Kemenkes: Waspada DBD di Masa Pandemi Covid-19
Merdeka.com - Demam berdarah Dengue (DBD) menjadi penyakit rutin yang terjadi setia tahun. Biasanya setelah musim hujan berakhir. Ketika itu virus yang disebarkan melalui nyamuk Aides mulai menyerang.
Penyakit DBD tentu tidak bisa dianggap remeh. Apalagi di tengah pandemi Covid seperti ini. Harus waspada jangan sampai sakit. Karena tidak menutup kemungkinan bisa membuat keadaan semakin parah.
Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, menegaskan bahwa DBD dan Covid-19 sama-sama menyerang kekebalan tubuh. Meski begitu ada beberapa perbedaan.
-
Mengapa DBD perlu diwaspadai? 'Sekarang sudah musim hujan yang cukup intensif di beberapa daerah. Bicara penyakit di musim hujan khususnya untuk Indonesia, tropical diseases-nya yang paling serius adalah demam berdarah dengue,' ujarnya dalam pesan suara yang diterima oleh Health Liputan6.com pada Senin (11/11/2024).
-
Kenapa DBD bisa berbahaya? Penyakit-penyakit ini menakutkan karena kemampuan mereka untuk membunuh dalam waktu kurang dari 24 jam.
-
Mengapa DBD berbahaya? Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.
-
Siapa yang bisa terjangkit DBD? Banyak orang tua percaya bahwa anak yang pernah mengalami demam berdarah dengue (DBD) tidak akan terkena infeksi ini lagi. Namun, keyakinan tersebut merupakan mitos yang keliru. Menurut dr. Ida Safitri Laksanawati, seorang dokter spesialis anak dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), seseorang dapat terinfeksi DBD lebih dari satu kali, dan risiko untuk terinfeksi kembali cenderung lebih serius.
-
Mengapa DBD bisa mengancam jiwa? DBD dapat mengakibatkan gejala yang parah hingga mengancam nyawa, sehingga pengetahuan tentang pencegahan, deteksi dini, dan pengobatan menjadi krusial untuk mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan.
-
Siapa yang rentan terkena DBD? Demam berdarah dengue adalah penyakit yang disebarkan oleh nyamuk, dengan lebih dari 100 juta kasus dilaporkan setiap tahunnya di seluruh dunia.
Berikut petikan wawancara dr Siti Nadia Tarmizi dengan jurnalis merdeka.com Angga Yudha Pratomo pada Jumat pekan lalu:
Seperti apa kondisi virus DBD di Indonesia saat masa Covid-19 seperti ini?
Jadi yang sebenarnya kita waspada bahwa virus demam berdarah ada di sekitar kita. Virus kalau kita lemah dan tergigit nyamuk yang membawa virus tersebut maka kita akan demam berdarah.
Tentunya mengapa kita selalu mengingatkan, karena kita bisa cegah. Yaitu, dengan membersihkan sarang nyamuk di sekitar rumah kita. Sehingga kalaupun kita sakit, tidak semakin berat. Maka itu kami mengingatkan terus mengapa kita harus waspada di tengah Covid-19 ini.
Jangan sampai, karena semua berita tentang covid, nanti masyarakat bisa berpikir, "Wah, saya penyakit yang ada sekarang hanya covid saja." Kita juga ingatkan, jangan lupa kalau demam berdarah mengintai rutin tiap tahun.
Biasanya kapan saja musim penyakit DBD itu?
Kita tahu bahwa DBD muncul saat perantara pas akan masuk musim penghujan, saat akhir musim hujan atau bahkan betul-betul musim penghujan.
Saat ini, bagaimana gambaran kondisi penyakit DBD di Indonesia dari tahun ke tahun?
Pertama kita pastikan jumlah kematiannya kecil. Di bawah 1 persen dibandingkan Covid yang masih 6-7 persen. Artinya kalau pun kita sakit DBD kemungkinan sehatnya jauh lebih besar, dan tidak setakut jika kita terkena covid.
Penyakit DBD memang sangat sulit untuk kita eliminasi walaupun angkanya dari tahun ke tahun cenderung turun. Angkanya cukup fluktuatif. Artinya, bahwa di 2017-2018 angkanya kita kecil sekali, tapi 2019 terjadi lonjakannya begitu besar.
Untuk di tahun 2020 hingga saat ini sudah mencapai 72.000 kasus, kayaknya sudah di bawah kasus covid yang mencapai 80.000 kasus. Memang kasus ini angkanya fluktuatif, untuk itu diperlukan kerja sama dengan masyarakat.
Apakah sejauh ini sudah ditemukan terjadi komplikasi antara DBD dan Covid di Indonesia?
Memang kasusnya tidak banyak dilaporkan. Tetapi, di RS Hasan Sadikin kita menemukan kasus. Dan beberapa RS sakit swasta di jakarta juga sudah dilaporkan.
Jadi bukan satu infeksi. Mungkin di awal terkena DDB, baru belakangan terkena covid. Pada masa ini sangat berat. Dan ini menjadi tantangan mengobatinya.
Kedua, bisa saja kita covid dulu. Dengan berbagai macam gejala. Tapi yang tanpa gejala, ataupun sedang, maka tidak menutup kemungkinan akan menjadi berat ketika dia terkena DBD.
Bagaimana membedakan antara DBD dengan penyakit covid-19?
Demam berdarah dan covid sama-sama virus. Diawali dengan demam. Tapi ke depanya berbeda. Untuk demam berdarah akan merusak pembuluh darah, jadi setelah demam tiga hari tidak turun setelah minum obat, tapi kok tetap demam. Kemudian berlangsung 3-4 hari, kemudian keringat dingin dan merasa tubuhnya lebih baik.
Kondisi ini yang harus diwaspadai. Karena sudah masuk pendarahan. Karena kalau sudah demam pasti ada pendarahannya. Memang tidak kelihatan. Terkadang pendarahannya hanya titik kecil di pergelangan tangan atau kemudian di lipatan tubuh. Memang agak sulit menemukan tanda-tanda DBD.
Tapi yang bisa kita waspadai, misalnya tiba-tiba hari ketiga kita mimisan walaupun sebentar. Ataupun tiba-tiba gusi kita berdarah. Nah, sebenarnya itu tanda-tanda DBD sedang. Kalau kita tidak segera ke rumah sakit maka akan menjadi DBD shock.
Apa saja tingakatan pasien menderita sakit DBD?
Demam berdarah ada tiga tingkatan. Pertama demam dengue. Yaitu, terkena demam berdarah tetapi tubuh merasa sehat-sehat saja. Tapi kita bisa lihat trombosit/sel pembekuan darah, dan sudah turun di bawah 150.000, itu sudah masuk tahap kedua. Yaitu, demam berdarah dengue. Untuk yang paling parah, Shock DBD. Perawatannya memang agak lama.
Semua sangat tergantung kekebalan tubuh. Kalau imunitas tubuh kita sedang rendah, atau kecapekan, maka cenderung akan lama masa pemulihannya. Kami menganjurkan jangan sampai sakit.
Selain imunitas, faktor apa saja yang membuat pasien DBD akhirnya meninggal?
Memang DBD sampai tingkat shock, tidak ada pengobatannya. Mengapa kita terus mengingatkan waspada DBD di masa covid, karena sama. Belum ada vaksinnya. Ini tentu sangat ditentukan kekebalan tubuh dan perbaikan cairan.
Yang harus kita jaga, jangan sampai terlambat. Hubungannya banyak kasus yang meninggal walau di kota, biasanya karena keterlambatan.
Saat fase penurunan demam, malas ke rumah sakit. Sehingga tidak waspada. Kondisinya justru semakin memburuk. Apalagi di masa covid, justru membuat malas ke rumah sakit.
Justru kalau sudah tiga hari demam, sudah minum obat penurun panas, kadang cenderung kita berpikir di rumah saja. Untuk itu kami mengimbau jangan terlambat untuk datangi fasilitas kesehatan.
Langkah apa saja yang sebaiknya dilakukan untuk penanganan pertama bagi pasien DBD?
Ingat bahwa ini hanya pertolongan pertama. Dan dianjurkan sebaiknya ke rumah sakit ataupun puskesmas.
Untuk pertolongan pertama, anjuran para dokter, minum yang banyak. Karena prosesnya DBD menyerang cairan, dan tentu minum yang banyak untuk menurunkan panasnya. Itu kalau sudah panas tinggi, dengan banyak minum tentu membantu menurunkan suhu tubuh. Intinya banyak minum.
Belum ada juga kajian yg pasti soal minum jus jambu. Setidaknya itu menjadi salah satu cara kita untuk menggantikan cairan.
Kami tidak melarang untuk banyak ikhtiar dilakukan banyak pasien. Termasuk menggunakan pengobatan tradisional. Karena yang kami pahami, berbagai obat itu sama-sama baik untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Apakah melakukan penyemprotan asap (Fogging) sudah tepat untuk pencegahan penyebaran DBD?
Untuk pencegahan fogging bukan salah satu alternatif pilihan. Kalau untuk pencegahan, fogging tidak kami sarankan.
Karena kalau ada satu terinfeksi DBD, menandakan ada 300ribu nyamuk di sekitar. Yang bisa menyebarkan potensi menyebarkan kepada tetangga saya. Dengan adanya fogging, diharapkan dengan mati cepat.
Sedangkan jika dalam satu RT sudah terkena 4-5 orang maka perlu juga dilakukan fogging masal.
Untuk pencegahan juga banyak dilakukan dengan obat. Yang sudah dikenal, Abate atau sekarang Larvasia.
Seberapa jauh virus DBD ini bisa menyebar melalui nyamuk?
DBD penyebarannya bukan person to person, melainkan dilakukan nyamuk. Nah, nyamuk Aides ini mempunyai kemampuan terbang 100 meter. Bahkan bisa lebih jauh lagi jika menumpang mobil masyarakat. Misalnya, bisa saja itu dari Cibubur sampai Tebet.
Untuk itu harapannya, terutama saat masa yang sering di rumah ini, marilah bersih-bersih.
Apa imbauan Kementerian Kesehatan bagi masyarakat agar terhindar DBD di masa pandemi corona seperti ini?
Saat kita menghadapi covid, kita tidak boleh lengah dengan penyakit lain khususnya demam berdarah. Untuk kita harus mencegah dengan 3M plus. Menutup bak air, menguras dan mendaur ulang. Nah plusnya, menanam tanaman pengusir nyamuk. Misalnya menanam lavender. (mdk/ang)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Salah satu hal yang banyak dipercaya adalah bahwa ketika seseorang pernah terkena DBD, dia tidak akan mengalaminya lagi.
Baca SelengkapnyaMasyarakat juga diminta segera melengkapi vaksinasi Covid-19, khususnya pada kelompok berisiko.
Baca SelengkapnyaDBD dapat mengakibatkan gejala yang parah hingga mengancam nyawa, sehingga edukasinya penting dipahami.
Baca SelengkapnyaPenyakit yang tampaknya tidak berbahaya sekalipun dapat menimbulkan konsekuensi yang parah jika tidak ditangani atau diabaikan.
Baca SelengkapnyaJumlah kasus DBD di Kota Reog ini diduga lebih banyak dari data resmi Dinkes
Baca SelengkapnyaMasyarakat diminta lakukan pola hidup bersih dan sehat
Baca SelengkapnyaJumlah korban meninggal dunia itu berasal dari 62.001 kasus DBD yang teridentifikasi.
Baca SelengkapnyaPer 1 Maret 2024, tercatat kasus DBD mencapai 16.000 kasus
Baca SelengkapnyaDemam Berdarah Dengue (DBD) memiliki empat serotipe sehingga seseorang mungkin bisa terinfeksi lagi setelah baru sembuh.
Baca SelengkapnyaBerdasarkan data RSUD Taman Sari tidak ada korban jika dalam kasus DBD tahun ini.
Baca SelengkapnyaDBD menjangkiti kelompok usia produktif dan paling banyak terjadi di usia anak-anak.
Baca SelengkapnyaKemenkes memperoleh beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19, salah satunya datang dari Kota Bandung.
Baca Selengkapnya