Johnny Andrean cabang Karang Pakis
Merdeka.com - Azan Magrib baru saja berkumandang di pelosok Desa Karang Pakis, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Seorang perempuan berjilbab tengah asyik menatap layar komputer berukuran 17 inchi.
Tangannya sibuk mengarahkan kursor dengan tetikus ke sebuah gambar. Perempuan ini saban hari mencari model rambut terbaru untuk salon miliknya di rumah Internet Mahnetik Nusawungu dikelola oleh Tun Habibah.
Mahnetik Nusawungu menjadi pusat kegiatan buruh migran dan keluarganya untuk pelatihan, akses Internet, dan konsultasi kasus. Mahnetik juga berfungsi sebagai rumah pengetahuan bagi mantan TKI atau keluarga TKI di Cilacap.
-
Siapa yang terinspirasi untuk membuka usaha? Usaha ini bermula dari suami Qori yang memiliki ketertarikan dalam dunia kuliner.
-
Siapa yang membantu Mu'adhim memulai usaha? Saat itu ada seorang teman yang juga pengusaha seblak bersedia membagikan ilmu dan resepnya pada Mu’adhim.
-
Siapa yang mendapat bantuan modal UMKM? Mereka adalah mayoritas pedagang kecil yang mendapatkan modal bantuan Rp500 per orang. Beberapa pelaku UMKM yang mendapatkan bantuan antara lain adalah pedagang gorengan, nasi uduk, minuman, jajanan anak-anak dan para pemilik warung kecil di pinggir jalan.
-
Bagaimana Mu'adhim memulai usaha seblaknya? Saat itu ada seorang teman yang juga pengusaha seblak bersedia membagikan ilmu dan resepnya pada Mu’adhim.
-
Bagaimana Yati mendapat modal usaha? 'Saat buka warung kopi saya sudah jualan rokok, terus merembet kulakan sembako dan lain-lain sampai sekarang toko penuh. Terus ada Mantri BRI (petugas penyalur kredit) yang menawarkan untuk pinjaman modal. Saya awalnya menolak, tapi mantri ini datang lagi meyakinkan dan saya akhirnya mau mencoba (program Kredit Usaha Rakyat atau KUR),' imbuh Yati.
-
Apa ide usaha Mistiyati? Salah satu inovasi yang dilakukan adalah dengan mencoba berjualan versi risoles beku alias frozen food.
Mukhtamiroh, 37 tahun, merupakan mantan TKI. Sepulang bekerja dari Hongkong, dia memutuskan berusaha di kampung. Dia mengaku kapok menjadi TKI lantaran tidak pernah beruntung membawa banyak fulus. "Saya sudah keliling, Malaysia, Singapura, dan Hongkong," kata Mukhtamiroh saat ditemui di kediamannya, Desa Nusawungu, Cilacap, dua pekan lalu.
Dia pertama kali bekerja pada 1998 Singapura, berlanjut ke Malaysia selama tiga tahun sejak 2000. Dua tahun kemudian, dia mencari nafkah ke Hong Kong hingga 2007. "Di Singapura hanya sepuluh bulan karena di sana cucinya direbus panci. Tangan saya pada melepuh," ujarnya.
Sejak pulang dari Hong Kong sebagai pembantu, ibu dari Dita Azizatul Khairiah, sebelas tahun, ini tak pernah berniat lagi bekerja ke luar negeri. Namun suaminya, Juwenti, 36 tahun, mencoba mencari peruntungan di Malaysia. "Ini hasil suami saya, rumah belum jadi."
Sejak kepulangan suaminya, keduanya memutuskan untuk tidak kembali lagi menjadi TKI. Apalagi Mukhtamiroh pernah diperlakukan tidak enak. Perusahaan memberangkatkan dia meminta tebusan Rp 5 juta agar ijazahnya kembali. Beruntung saat itu melalui para pengacara, dia berhasil merebut kembali ijazahnya tanpa harus mengeluarkan uang.
Nasib berkata lain setelah dia mengikuti pelatihan singkat membuka salon digelar Yayasan Tifa di daerahnya. Dia memperoleh modal awal Rp 2 juta pinjaman dari Modal awalya dia dapatkan berkat pinjaman dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama
Uang itu dia gunakan untuk membeli peralatan salon. Selanjutnya dia mendapat utangan Rp 1,5 juta dari Yayasan Tifa. Itu saya gunakan untuk membeli baju rias anak-anak," ujarnya.
Sejak saat itu, dia mulai menggeluti usahanya secara serius. Salon Dita - sesuai nama putrinya - itu dibuka di pinggir jalan tidak juah dari rumahnya. Selain usaha salon, dia juga aktif sebagai ketua Community Based Organization (CBO) Mutiara Rizki. Dia memberdayakan para bekas TKI melakukan usaha kelompok.
Saban hari, puluhan anggota CBO itu berkumpul di rumahnya untuk membuat keripik Aceh dijual ke warung-warung. Mereka juga mengelola koperasi simpan pinjam kepada anggota dengan bunga 0,7 persen. "Kalau ada kegiatan kayak gini, mimpi buat bekerja jadi TKI juga tidak akan ada lagi," kata Mukhtamiroh. (mdk/fas)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Johnny kemudian mencoba mengembangkan kemampuan bisnisnya di bidang lain yaitu dengan dibidang food and beverage.
Baca SelengkapnyaSesaat setelah pensiun dini dari bank, orang tuanya sempat khawatir karena dia belum bekerja lagi dan bisnis yang dijalankan belum jelas nasibnya
Baca SelengkapnyaCerita Mucikari Anak Sekolah Tobat dan Langsung Mualaf Gara-gara Dapat Mimpi Berangkat ke Tanah Suci.
Baca SelengkapnyaBelajar dari diri sendiri yang menghabiskan Rp200 ribu per bulan untuk laundry baju, pria ini pilih buka usaha sendiri.
Baca SelengkapnyaSeorang pengusaha kuliner asal Indonesia berhasil membuka restoran di Amerika Serikat dengan perjuangan dan keringat yang tidak mudah.
Baca SelengkapnyaPasutri ini pernah memiliki utang bank ratusan juta rupiah gara-gara bisnisnya gagal.
Baca SelengkapnyaGerai-gerai ini tidak hanya berlokasi di Indonesia saja tapi juga di negara-negara asia lain seperti Singapura, Filipina, Malaysia, Hong Kong, dan Arab Saudi.
Baca SelengkapnyaProduk Virage Awie pun semakin mendunia dikenal di mancanegara, seperti Prancis, Jepang, Filipina, India dan Malaysia.
Baca SelengkapnyaModal dua tahun bekerja di Arab Saudi sebagai tukang besi, Nur Kholis membuka barbershop di kampung halamannya.
Baca SelengkapnyaMelalui modal sosial yang diberikan oleh PNM Mekaar, Dewi saat ini telah bisa meluaskan pasar.
Baca SelengkapnyaTahun 2011 dia masih menjadi buruh kasar dan tanpa sengaja bertemu dengan Johan Maulana, penambang batubara Kalimantan.
Baca SelengkapnyaKehadiran para mitra UMKM binaan PNM ini di ajang bergengsi ini diharapkan dapat membukakan pintu-pintu kepada pangsa pasar internasional.
Baca Selengkapnya