Membedah Efikasi dan Efektivitas Vaksin Covid-19
Merdeka.com - Covid-19 ‘bertamu’ ke rumah Rian. Dia dan keluarga terkejut mendengar sang ayah terpapar Covid-19. Padahal satu pekan sebelumnya, sang ayah baru saja menerima suntikan vaksin dosis pertama. Beruntung, sang ayah tanpa gejala.
Sebagai orang yang awam dengan dunia medis, dia cukup bingung. Ada tanya dalam benaknya. Sang ayah masih bisa terjangkit Covid-19 meski sudah menerima vaksin. Dia hanya mengetahui, vaksin tak serta merta menjadikan seseorang kebal terhadap virus Covid-19. Masih ada kemungkinan, seseorang yang sudah divaksin bisa terpapar Covid-19.
Rian sudah divaksin dua kali. Pria berusia 26 tahun itu menerima vaksin Sinovac. Setelah divaksin, dia mengaku cukup yakin dengan kekebalan tubuhnya menghadapi Covid-19. Seiring waktu berjalan, berbagai informasi berseliweran terkait daya lindung vaksin pada penerima.Salah satunya soal daya lindung vaksin pada tubuh penerima hanya bertahan selama 6 bulan.
-
Bagaimana vaksin melindungi anak? Pemberian vaksinasi ini merupakan langkah penting untuk mencegah munculnya sejumlah masalah kesehatan.
-
Bagaimana cara meningkatkan ketahanan kesehatan melalui vaksin? Menkes Budi juga menambahkan, untuk mendukung ketahanan kesehatan, diperlukan penelitian yang berkelanjutan dan mengikuti perkembangan teknologi. Pemerintah melalui berbagai program terus mendorong pengembangan vaksin berbasis teknologi terkini.
-
Bagaimana vaksin kanker ini bekerja? Putin menyatakan keyakinannya bahwa vaksin tersebut, bersama dengan obat imunomodulator generasi baru, akan segera menjadi bagian integral dari terapi individual yang efektif.
-
Apa dampaknya jika anak tidak divaksinasi? Tidak memberi vaksin pada anak bisa menyebabkan sejumlah dampak kesehatan yang tidak diinginkan.
-
Kapan vaksin polio efektif? Jadi, jika seseorang terpapar virus polio di masa depan, sistem kekebalan tubuhnya sudah siap dan dapat melawan infeksi dengan lebih efektif.
-
Bagaimana vaksin polio bekerja? Vaksin polio bekerja dengan merangsang produksi antibodi dalam tubuh, yang kemudian melawan virus polio jika terjadi infeksi. Dalam proses ini, vaksin melibatkan pemberian poliovirus yang sudah dilemahkan atau tidak aktif ke dalam tubuh.
Namun dia tak mau buru-buru mengambil kesimpulan bahwa vaksin yang telah dia terima akan kehilangan khasiat. Apalagi membuatnya sampai takut dan cemas secara berlebihan.
"Selama belum ada penelitian atau hal yang membenarkan itu, tidak menjadi ketakutan juga. Karena balik lagi masing-masing daya tahan tubuh seseorang itu berbeda," ujar dia saat berbincang dengan merdeka.com, akhir pekan lalu.
Pertanyaan seputar daya lindung vaksin menjadi hal yang perlu dijawab. Agar masyarakat seperti Rian tidak kebingungan. Munculnya pelbagai merek vaksin membuat masyarakat tak berhenti mencari tahu, vaksin yang paling manjur.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Prof. Amin Soebandrio menjelaskan, saat ini memang ada beberapa merek vaksin yang digunakan di Indonesia. Setiap produsen vaksin mengklaim buatannya paling manjur menangkal Covid. Masyarakat tak perlu bingung. Cukup berpegang pada pedoman Badan Kesehatan dunia alias WHO.
"Pedoman WHO selama vaksin di atas 50 persen efikasinya masih dianggap cukup efektif untuk mencegah dan membuat orang kalau sakit tidak berat dan tidak menularkan ke orang lain," katanya kepada Merdeka.com, pekan lalu.
Perbedaan Efikasi dan Efektivitas
Masyarakat jangan terkecoh angka efikasi maupun klaim efektivitas sebuah vaksin. Angka efikasi maupun efektivitas setiap vaksin harus diterjemahkan dan dipahami dengan baik agar tak salah kaprah.
Angka efikasi diperoleh dari uji klinik. Dalam uji klinik, biasanya subjek yang diuji dibagi menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang mendapat vaksin dan kelompok yang tidak mendapat vaksin. Hasil yang didapat dari dua kelompok itu kemudian dibandingkan. Sementara efektivitas vaksin merupakan kinerja vaksin dalam situasi riil. Karena itu, angka efikasi dan efektivitas tidak akan sama.
Amin Soebandrio memberi penjelasan yang mudah dipahami. Misalnya, jika efikasi disebut 65 persen. Tidak berarti kalau ada 100 orang disuntik, yang terlindung hanya 65 orang. Yang dimaksud 65 persen itu artinya orang yang divaksin menurun risikonya sebesar 65 persen. Sederhananya, orang yang tidak divaksin risikonya 3 kali lipat dibandingkan orang yang divaksin.
Jangka Waktu Perlindungan Vaksin
Terkait jangka waktu daya lindung vaksin khususnya bagi penerima vaksin di Indonesia, belum bisa dijelaskan pasti. Karena data yang menjadi basis perhitungan masih sangat minim.
"Semua orang belum tahu. Kita kan pandeminya baru 1,5 tahun vaksin baru kita coba setengah tahun. Dengan dasar itu semua vaksin belum tahu itu daya lindungnya berapa lama. Karena pemantauannya baru. Semua belum mempunyai data."
Rata-rata, jangka waktu sejak vaksin disuntikkan hingga saat ini baru mencapai enam bulan. Sementara untuk melihat daya lindung vaksin, diperlukan waktu pemantauan yang lebih lama.Dilihat dari sisi keilmuan, daya lindung vaksin pasti akan menurun. Namun, belum diketahui jangka waktu daya lindung vaksin setelah disuntikkan. Sekali lagi, karena data pemantauan yang dimiliki saat ini masih sangat singkat.
"Kalau turun pasti. Vaksin apapun pasti turun. Tapi seberapa lama, kita belum tahu. Misalnya Moderna klaim mereka bisa lebih lama, buktinya dari mana? Mereka baru coba enam bulan yang lalu juga," ucapnya.
Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban memperkuat penjelasan Amin. Saat ini belum diketahui jangka waktu daya lindung vaksin bagi penerima. Belum bisa disimpulkan daya lindung vaksin hanya bertahan enam bulan.
"Karena kita belum cukup lama, tapi mestinya vaksin sudah mulai bulan Desember negara-negara lain sehingga mungkin akhir tahun ini kita sudah dapat bayangan," tegas dia saat dihubungi terpisah.
Informasi terkait daya lindung vaksin menimbulkan beragam pertanyaan tentang dampak yang bakal terjadi terhadap penerima ketika daya lindung vaksin sudah mencapai batasnya. Alias sudah habis.
Menurut pakar Virologi dan Molekuler Biologi Universitas Udayana Prof I Gusti Ngurah Mahardika, dalam tubuh manusia terdapat sel memori. Sel ini akan banyak berperan menghadapi penyakit termasuk Covid-19. "Kalaupun antibodi kita sudah nol, tapi sel memori akan ada seumur hidup," jelasnya.
Dia mencontohkan vaksin cacar yang diberikan saat anak-anak. Antibodinya tidak akan bertahan seumur hidup. Tetapi sampai sekarang kebanyakan masih kebal terhadap cacar. Karena dalam tubuh ada sel memori. Sel memori biasanya membuat zat kebal jauh lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan virus. "Begitu ilmunya," jelas Mahardika.
Namun ada orang yang membutuhkan dukungan antibodi aktif berupa suntikan dosis ketiga atau booster. Yakni para tenaga kesehatan. Tuntutan pelayanan dan lokasi kerja membuat mereka harus terus memiliki antibodi yang tinggi. Sementara untuk masyarakat umum, belum perlu.
Amin Soebandrio menambahkan, ketika seseorang terserang virus, maka akan terbentuk dua jenis sel. Yakni sel antibodi dan sel memori. Setelah virus berhasil dikalahkan, sel antibodi otomatis akan menurun. Lantaran tak ada lagi ‘musuh’ yang harus dihadapi. Sel memori menyimpan informasi terkait virus yang pernah masuk dan dihadapi. Sehingga lebih cepat reaksi dan responsnya ketika virus masuk dalam tubuh.
"Sel memori itu walaupun nanti (antibodi) sudah menurun, sel memori itu masih ada. Cuma memang kadarnya ada yang tinggi ada yang rendah. Juga tergantung dari jenis mikrobanya," lanjut dia.
Terkait suntikan vaksin ketiga untuk masyarakat, Zubairi Djoerban menilai belum diperlukan. Sebaiknya vaksin yang ada saat ini digunakan terlebih dulu untuk mengejar target vaksinasi. Masih banyak masyarakat yang belum divaksinasi. Namun pemberian suntikan ketiga bagi tenaga medis diperlukan. Atas dasar pertimbangan risiko yang dihadapi.
"Kalau dokter mati yang rugi masyarakat. Harus dilindungi dengan vaksin ketiga. Untuk masyarakat yang lain, menurut saya fairnya yang belum vaksinasi, vaksinasi dulu. Nanti kalau vaksinasi sudah hampir rata, ya silakan," kata Zubairi.
Kementerian Kesehatan juga belum memutuskan vaksin ketiga untuk masyarakat. Pemerintah masih menunggu hasil kajian ilmiah dan rekomendasi WHO untuk mengambil langkah tersebut.
"Kita tunggu kajian ilmiah dan rekomendasi dari WHO," singkat Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Beredar klaim penerima vaksin Covid-19 mRNA akan meninggal dalam 3 atau 5 tahun
Baca SelengkapnyaKomnas KIPI sebelumnya mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaIndonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19.
Baca SelengkapnyaMenkes angkat bicara mengenai efek samping vaksin Covid-19 AstraZeneca
Baca SelengkapnyaHinky mengatakan, vaksin AstraZeneca sudah melewati tahap uji klinis tahap 1 hingga 4.
Baca SelengkapnyaBelakangan, vaksin AstraZeneca disebut-sebut memicu kejadian trombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) atau pembekuan darah.
Baca SelengkapnyaBadan Pengawas Obat Eropa juga telah melarang peredaran vaksin ini.
Baca SelengkapnyaTerdapat dua jenis vaksin polio yaitu berupa suntik dan tetes yang bisa diberikan pada anak. Apa perbedaannya?
Baca SelengkapnyaMasyarakat juga diminta segera melengkapi vaksinasi Covid-19, khususnya pada kelompok berisiko.
Baca SelengkapnyaVaksin flu universal bisa membantu mengatasi berbagai jenis flu dan mutasinya seperti Covid-19.
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaMulai Januari 2024, vaksinasi Covid-19 tidak lagi gratis alias berbayar.
Baca Selengkapnya