Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Janggal penetapan Pasal

Janggal penetapan Pasal Ilustrasi UU ITE. ©2015 Merdeka.com

Merdeka.com - Sejak awal, kasus menjerat nama aktivis pemberantasan korupsi Ronny Maryanto Romadji memang menuai kontroversi. Apalagi, Ronny dijerat dengan menggunakan pasal 27 ayat 3 Undang Undang Republik Indonesia Tentang Teknologi Komunikasi dan Informasi. Banyak yang menilai ada kejanggalan dalam penetapan pasal untuk Ronny.

Awal Juni 2014 merupakan ihwal kasus ini dimulai. Saat itu Fadli Zon melaporkan empat orang ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Adalah Director Tribunnews.com Herman Darmo, Reporter Tribun Jateng Raka F Pujangga, dan Editor Tribunnews.com Hasanuddin Aco dan juga Ronny Maryanto, orang dilaporkan Fadli. Dia juga meminta keempatnya dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik dan Fitnah jo Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.

Sebulan setelah pelaporan itu, Ronny diperiksa sebagai saksi. Namun saat pemanggilan kedua, statusnya langsung berubah. Ronny ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik. Sementara tiga nama dilaporkan Fadli diproses melalui Undang-Undang Pers karena semuanya adalah pekerja media. Penetapan tersangka itu memang terbilang janggal. Apalagi penyidik membuang pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Fadli awalnya tak setuju dengan penghilangan pasal itu. Namun Ronny tak menyebarkan informasi itu sendiri melalui akun media sosialnya. Belakangan, tudingannya pun menjadi bertambah. Ronny dituduh menjatuhkan nama pasangan calon nomor urut satu, Prabowo-Hatta. Advertorial itu juga kemudian dicurigai Ronny dimainkan oleh salah seorang pengusaha kelas kakap.

"Karena pada saat itu beberapa pelanggaran yang kami laporkan ke Panwaslu tidak hanya pelanggaran yang dilakukan pasangan calon nomor 1," ujar Ronny Maryanto saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.

Fadli pun mengakui jika sebenarnya dia tidak mempermasalahkan Ronny dalam kasus tersebut. Dia mengatakan jika sebetulnya advertorial dimuat Tribunnews.com merupakan inti pokok permasalahan dia adukan. Namun karena Ronny menjadi narasumber dalam berita dimuat dalam advertorial itu, Ronny juga turut ikut dilaporkan. Apalagi Fadli menuding jika Ronny ingin menjatuhkan pasangan calon nomor urut satu.

"Jadi yang saya permasalahan sebetulnya advertorial itu," ujar Fadli kepada merdeka.com. Meski demikian Fadli tak mau jika dalam kampanye itu disebut bagi-bagi uang. Dia pun mengakui jika dirinya memberikan uang kepada pedangan dan pengemis saat sedang melakukan kampanye. "Itu sudah saya jelaskan gak ada itu bagi-bagi uang. Saya ngasih uang untuk pengemis,".

Pelaporan Fadli memang terbilang janggal. Ketika dia meminta Ronny dijerat dengan pasal 27 UU ITE, Fadli justru berani pasang badan buat membebaskan Muhammad Arsad dari tahanan. Arsyad kala itu dilaporkan tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla karena mengedit foto Jokowi dengan Megawati berbau pornografi dan menyebarkannya melalui akun facebook. Pria 23 tahun itu dijerat Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi. Tidak hanya itu, Kepolisian juga menjeratnya dengan pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik. Namun berkat bantuan Fadli, Arsyad bebas.

Kasus dialami Ronny pun menuai kritik dari berbagai kalangan. Apalagi penetapan tersangka Ronny dinilai tidak sesuai dengan undang-undang. Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independent, Suwarjono mengatakan kasus Ronny menjadi persoalan sangat serius. Apalagi Ronny merupakan narasumber dalam pemberitaan. Menurut dia seharusnya kasus Ronny bisa diselesaikan tanpa dibawa ke ranah hukum.

"Seharusnya narasumber tidak bisa dikriminalisasikan," ujar Suwarjono. Dia pun menjelaskan, seharusnya Fadli Zon menggunakan hak jawab kepada media yang memuat pernyataan Ronny. Jika memang tidak puas dengan hak jawab, Fadli juga bisa membawanya ke Dewan Pers. "Ketika pendapat atau karya jurnalistik tersebut muncul di media, maka media tersebut mengambil alih tanggung jawab. Bukan lagi milik pribadi narasumber," katanya.

Berbeda dengan Suwarjono, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Nasrullah mengaku kebingungan dengan kasus menjerat Ronny. Dia mengatakan jika definisi pencemaran nama baik memiliki makna luas dan hanya bisa diukur oleh pemilik nama itu sendiri. Namun demikian, Nasrullah beranggapan jika dalam kasus Ronny ada indikasi kuat pola money politic dilakukan Fadli Zon. "Tetap money politic, tidak ada urusan, ngapain itu bagi-bagi duit di situ (Tempat kampanye)," ujar Narsullah.

Hal senada juga dikatakan Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar. menurut dia kasus Ronny menimbulkan gejala yang buruk bagi iklim demokrasi. Apalagi Ronny dalam hal ini menurut Wahyudi sebagai masyarakat melapor pelanggaran saat kampanye justru di proses hukum. Untuk itu dia mendorong adanya dekriminalisasi agar pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE ditiadakan.

"Kalau mekanisme seperti ini dipertahankan, yang terjadi kan tidak ada masyarakat yang akan mengawasi tindakan dari para politisi dan juga pejabat negara atau penyelenggara pemerintahan," ujar Wahyudi. (mdk/arb)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Henri Subiakto Nilai Penangkapan Palti Hutabarat Keliru, Karena Salah Menerapkan Pasal UU ITE
Henri Subiakto Nilai Penangkapan Palti Hutabarat Keliru, Karena Salah Menerapkan Pasal UU ITE

"Pengkapan Palti Hutabarat memakai pasal tersebut jelas keliru. Saya harus mengoreksi kesalahan polisi ini," kata Henri

Baca Selengkapnya