Ketua KPAI Susanto: Tingginya Perkawinan Anak Membahayakan Kualitas Generasi
Merdeka.com - Angka perkawinan anak di Indonesia tercatat masih cukup tinggi. Meski Undang-undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak kini mensyaratkan usia pernikahan minimal 19 tahun, banyak remaja perempuan putus sekolah menikah dini karena orang tua tak punya biaya melanjutkan ke SMA.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengajak semua pihak, pemerintah daerah dan pihak swasta untuk membuat kebijakan komprehensif mencegah perkawinan anak.
Ketua KPAI Susanto mengungkapkan, di berbagai daerah, banyak orang tua yang tak punya biaya menyekolahkan anaknya ke tingkat SMA memilih menikahkan putrinya. Susanto berharap peran pemerintah daerah menggratiskan pendidikan tingkat atas.
-
Dimana pernikahan anak masih sering terjadi? Namun, meski aturan telah ditegakkan, di beberapa wilayah, pernikahan anak masih sering kali terjadi, baik secara sah maupun melalui pernikahan adat.
-
Gimana pengaruh pernikahan usia belia buat perempuan? Perempuan yang menikah di usia muda menghadapi berbagai risiko, terutama dalam hal kesehatan fisik dan mental. Banyak studi yang menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun lebih rentan mengalami komplikasi saat kehamilan dan persalinan.
-
Kenapa pernikahan di usia muda jadi masalah? Banyak yang beranggapan bahwa risiko hanya menimpa perempuan karena mereka yang seringkali menjadi korban dari pernikahan anak. Namun, laki-laki yang menikah di usia belia juga menghadapi konsekuensi serius yang sering kali diabaikan.
-
Kapan aturan minimal usia nikah berubah di Indonesia? Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemerintah Indonesia telah menetapkan usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.
-
Apa yang terjadi dengan pernikahan di Indonesia? Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan penurunan tajam dalam jumlah pernikahan.
-
Siapa yang ingin nikah muda? Ingin nikah muda Tak sedikit yang mendoakan agar Dul dan Tissa bisa segera melangkah ke jenjang pernikahan. Apalagi, keduanya juga sempat mengutarakan ingin menikah muda.
Demikian juga dengan perusahaan yang menerima karyawan di bawah umur. Susanto berharap, praktik-praktik itu tidak dilakukan lagi. Sebaliknya, dunia usaha melalui dana corporate social responsibility (CSR) harus lebih berperan membantu dunia pendidikan.
KPAI juga menyoroti masih tingginya budaya permisif di kalangan masyarakat terhadap perkawinan anak.
"Kami malah senang kalau kemudian lingkungan sosial berperan serta memberikan literasi mencerahkan agar lingkungan kita terbangun menjadi lingkungan yang tidak mengizinkan praktik perkawinan usia anak," kata Susanto kepada merdeka.com.
KPAI juga mengkhawatirkan generasi yang lahir dari perkawinan anak dengan pola pengasuhan dari orang tua yang belum cukup matang.
"Kalau generasi kita semakin banyak lahir dari disfungsi-disfungsi pengasuhan karena ayah ibunya belum cukup umur, ini akan membahayakan bagi kualitas bangsa Indonesia ke depan," ujarnya.
Berikut wawancara lengkap wartawan merdeka.com, Alma Fikhasari dengan Ketua KPAI Susanto:
Perkawinan anak di Indonesia tertinggi ke-8 sedunia, ke-2 di ASEAN, bagaimana KPAI melihatnya?
Tantangan di Indonesia memang berbeda dengan tantangan di berbagai negara. Pertama adalah tantangan budaya. Masih ada sebagian masyarakat kita yang punya budaya menikahkan pada usia dini sepanjang yang bersangkutan mendapatkan izin dari orang tuanya, apalagi sudah baligh dan sebagainya. Itu merupakan tantangan besar yang ini bisa menghambat laju upaya pencegahan pernikahan anak
Tantangan kedua adalah tantangan dalam konteks pengasuhan. Kenapa kami masukkan pengasuhan menjadi tantangan tersendiri? Karena faktanya, meskipun regulasi UU 35/2014 telah mengatur secara normatif bahwa orang tua wajib mencegah perkawinan usia anak. Tapi faktanya dalam beberapa kasus banyak orang tua yang mengizinkan bahkan juga menyuruh anak menikah pada usia dini, yang sejatinya melanggar UU. Maka tentu pengasuhan harus juga dipastikan agar ayah bundanya punya kesadaran untuk mencegah perkawinan pada usia anak.
Tantangan ketiga adalah soal pemahaman agama. Memang agama tertentu misalnya, asalkan sudah usia baligh itu memang diizinkan. Tapi kan sebenarnya kita harus melihat secara komprehensif karena di UU perkawinan kita sejatinya adalah perkawinan harus tercatat oleh negara, karena ini bagian dari upaya proteksi.
Sementara bagi anak kita yang menikah di bawah 19 tahun otomatis tidak tercatat secara negara. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi upaya pencegahan perkawinan anak
Terakhir, hemat kami yang juga menjadi tantangan adalah tantangan permisifitas lingkungan sosial. Ada beberapa kasus yang secara sosial memang enggak apa-apa lah gitu karena faktor ekonomi dan sebagainya, secara sosial diizinkan.
Kami malah senang kalau kemudian lingkungan sosial berperan serta memberikan literasi mencerahkan agar lingkungan kita terbangun menjadi lingkungan yang tidak mengizinkan praktik perkawinan usia anak. Kenapa perkawinan anak tidak diizinkan? Karena mempunyai dampak yang cukup kompleks dampak kesehatan, dampak reproduksi, dampak pengasuhan bagi keturunannya dan dampak-dampak yang lain.
Berapa banyak dispensasi perkawinan anak di Indonesia selama ini?
Pada saat kita mengundang dari MA mengutus salah satu pejabat, saya lupa data rincinnya tapi pada prinsipnya dispensasi perkawinan anak di Indonesia masih tinggi. Meskipun sebenarnya kita sudah punya Peraturan MA karena di dalam Perma itu diatur bahwa prinsip-prinsip hakim memberikan izin dispensasi perkawinan.
Karena pengetatan izin itu semata-mata untuk kepentingan terbaik bagi anak, jangan sampai longgar memberikan izin. Masak semua diizinkan padahal yang bersangkutan katakan lah masih butuh mematangkan diri, butuh sekolah dan sebagainya.
Makanya kami menyampaikan kita bangga ada nya UU baru bahwa usia menikah saat ini meningkat, dari 16 tahun jadi 19 tahun, laki-laki dan perempuan setara. Tetapi kebanggan kita terhadap kemajuan norma ini harus diiringi dengan kebijakan lain. Contoh misal kebijakan layanan pendidikan, misal dalam beberapa kasus anak menikah pada usai lulus SMP karena enggak punya biaya untuk melanjutkan sekolah di SMA.
Akan sangat baik kalau pimpinan di daerah membuat kebijakan gratis bagi pendidikan SMA/MA atau satuan pendidikan di tingkat SMA. Semakin banyak yang gratis, maka anak-anak kita juga akan memilih untuk sekolah dibandingkan memilih untuk menikah.
Apa dampak tingginya angka perkawinan anak di Indonesia?
Sebenarnya dampak domino bagi banyak hal. Pertama kalau banyak yang menikah pada usia anak, itu dalam beberapa banyak kasus misalkan, kerentanan perceraian, kerentanan kualitas pengasuhan, kerentanan dalam menyiapkan anak-anak generasi kita menjadi generasi baik.
Kalau generasi kita semakin banyak lahir dari disfungsi-disfungsi pengasuhan karena ayah ibunya belum cukup umur, ini akan membahayakan bagi kualitas bangsa Indonesia ke depan. Bagaimana kita mau negara yang kompetitif dan maju kalau kemudian kita diisi oleh SDM-SDM yang tidak berkualitas. Sebenarnya ini efek yang sangat besar.
Apa yang sudah dilakukan KPAI menekan angka perkawinan anak tidak semakin tinggi?
KPAI tentu melakukan fungsinya sesuai dengan fungsi yang dilekatkan oleh UU. Tentu kita akan terus memaksimalkan melakukan advokasi dan pengawasan agar upaya pencegahan perkawinan anak itu memang bisa benar-benar optimal.
Karena pencegahan perkawinan anak ini memang melibatkan lintas sektor. Pemerintah daerah harus melakukan inovasi banyak kebijakan. Yang kedua, sektor dunia usaha juga harus katakanlah melakukan banyak inovasi. Ada beberapa sektor dunia usaha yang masih permisif. Misalkan anak putus sekolah kemudian bekerja di perusahaan tertentu diizinkan dengan waktu yang sebenarnya melanggar UU.
Misalnya kalau semakin banyak peran-peran dunia usaha katakanlah CSR memberikan perhatian, memberikan pendidikan gratis bagi anak kelompok rentan, itu juga akan memperkuat komunitas kita yang rentan putus sekolah menjadi sekolah. Karena banyak anak-anak yang putus sekolah menikah pada usia dini.
Kasus anak putus sekolah akhirnya menikah masih banyak di Indonesia?
Masih banyak di beberapa daerah. Jangankan daerah terpencil karena mereka punya tantangan kultural juga tantangan yang lain geografis dan lain sebagainya, daerah yang tidak terpencil pun masih banyak.
Bagaimana peran pemerintah selama ini mencegah perkawinan anak?
Tentu kita harus gotong-royong, jangan aspek pencegahan perkawinan anak ini jangan hanya dilihat bahwa ini kewajiban negara tetapi juga menjadi kewajiban kita semua. Kalau kemudian kita berpikir bahwa ini akan menjadi negara besar atas partisipasi kita semua atas negara, masyarakat, dunia usaha maka hemat kami kita harus bisa menjadi negara besar dengan bukan hanya jumlah dari sisi penduduknya, tapi juga jumlah dari sisi generasi yang berkualitas.
Karena kalau kita hanya bangga dengan jumlah penduduk yang besar seperti negara kita yang diisi oleh anak-anak yang kurang berkualitas, tentu kita khawatir negara kita menjadi negara menjadi lemah.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mereka menikah karena hamil duluan, lalu cerai setelah melahirkan
Baca SelengkapnyaBerdasarkan laporan BPS angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang drastis
Baca SelengkapnyaKemenag menegaskan KUA tidak melayani pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Baca SelengkapnyaPernikahan usia belia bisa menimbulkan berbagai dampak kesehatan yang perlu dikenali dan dihindari.
Baca Selengkapnya"Semakin kaya, pendidikan tinggi dan bermukim di perkotaan, berkolerasi erat dengan median usia menikah yang semakin mundur," kata Hasto," kata Kepala BKKBN
Baca SelengkapnyaBKKBN menegaskan prinsip pemberian kontrasepsi untuk mencegah kehamilan pasangan usia subur di bawah 20 tahun
Baca SelengkapnyaDitegaskan Menkes Budi, penyediaan alat kontrasepsi ini bukan untuk pelajar, namun untuk orang menikah di usia sekolah
Baca SelengkapnyaPeran orang tua dan pendidikan bahaya seks bebas penting untuk menekan fenomena ini.
Baca SelengkapnyaKepala BKKBN Hasto Wardoyo, menyatakan generasi muda tidak perlu takut untuk menikah
Baca SelengkapnyaSebagian besar penyebab pernikahan dini adalah kasus hamil di luar nikah
Baca SelengkapnyaKemenpora dan BKKBN Edukasi Program Keluarga Muda Berdaya
Baca SelengkapnyaDalam PP 28/2024 menyatakan membolehkan alat kontrasepsi bagi pelajar atau remaja.
Baca Selengkapnya