Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Muasal leluhur Kampung Jawa

Muasal leluhur Kampung Jawa Kampung Jawa Tondano. ©2013 Merdeka.com/islahudin

Merdeka.com - Perang Diponegoro adalah salah satu palagan besar membuat kolonial Belanda kerepotan. Perang selama lima tahun, 1825-1830, ini diperkirakan menewaskan lebih dari 200 ribu orang dan merenggut harta tidak sedikit. Saking besarnya, Belanda menyebut itu sebagai Perang Jawa.

Lantaran kalah, menurut Jafar Buchari, warga Kampung Jawa di Tondano, sejumlah anggota pasukan Diponegoro dibuang ke Tondano dan menempati yang sekarang bernama Kampung Jawa. Mereka terdiri dari 63 personel dipimpin oleh Kiai Modjo, penasihat spiritual dan panglima perang Diponegoro.

Tapi pembuangan itu berlangsung bertahap. Dari 63 orang, 56 adalah anak buah Kiai Modjo dan sisanya anggota pasukan Diponegoro baru bebas dari Makassar dan ikut bergabung.

Dalam penelusuran Jafar, Belanda menangkap Kiai Modjo bersama 78 anggota pasukannya pada 18 November 1828. Mereka lalu dikirim ke Semarang kemudian ditahan di Batavia. Setelah mendekam setahun di penjara, Kiai Modjo dan pengawalnya dikirim ke Manado untuk menuju Tondano. “Perjalanan dengan kapal Belanda 72 hari. Pada 1 Mei 1830 sampai Ambon dan pertengahan Mei 1830 tiba Tondano,” kata Jafar saat ditemui merdeka.com Ahad akhir bulan lalu di rumahnya, Kampung Jaton, Tondano, Sulawesi Utara.

Sedangkan Pangeran Diponegoro ditangkap pada Maret 1830. Setelah ditahan di Batavia, dia kemudian diasingkan ke Makassar. Menurut Jafar, dalam perjalanan Diponegoro sempat ditahan di Manado sekitar tiga tahun, kemudian dipindah ke Makassar. “Pada 15 Juni 1830 Diponegoro sampai Manado dengan 26 pasukannya. Baru pada 1833 dipindahkan ke Makassar," ujarnya.

Walau ditahan di Manado, Diponegoro tidak sempat ke Tondano, lokasi pembuangan Kiai Modjo dan pasukan lainnya. Jafar menegaskan Belanda tidak akan mengizinkan mereka bertemu karena bisa membahayakan. Diponegoro mendekam di Benteng Amsterdam, Manado. Jafar memperkirakan lokasi itu sekarang di sekitar Bioskop Benteng Manado dan kawasan rumah toko dekat Pasar 45 Manado.

Setelah Diponegoro wafat pada 1855, sisa pengawalnya ada yang bergabung dengan Kiai Modjo di Tondano. Seluruh anak buah, keculi Kiai Modjo, menikahi gadis setempat. Putranya, Ghazali Modjo, mengawini putri pembesar suku di Tondano bernama Ingkingan Tombokan.

Dari 63 orang itu, hanya tersisa 30 dijadikan nama marga di Kampung Jawa. “Ada yang meninggal, tidak menikah, sempat menikah tapi tidak punya keturunan, ada yang punya anak tapi bukan laki-laki," tutur Jafar. (mdk/fas)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP