Jaringan Teroris Mengincar Kaum Muda
Merdeka.com - Dua dentuman kencang memecah ketenangan pagi di kawasan elit Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Kepulan asap melambung tinggi. Tepat di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Sembilan orang tewas dalam kejadian naas itu. Dua di antaranya merupakan pelaku bom bunuh diri.
Suasana kala itu memang mencekam. Banyak orang di sekitar lokasi lari berhamburan. Mencoba menyelamatkan diri dari peristiwa Bom Mega Kuningan pada Jumat, 17 Juli 2009 silam. Selain sembilan korban tewas, tercatat adapula puluhan korban luka-luka. Hari itu Indonesia berduka.
Kenangan buruk 12 tahun lalu itu masih terekam jelas di kepala Direktur Penegakan Hukum sekaligus Juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Eddy Hartono. Bergabung dalam tim khusus mengungkapkan kasus teror tersebut, Eddy sampai kini tidak habis pikir. Dua pelaku bom bunuh diri ternyata masih sangat berusia muda.
-
Apa saja bahaya media sosial untuk anak? Belum lagi prevalensi cyberbullying, diskriminasi, ujaran kebencian, dan postingan yang mempromosikan tindakan menyakiti diri sendiri yang dapat berinteraksi secara teratur dengan remaja, menurut APA.
-
Kenapa media sosial berbahaya untuk otak anak? Otak anak-anak memiliki fungsi yang berbeda, dan dapat menjadi rentan selama fase perkembangan remaja. Kurang tidur bisa lebih berbahaya bagi remaja daripada orang dewasa, misalnya.
-
Kenapa media sosial bisa mengganggu kesehatan mental remaja? 'Media sosial dapat mengubah cara remaja berteman dan menjalin hubungan, serta memengaruhi kesehatan mental mereka,' ungkap sebuah penelitian.
-
Bagaimana cara menghindari anak terjebak di media sosial? Orang tua harus memahami faktor-faktor penyebabnya dan aktif berperan dalam membimbing anak-anak mereka agar dapat memanfaatkan media sosial dengan cara yang sehat dan seimbang.
-
Siapa yang bilang media sosial berbahaya bagi anak? Seorang Ahli Bedah Umum asal Amerika Serikat (AS) Vivek Murphy mengatakan bahwa media sosial menghadirkan risiko besar bagi kesehatan mental remaja.
-
Siapa yang paling rentan terkena dampak buruk media sosial? Penelitian yang dilakukan oleh Primack et al. (2017) menemukan bahwa remaja yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kecemasan dan depresi.
Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana. Keduanya merupakan pelaku bom bunuh diri Mega Kuningan. Keduanya masih berusia 18 tahun dan 27 tahun. Mereka bergabung dalam Kelompok Askari. Di bawah komando Noordin M Top dan Ibrohim sebagai otak pelaku utama.
"Para pelaku sempat merekam video diri sambil berkata, ini sebagai mahar saya, mahar pengantin saya," kata Eddy menceritakan kejadian kelam itu kepada merdeka.com, Jumat pekan lalu.
Dalam pengungkapan kasus bom Mega Kuningan, diketahui para pelaku bom bunuh diri dibimbing seseorang tak jauh dari lokasi. Mereka terus memantau pergerakan pengantin bom dari dalam mobil. Sambil membimbing melalui telepon video.
Penyerangan bom Mega Kuningan kala itu diketahui berjumlah 10 orang tim penyerang. Mereka memiliki perannya masing-masing. Khusus untuk pengantin bom, kelompok ini memang mengincar anak muda.
Selama melakukan persiapan, Kelompok Askari melakukan doktrin dalam sebuah indekos. Di sana para anak muda dibekali ilmu. Diasupi dengan ajaran agama yang dinilai melenceng. Selama berbulan-bulan para calon pengantin bom ini bahkan dilarang bertemu dengan orang tua, saudara, maupun teman.
Semua harus direncanakan matang. Apabila pengantin bom bunuh diri dirasa sudah siap, para perencanaan mulai bergerak. Mereka kemudian memilih lokasi untuk melancarkan aksi. "Pokoknya enggan boleh keluar, di sana digembos, sampai dia mau menjadi pengantin bom bunuh diri," ujar Eddy.
Hari-hari setelah bom Mega Kuningan, aksi teror bom belum juga usai. Sejumlah kejadian serupa masih kerap terjadi. Seakan tidak pernah habis. Selalu muncul kelompok teror baru menghantui kedamaian di Indonesia.
Lima tahun setelah kejadian itu, mulai terjadi perubahan pola kelompok teror. Ketika sebuah operasi pengeboman harus menerapkan cuci otak dan kerja sama tim, semua berubah seketika seiring perkembangan teknologi. Para pengantin bom sejak 2014 tidak lagi perlu tatap muka maupun saling mengenal dengan anggota kelompoknya. Semua dilakukan secara daring.
Sofyan Tsauri, mantan teroris yang kini berhasil menjalani program deradikalisasi, merasakan betul perubahan pola dilakukan kelompok teror. Para calon pengantin kini mudah mendapat doktrin. Melalui media sosial, mereka bisa diajarkan dan mendapat petunjuk untuk aksi bom bunuh diri. Banyak di antara calon pengantin bom yang direkrut merupakan anak muda.
Memang perbedaan hanya dari cara melakukan doktrinasi dan kerja sama tim. Melalui online, mereka dengan mudah melakukan perencanaan hingga menyiapkan bahan peledak. Bahkan ada juga yang bertugas penyediaan uang operasional.
Di dalam operasi itu ada namanya pra amaliat, amaliat, dan pasca amaliat. Bahkan mereka melakukan survei, membaca strategi kapan waktu dan tempat yang tepat untuk diledakan. Rencana ini pun harus mantang bagi para pelaku teror. "Perencanaan ini yang diperlukan. Masalah mengebom itu mudah, ledakan saja sudah selesai itu," kata Sufyan kepada merdeka.com.
BNPT mengakui bahwa anak muda memang sangat rentan dalam dunia terorisme. Alasan utamanya lantaran mereka masih produktif, memliki tenaganya kuat, rasa ingin tahu yang besar, dan tak memikirkan langkah panjang sehingga mudah sekali diajak menjadi bagian kelompok teror.
Ini tercatat selama 8 tahun terakhir, terdapat 24 orang di bawah umur terlibat dalam tindakan pidana terorisme. Kendati mereka bagian teroris, mereka masih dikenakan pasal perlindungan anak.
Pada tahun 2021 ini, pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta jiwa dan meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa dibandingkan pada tahun 2020 lalu. Dengan total penduduk yang mencapai 274,9 juta jiwa, penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7 persen, sehingga diperlukan sebuah mekanisme pencegahan dalam memastikan pemanfaatan internet agar tidak mengarah pada tindakan radikal terorisme.
Dalam hal itu, BNPT bekerja sama dengan Kominfo melalui Ditjen Aptika untuk melakukan pemantauan media sosial secara massif terhadap 4 plaftorm, yaitu, Telegram, Whatsapp, Facebook, dan Tamtam.
Per 12 Maret 2021, terdapat 321 grup maupun kanal media sosial yang terindikasi menyebarkan propaganda radikal terorisme dimana 145 grup atau kanal. Di antaranya berasal dari platform Telegram.
Sedangkan sepanjang tahun 2020, terdapat 341 konten siber yang terpantau menyebarkan propaganda radikal terorisme. Sebagaian besar merupakan akun underbow organisasi yang telah resmi dilarang seperti HTI.
Waspada Aksi Lone Wolf
Pengamat teroris Al Chaidar melihat perekrutan anak muda dalam aksi teror menjadi strategi khas kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Mereka kerap mengarahkan seseorang pengantin bom untuk menjadi Lone Wolf.
Harus diakui bahwa perekrutan melalui online cenderung lebih aman. Biasanya mereka saling berhubungan melalui aplikasi WhatsApp maupun Telegram.
Lantaran direkrut online,para pelaku tidak akan saling mengenal. Termasuk tidak mengenali siapa yang merekrut dirinya. Kondisi ini tentu semakin menyulitkan kepolisian dalam mengungkap jaringan kelompok teror.
"Sehingga untuk jaringan lebih steril, begitu juga dia sebagai yang direktur sebagai pengantin sebagai pelaku," ujar Al Chaidar.
Dalam analisa BNPT, fenomena aksi teror dilakukan anak muda ini memanfaatkan kondisi psikologi merela yang belum stabil. Selain itu, golongan pemuda juga memiliki semangat idealisme yang tinggi. Kemudian banyaknya muncul propaganda.
Biasanya propaganda digaungkan kelompok teroris memunculkan ketidakadilan di berbagai negara. Dari situ anak muda mudah terpicu. Kemudian menganggap bahwa kekerasan merupakan jalan keluar atau solusi dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
"BNPT dengan sinergitas antar lembaga sama-sama kita tangani. Contoh di Kementerian Agama, denga moderasi beragama, ini kan sudah bagus kan, nanti masuk pendidikan dari PAUD sampai perguruan tinggi akan diberikan moderasi agama," ujar Eddy.
Sementara itu, Sofyan melihat sebaiknya kaum muda jangan asal menceritakan sesuatu kepada seseorang. Apalagi menulisnya di media sosial. Sebab, hal ini justru menjadi sasaran 'empuk' kelompok teroris. Mereka melihat ini menjadi pintu masuk dan memberikan nasihat yang justru menjerumuskan.
Seharusnya apabila seseorang sedang ada masalah, tentunya mencari teman curhat untuk mencari jalan keluar. Namun, kelompok teroris berbeda. Mereka justru meminta kita untuk menghapus dosa dengan cara melakukan bom bunuh diri. "Itu memberikan ruang untuk mengisi kekosongan Anda bagi teroris," jelas Sofyan mengungkapkan.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Seluruh pihak termasuk pemerintah perlu memperkuat sosialisasi beragam jenis informasi kepada kalangan anak muda
Baca SelengkapnyaTim Densus 88 Polri sedang mengusut proses rekrutmen jaringan terorisme melalui media sosial.
Baca SelengkapnyaPenangkapan para remaja tersebut dilakukan setelah polisi melakukan patroli siber.
Baca SelengkapnyaMenjaga generasi muda dari radikalisasi memerlukan pendekatan komprehensif dan sinergi berbagai pihak. Termasuk keluarga, masyarakat, dan negara.
Baca SelengkapnyaIndonesia harus kuat dari berbagai upaya destabilisasi gencar dilakukan khususnya dari kelompok dan jaringan teror.
Baca SelengkapnyaKonten negatif berupa berita bohong dan intoleransi dapat merusak keutuhan bangsa.
Baca SelengkapnyaPolisi menyita barang bukti senjata tajam jenis corbek panjang dan celurit yang digunakan untuk melukai korbannya.
Baca SelengkapnyaBahkan, banyak negara di dunia yang mengalami kekacauan karena tidak bisa menyaring konten hoaks di dunia digital.
Baca SelengkapnyaKetiga terduga teroris ditangkap berinisial BI, ST dan SQ.
Baca SelengkapnyaPergerakan kelompok itu dicurigai dimotori pihak lama yang sudah dilarang oleh Pemerintah
Baca SelengkapnyaMasyarakat dan Pemerintah diharapkan memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap gerakan kelompok terlarang.
Baca SelengkapnyaMereka menggaungkan demokrasi berjalan dengan aman, damai dan jujur.
Baca Selengkapnya