Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

PLTU merampas lahan dan kehidupanku

PLTU merampas lahan dan kehidupanku PLTU Batang. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com - 'Orang yang tak pernah mencangkul tanah, justru paling rakus menjarah tanah dan merampas hak orang lain'. Kutipan sastrawan Pramoedya Ananta Toer itu seolah menggambarkan kekesalan ratusan warga yang berada di lima desa Kabupaten Batang yakni Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowereng, Wonokerso dan Roban, Jawa Tengah.

Sudah hampir sebulan terakhir Cayadi bin Tuyah hanya bisa memandang sawah miliknya dari kejauhan. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya tiap kali memandang pagar seng setinggi lebih dari 2 meter yang mengurung lahan pertanian yang selama ini jadi sumber penghidupan utama untuk keluarga. "Tanah saya di dalam kurang dari 1 hektar. Sebagian ditanami padi, sebagian palawija," ujar Cayadi saat berbincang dengan merdeka.com, pekan lalu.

Produk pertanian tumbuh subur di atas lahan pertanian di lima desa itu. Dalam setahun petani bisa melakukan panen hingga tiga kali. Untuk satu hektar lahan rata-rata menghasilkan 7-8 ton sekali panen. Dari hasil panen itu, sebagian untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian lagi dijual. Hasil panen sangat menguntungkan bagi petani. Dengan rata-rata Rp 4 juta untuk satu ton hasil pertanian, Cayadi dan warga lainnya bisa mengantongi minimal Rp 16 juta sekali panen. Bahkan ada yang meraup Rp 25 juta jika semua hasil panen bagus.

Tak heran jika para petani menganggap PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) merampas kehidupan mereka. Lahan pertanian milik mereka telah diklaim milik PT BPI setelah 'dibeli paksa' dengan dalih demi kepentingan negara. Sebab di lahan seluas 226 hektar, PT BPI yang merupakan konsorsium PT Adaro Energy dan perusahaan Jepang PT Itochu serta PT J-Power, bakal membangun megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu bara berkapasitas 2 x 1.000 megawatt dan digadang-gadang sebagai PLTU terbesar seantero Asia Tenggara.

pltu batang

PLTU Batang ©2016 Merdeka.com

Proyek ini merupakan peninggalan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dilanjutkan pemerintahan Joko Widodo sebagai bagian dari program listrik 35.000 MW. Nilai investasinya fantastis, menembus angka USD 4 miliar atau sekitar Rp 40 triliun. Proyek yang mulai diwacanakan pada 2011 ini sempat mandek terbentur pembebasan lahan. Petani Batang menolak menjual lahan mereka. Di masa awal, lahan mereka hanya dihargai Rp 35.000 per meter persegi. Lambat laun harga tersebut dinaikkan menjadi Rp 50.000 per meter. Sebagian besar warga masih menolak menjual. Harga dinaikkan menjadi Rp 100.000 per meter.

Lantaran masih ada warga yang tak mau menjual lahannya, pemerintah pusat turun tangan. Tim percepatan pembebasan lahan dibentuk dengan melibatkan pemerintah daerah. Harga dinaikkan menjadi Rp 400.000 per meter sesuai harga untuk proyek rel ganda atau double track. Dengan harga itu sebagian petani mulai menjual lahannya. Tapi masih ada yang konsisten tak menjual miliknya.

Pemerintah berpikir keras hingga akhirnya menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan Untuk Kepentingan Umum. Undang-Undang ini yang kemudian dijadikan senjata pamungkas membeli paksa lahan petani. Sebagian petani berkeras tak menjual lahannya sebagai bentuk sikap penolakan keberadaan PLTU.

"Lahan inilah satu-satunya sumber ekonomi kami. Ya cuma ini satu-satunya yang kami pertahankan. Karena itu sejak awal kami tidak akan negosiasi karena kami tidak menjual dan menolak PLTU," tegasnya.

Pemilik modal dan Penguasa tetap menang

Sekeras apapun suara penolakan dari petani, pemilik modal dan penguasa tetap menang. Suara petani yang menolak keberadaan PLTU tak didengar lagi. Hingga akhirnya pada 24 Maret 2016, PT BPI memasang pagar yang mengurung lahan mereka. Dengan berlindung di balik UU nomor 2 tahun 2012, PT BPI dan pemerintah mengklaim sudah membeli lahan petani seluas 12,5 hektar dari keseluruhan kebutuhan 226 hektar sekaligus menganggap persoalan pembebasan lahan sudah rampung. Tak peduli suara penolakan masih terdengar lantang.

Cayadi dan petani lain hanya bisa memandang penuh pasrah ketika ratusan pekerja PT BPI mulai memasang pagar seng memutari area persawahan. Meski marah, warga menahan diri agar tak larut dalam emosi. Apalagi proses pemagaran itu dikawal oleh tentara dan polisi bersenjata. "Kalau melawan ya justru itu yang dikehendaki mereka (BPI). Nanti warga ditangkap lalu dimasukkan penjara."

Tiang pengumuman dan informasi ikut berdiri di sana. Isinya pemberitahuan bahwa lahan tersebut sudah sah milik PT BPI. Petani yang tak terima lahannya dicaplok perusahaan mencoba menerobos pagar agar bisa mengolah lahan mereka. Cayadi menunjukkan cara petani menerobos pagar melalui lubang kecil di bagian bawah pagar seng. Petani baik lelaki maupun perempuan harus merangkak untuk bisa menerobos masuk ke dalam lubang yang lebarnya tak lebih dari 50 cm. Semua dilakukan demi menggarap lahan penghidupan mereka.

Kebanyakan di antara mereka yang menerobos pagar harus menghindari kejaran petugas keamanan proyek. Mereka terkadang harus berlari, berusaha agar tak tertangkap. Sebab sudah ada ancaman yang berbunyi barang siapa mencoba masuk area milik PT BPI, bakal berakhir dibui. "Kami yang masih punya lahan di dalam ingin melihat karena mau panen, ada celah kami masuk tapi dicegat satpam. Ada satpam yang jaga, enggak boleh masuk. Mereka merampas kemerdekaan kami sebagai pemilik lahan," tegasnya.

Keberadaan PLTU batu bara bukan sekadar merampas lahan mereka, tapi lebih jauh merampas hak hidup petani dan anak cucu mereka. Dampak pencemaran lingkungan menjadi momok menakutkan mengingat batu bara sebagai bahan bakar fosil terkotor di dunia, mengemisi 29 persen lebih banyak karbon per unit energi dibandingkan minyak, dan 80 persen lebih banyak dari gas. Batu bara berkontribusi lebih dari 65 persen emisi karbondioksida penyebab terbesar perubahan iklim. "Kita punya hak hidup sehat, hak menghirup udara segar bagi anak cucu kami," tegas Cayadi.

pltu batang

PLTU Batang ©2016 Merdeka.com

Jaeni dan ratusan nelayan asal Desa Roban ikut khawatir kehidupannya selama ini terancam dengan berdirinya PLTU yang tak jauh dari kampungnya. Dia berkaca pada kondisi nelayan di Cilacap, di mana perkampungan nelayan di sana berdekatan dengan PLTU. Kampung nelayan di sana akhirnya dikosongkan. Hal sama terjadi juga di Jepara di mana para nelayan sudah kesulitan mencari ikan karena laut tercemar limbah batu bara.

"Keberadaan PLTU justru membuat kita kehilangan mata pencaharian. Petani, kalau dibangun PLTU lalu lahan tidak ada mau kerja apa? Nelayan dampaknya juga mata pencaharian hilang karena laut kena limbah, ikan tidak ada, (laut dan pantai) isinya kapal tongkang batu bara," katanya.

Ancaman bakal kehilangan mata pencaharian bukan isapan jempol. Saat ini saja, sebelum PLTU dibangun, para petani sudah mulai kehilangan sumber penghasilan. Mereka dipaksa menjual lahan dan otomatis tak punya penghasilan lagi.

Sekretaris Daerah Kabupaten Batang Nasikhin membela PT BPI yang dianggap telah merampas hak petani. Proses pembebasan lahan sah menurut hukum dan perundang-undangan. Lantaran menggunakan skema kerja sama pemerintah dan swasta (public private partnership), maka pembebasan lahan diambil alih pemerintah, dalam hal ini PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggunakan UU nomor 2 tahun 2012. Di dalamnya juga mengatur dana konsinyasi untuk pembelian lahan yang dititipkan di pengadilan negeri Batang. Setelah melalui proses itu, PLN menyertifikatkan lahan lalu diserahkan pada PT PBI. Dengan mengantongi sertifikat itulah PT BPI mulai memasukkan alat berat dan mulai menutup lahan dengan pagar.

"Jadi sudah sah. Berdasarkan Undang Undang lahan ini sudah dikuasai PLN dan diserahkan kepada negara untuk dibangun PLTU. Barang siapa yang memasuki lahan ini berarti melanggar Undang-Undang. Jadi tidak ada yang melanggar merampas hak," jelas Nasikhin.

Nasikhin seolah ingin menjawab kekhawatiran petani akan sumber penghasilan mereka jika lahan dikuasai PT BPI. Perusahaan memberikan opsi lain yakni menyediakan lahan pengganti agar petani tetap produktif. Untuk sementara, lahan yang sudah disiapkan baru seluas 32 hektar. Meski belum ditanami tapi Nasikhin sangat yakin lahan tersebut sama suburnya dengan milik petani yang dipakai untuk PLTU. Dengan begitu, petani dapat terus mencangkul dan menikmati panen, dalam konteks ketahanan pangan pun tidak terganggu. Tapi petani tetap menolak.

pltu batang

PLTU Batang ©2016 Merdeka.com

Keberadaan PLTU yang disebut-sebut bakal merusak lingkungan juga di tepisnya. Dia percaya betul dengan teknologi Jepang yang terangkum dalam analisa dampak lingkungan (Amdal). Nasikhin berangkat dari keberadaan PLTU di Jepang yang dekat dengan pemukiman padat penduduk dan rumah sakit. Katanya, PLTU di sana tidak mencemari udara dan laut. Dia juga mengambil contoh PLTU Tanjung Jati B yang terletak di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara yang penjelasannya justru bertolak belakang dengan pengakuan Jaeni.

"Saya rasa itu (kekhawatiran pencemaran lingkungan) sudah dijawab dalam dokumen Amdal. Tidak akan ada semacam itu dan sudah ada pembuktian di Jepang dengan adanya teknologi. Izin Amdal itu sejak Gubernur Pak Bibit Waluyo jadi itu sudah lama. Pak Ganjar hanya tinggal meneruskan," tambahnya.

Pemkab Batang berlindung di balik kepentingan nasional. Petani Batang diminta memahami kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. "PLTU ini akan memasok 20 persen kebutuhan listrik nasional dan perhitungannya 2018 akan diselesaikan. Kalau kita tidak dukung ini kan bisa krisis listrik," katanya.

Saat dilakukan pemagaran lahan milik petani, Presiden Direktur PT BPI Mohammad Effendi menjelaskan bahwa sisa lahan yang sempat bermasalah kini sudah sah menjadi milik PLN sejak BPN menyerahkan dokumen pembebasan lahan pada PLN pada 8 Desember 2015. Permasalahan hukum yang sempat membelit terkait pengadaan sisa lahan juga telah terselesaikan dengan diumumkannya putusan Mahkamah Agung pada 29 Februari 2016 lalu yang menolak gugatan pembatalan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Sisa Lahan PLTU.

Effendi sekaligus menegaskan bahwa pihaknya telah mengantongi izin Amdal yang melibatkan para ahli di bidangnya. "Kami telah melalui serangkaian proses sertifikasi dan perizinan. Proses penilaian Amdal melibatkan para ahli yang melakukan sejumlah analisa dan kami menuangkannya dalam dokumen AMDAL yang menjadi komitmen kami kepada masyarakat dan pemerintah. Pelaksanaannya juga terus dimonitor dan dievaluasi secara berkala," urai Effendi saat itu.

(mdk/arb)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Seperempat Abad Diduduki Warga, 121 Hektare Lahan di Serdang Bedagai Kini Kembali 'Dipelukan' PTPN IV
Seperempat Abad Diduduki Warga, 121 Hektare Lahan di Serdang Bedagai Kini Kembali 'Dipelukan' PTPN IV

Proses sita dilakukan setelah terdapat putusan berkekuatan hukum tetap, mulai dari tingkat gugatan hingga peninjauan kembali.

Baca Selengkapnya
Viral Warga Harus Bayar Rp11 Juta untuk Pindahkan Tiang Listrik, Begini Aturan Sebenarnya
Viral Warga Harus Bayar Rp11 Juta untuk Pindahkan Tiang Listrik, Begini Aturan Sebenarnya

Sedangkan untuk kompensasi diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.

Baca Selengkapnya
Bolehkah Pengelolaan Ketenagalistrikan Selain PLN? Ini Aturannya
Bolehkah Pengelolaan Ketenagalistrikan Selain PLN? Ini Aturannya

Dia menuturkan sistem ketenagalistrikan sebaiknya dijalankan sesuai aturan, dalam hal ini, yang bisa menjual listrik ke masyarakat hanya PLN.

Baca Selengkapnya
Ada Pabrik Gula Kelas Dunia tapi Warga Sengsara, Ini Potret Miris Warga Probolinggo di Zaman Penjajahan Belanda
Ada Pabrik Gula Kelas Dunia tapi Warga Sengsara, Ini Potret Miris Warga Probolinggo di Zaman Penjajahan Belanda

Mereka yang tak punya tanah dipaksa bekerja di kebun milik pemerintah

Baca Selengkapnya
VIDEO: Sentilan Keras Megawati di Rakernas PDIP,  Eksploitasi Saat Ini Mirip Masa Penjajahan!
VIDEO: Sentilan Keras Megawati di Rakernas PDIP, Eksploitasi Saat Ini Mirip Masa Penjajahan!

Menurutnya, tindakan eksploitasi yang dilakukan abad ini, tak jauh berbeda dengan masa penjajahan.

Baca Selengkapnya
Ironi Kerusakan Sawah Jambi & Bisnis Gelap yang Menggiurkan
Ironi Kerusakan Sawah Jambi & Bisnis Gelap yang Menggiurkan

4.000 hektare lingkungan yang rusak di Kabupaten Merangin akibat PETI.

Baca Selengkapnya
Viral Ricuh di Seruyan Kalteng hingga Ada Suara Tembakan, Begini Kata Polisi
Viral Ricuh di Seruyan Kalteng hingga Ada Suara Tembakan, Begini Kata Polisi

Penembakan peluru karet itu telah sesuai prosedur setelah dilakukan imbauan dan tembakan gas air mata.

Baca Selengkapnya
Begini Solusi Bisa Dilakukan Jika Sumur Minyak dan Gas Ditemukan di Lahan Persawahan
Begini Solusi Bisa Dilakukan Jika Sumur Minyak dan Gas Ditemukan di Lahan Persawahan

Konsepnya adalah kalau lahan produktif berkurang, sumber pangan berkurang harus diganti di tempat lain.

Baca Selengkapnya
Jepang Hentikan Pendanaan Proyek PLTU Indramayu, Jokowi Jawab Begini
Jepang Hentikan Pendanaan Proyek PLTU Indramayu, Jokowi Jawab Begini

Jokowi menekankan, pemerintah tengah mendorong percepatan transisi energi di sejumlah daerah.

Baca Selengkapnya
Melihat Kampung Milyarder Dadakan Relokasi Pertamina di Tuban, Megah dan Ada yang Pakai Marmer
Melihat Kampung Milyarder Dadakan Relokasi Pertamina di Tuban, Megah dan Ada yang Pakai Marmer

Kabar terbarunya, sejumlah kediaman di kampung relokasi tersebut nampak begitu megah dan mewah.

Baca Selengkapnya
Proyek Pabrik Semen di Jawilan Digeruduk Emak-emak, Diduga Sebabkan Rumah Warga Roboh
Proyek Pabrik Semen di Jawilan Digeruduk Emak-emak, Diduga Sebabkan Rumah Warga Roboh

Karena tidak terima, emak-emak sekitar langsung menggeruduk pabrik tersebut.

Baca Selengkapnya