Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Repot sendiri lantaran gengsi

Repot sendiri lantaran gengsi Aksi jurnalis dan pekerja industri kreatif. ©2017 Merdeka.com/Intan Umbari Prihatin

Merdeka.com - Sinar matahari terasa amat menyengat. Langgam orasi bersahut-sahutan dari Tugu Tani, Jakarta Pusat hingga Patung Kuda, Jalan Merdeka Selatan. Para buruh pabrik, pekerja rumah tangga, tak terkecuali kalangan pekerja media hadir memperingati Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei. Puluhan massa dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) bergabung dengan kelompok lain seperti AJI Indonesia, dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), dalam bendera Forum Pekerja Media ikut turun ke jalan.

Bermodal berbagai macam poster bertuliskan keluh kesah mereka di industri kreatif selama ini. Sejak lama pekerja industri kreatif sudah merasakan keresahan akan nasib mereka. Di antara mereka mengalami kelebihan jam kerja, pendapatan jauh dari standar kontrak, alih daya, dan magang tanpa upah, hingga penyamaran hubungan kerja yang merugikan pekerja karena tak mendapat jaminan kerja dan perlindungan sosial. Jati Andito, seorang penyulih suara di salah satu media televisi menceritakan adanya ketimpangan itu. Kondisi saat ini menurutnya, sejawatnya di Indonesia belum sejahtera. Mereka hanya dibayar Rp 250 ribu tiap episode.

Jati pernah merasakan harus maraton mengisi suara buat tayangan di 18 saluran jaringan televisi swasta. Dalam sehari bisa 30 kali pengambilan. Namun, dia hanya diberikan fasilitas terbatas. Malah jam kerjanya kerap melewati batas.

Orang lain juga bertanya?

"Dia (para pemilik modal) cuma ingin suara kita saja, mereka enggak peduli fasilitas itu," kata Jati ketika ditemui merdeka.com di sela aksi Hari Buruh, di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (1/5) lalu.

Jati memahami menuntut keadilan tidak mudah. Sayangnya, kata dia, tingkat kesadaran sejawatnya tentang berserikat masih minim.

"Faktornya banyak, karena mereka enggak mau dibilang buruh, tidak ada kesadaran dari mereka. Padahal mereka juga masih digaji perusahaan, berarti mereka buruh," kata Jati sambil tersenyum.

Jati enggan pengalamannya terulang pada orang lain. Jati dan pekerja media lain juga ingin hak mereka tidak diselewengkan para pemilik modal.

Bukan hanya Jati yang geram. Evi, pekerja lepas di dunia videografi juga mengalami nasib serupa. Karena tuntutan pekerjaan, dia sering berada seharian penuh di lokasi syuting. Jaminan kesehatan tak pernah diterima. Upah didapat juga tak sepadan. Kadang bayarannya adalah sisa dari pendapatan sutradara serta asistennya. Itu pun kerap telat. Menurutnya, kini para pekerja media seharusnya tidak terlalu toleran dengan perusahaan.

"Kita punya hak itu, tetapi banyak dari mereka yang belum terlalu peduli soal hak mereka," kata Evi.

Anggi yang sudah empat tahun bekerja di bidang iklan juga merasakan hal sama. Bahkan beberapa dari teman-teman Anggi tidak bisa leluasa berlibur. Terkadang mereka selalu ditagih soal desain, bahkan saat Idul Fitri.

Memang menurut Anggi banyak dari pekerja media dalam bidang iklan yang sering mengeluhkan hal tersebut, tetapi banyak dari mereka yang tidak peduli. Mereka menganggap dirinya tidak sejajar dengan buruh pabrik atau petani.

"Faktornya mungkin lebih ke gengsi. Dan dalam pikiran anak agensi, enggak ada tuh diksi kata serikat," kata Anggi sambil tersenyum.

Menurutnya, suara mereka yang peduli hanya tersalurkan dalam komunitas. Namun, hal itu tidak efektif buat menekan korporasi dan dan menghimpun suara kolektif. Koordinator Presidium SINDIKASI, Ellena Ekarahendy menjelaskan, selama ini para pekerja kreatif berhadapan dengan perusahaan yang belum memfasilitasi mereka mewujudkan serikat pekerja. Biasanya kata dia, perusahaan industri kecil hanya ada 15 sampai 20 pegawai, dan terkadang sebagian dari mereka adalah pekerja paruh waktu.

Dia menjelaskan tak mudah mengumpulkan para pekerja kreatif dalam wadah serikat pekerja. Selama ini masih banyak pekerja seni yang belum sadar ada haknya telah dilanggar. Mereka justru abai karena merasa sudah berada di zona nyaman.

"Tapi kadang mereka enggak melihat teman-teman yang lain, apalagi fresh graduate, yang baru masuk industri ini. Di sisi lain, ada juga yang mendukung walaupun mengajak mereka aktif agak susah," kata Ellena.

(mdk/ary)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
3 Tanda Anda Harus Berhenti Bekerja dan Rintis Usaha Sendiri
3 Tanda Anda Harus Berhenti Bekerja dan Rintis Usaha Sendiri

Jika sudah merasa jenuh dengan rutinitas sebagai karyawan, bisa saja itu pertanda untuk beralih menjadi wirausaha.

Baca Selengkapnya
Kaum Ekonomi Kelas Menengah, Jangan Lakukan Ini Jika Ingin Kaya
Kaum Ekonomi Kelas Menengah, Jangan Lakukan Ini Jika Ingin Kaya

Menghabiskan uang demi penampilan akan menjadi kehancuran terbesar.

Baca Selengkapnya
10 Permasalahan yang Hanya Dialami Orang Jenius, IQ Rata-rata Tidak Akan Paham
10 Permasalahan yang Hanya Dialami Orang Jenius, IQ Rata-rata Tidak Akan Paham

Mereka yang jenius atau cenderung cerdas memiliki permasalahan hidup yang secara khusus biasanya hanya mereka alami sendiri.

Baca Selengkapnya
Waspada! Ini 5 Tanda Lingkungan Kerja yang Toxic dan Bikin Mental Terganggu
Waspada! Ini 5 Tanda Lingkungan Kerja yang Toxic dan Bikin Mental Terganggu

Mengenali ciri-ciri lingkungan kerja yang toxic adalah langkah pertama untuk menjaga diri dan membuat keputusan yang terbaik untuk masa depan Anda.

Baca Selengkapnya
Kenali Apa Itu Floating Duck Syndrome, Penyebab Stres dan Burnout pada Milenial dan Gen-Z
Kenali Apa Itu Floating Duck Syndrome, Penyebab Stres dan Burnout pada Milenial dan Gen-Z

Floating duck syndrome merupakan kondisi ketika menganggap kesuksesan orang lain bisa dicapai dengan mudah.

Baca Selengkapnya
Bukan karena Malas, Ternyata 3 Alasan Ini Bikin Gen Z Sulit Dapat Pekerjaan
Bukan karena Malas, Ternyata 3 Alasan Ini Bikin Gen Z Sulit Dapat Pekerjaan

Sebanyak 60 persen perusahaan merasa kurang cocok bekerja dengan generasi Z.

Baca Selengkapnya
Dosen ITB: 66 Persen Driver Ojol Ingin Beralih ke Pekerjaan Formal
Dosen ITB: 66 Persen Driver Ojol Ingin Beralih ke Pekerjaan Formal

Pekerjaan di sektor gig, rentan terhadap ketidakstabilan pendapatan dan kurangnya jaminan sosial.

Baca Selengkapnya