP membuka peluang bekerja sama dengan partai lain
Baca SelengkapnyaYunarto juga mengomentari munculnya nama Pramono Anung, sosok yang dekat dengan Jokowi
Baca SelengkapnyaJika kekuatan pro pemerintah di Parlemen sangat kuat maka akan sulit menyampaikan kritik.
Baca SelengkapnyaAdapun soal sinyal arah dukungan Demokrat, kata Hasto, sejauh ini masih terlihat baru penjajakan.
Baca SelengkapnyaKetua DPP PDI Perjuangan, Ahmad Basarah blak-blakan, arah politik PDIP akan mengikuti perintah Ketua Umum Megawati Soekarnoputri
Baca Selengkapnya