Satu Jiwa Demi Membangun Papua
Merdeka.com - Papua, tahun 2008. Fajar Cuan memutuskan menempuh pendidikan tinggi di Pulau Jawa. Dari kampungnya di Walesi, Kabupaten Jayawijaya, dia menuju Wamena kemudian terbang menuju Jayapura, Papua. Berlanjut menggunakan penerbangan rute Jayapura-Jakarta.
Menempuh perjalanan panjang, tidak membuat dia menyerah. Padahal usianya ketika itu masih muda. Baru lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Semua dilakukan demi kualitas pendidikan lebih baik dibanding kampung halamannya.
Bukan tanpa alasan Fajar pergi jauh. Pamannya yang menikah dengan warga Bogor, siap menjaganya. Bahkan berjanji menanggung biaya sekolah sampai tempat tinggalnya nanti. "Orang tua saya tidak mampu. Lalu ada kesempatan, orang yang ingin tanggung jawab pendidikan saya," kenang Fajar bercerita kepada kami.
-
Mengapa Cinta Laura ingin kembali ke Papua? 'WAMENA, one of the most beautiful places on Earth. I will be back,' ungkap Cinta Laura dalam caption postingan Instagram-nya.
-
Apa yang orang kangen dari kampung halaman? 'Di dalam hati dan langkah kakiku, tercipta sebuah impian untuk mewujudkan sebuah harapan dari orang yang senantiasa menantiku di sana.'
-
Apa yang membuat prajurit TNI ini ingin menghabiskan masa tuanya di Papua? Diungkapkan, Gatot ingin menghabiskan masa tuanya di Kaimana, Papua Barat. Sang istri pun dikatakan telah menyetujui keinginan prajurit TNI ini.
-
Bagaimana orang menunjukkan rasa kangen kampung halaman? 'Dalam ratusan kilometer membentang jauh, selalu aku titipkan rindu pada embusan angin, selalu ku bincangkan di sela doa untukmu orang tua dan keluargaku.'
-
Kenapa orang kangen kampung halaman? 'Di antara banyak hal yang tak bisa didaur ulang yaitu waktu yang terbuang. Maka pastikanlah bahwa waktumu telah kau gunakan sebaik-baiknya untuk keluarga.'
-
Kenapa orang pulang kampung? Pulang kampung seringkali dianggap sebagai momen yang penuh dengan rasa haru, nostalgia, dan kehangatan.
Pertemuan kami dengan Fajar di sebuah rumah Jalan Gang Puri Intan 2, Ciputat Timur pada Rabu, 21 Agustus 2019 lalu. Di sana setiap hari dilewati bersama rekan sesama mahasiswa asal Papua.
Menurut Fajar, keputusan mengejar ilmu di Pulau Jawa membuat orangtua senang. Ingin lihat anaknya sukses di masa depan. Mereka yakin pendidikan bakal jadi jalan keluar dari segala keterbatasan.
Tidak banyak bekal berharga diberikan. Namun, bagi Fajar pesan kedua orangtua itu sangat berharga. Hanya Sebuah pesan yang selalu diingat meski sudah 11 tahun lamanya. "Kalau kamu punya niat belajar, merantau, baik-baik. Jangan buat hal-hal yang bisa merugikan kamu. Terutama keluarga," ujar Fajar menirukan pesan orang tuanya.
Fajar mulai masuk SMA pada 2009. Dia beradaptasi dengan lingkungan barunya. Jauh berbeda dari kehidupannya selama di Papua. Tanpa rasa canggung, dia berteman dengan siapa saja. Tak ada rasa rendah diri. Meski terkadang dipandang berbeda.
Selepas lulus SMA, Fajar mendaftarkan diri ke Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Mengikuti jejak para seniornya asal Papua. Dia mendaftarkan diri melalui jalur mandiri. Tanpa bantuan beasiswa pemerintah.
Semua proses seleksi masuk perguruan tinggi dilalui. Fajar dinyatakan lulus. Jurusan studi agama jadi pilihannya. Berhasil mencatatkan nama sebagai mahasiswa perguruan tinggi negeri, tak membuat dirinya jumawa.
Keberhasilannya memang menjadi kebanggaan. Apalagi setelah mendengar bahwa tidak semua orang bisa diterima di universitas negeri. Dia sanggup berkompetisi dengan calon mahasiswa lainnya. "Orang UIN senang karena saya juga representasi muslim dari Papua," katanya.
Sambutan hangat dosen dan mahasiswa lain dirasakannya. Di luar kelas, Fajar kerap dimotivasi para pengajar untuk serius belajar. Setelah berhasil, tugas membangun Papua jadi tantangannya.
Tak terbersit keinginan untuk menetap menjadi warga Pulau Jawa. Cita-citanya sederhana. Hanya ingin punya arti bagi kampung halamannya. Pesan lain dari orang tuanya. "Tamat kuliah, cari ilmu. Setelah selesai kembali ke Papua. Bangun Papua."
Cerita serupa dari dari mahasiswa asal Papua di Surabaya. Agustinus Tinopi, berani mengambil keputusan meninggalkan tanah kelahirannya di Teluk Bintuni, Papua Barat. Demi menimba ilmu, dia hijrah ke Surabaya. Lalu mendapat kesempatan kuliah di Universitas Dr Soetomo (Unitomo), mengambil jurusan Teknik Informatika.
Sejak tahun 2014, Agustinus menetap di Surabaya. Keinginan menimba ilmu itu mendapatkan dukungan besar dari keluarga, terutama sang ayah. Padahal ketika itu dia sudah berkuliah di Manokwari, Papua Barat.
Dorongan sang ayah justru memicu untuk membulatkan tekad terbang menuju Surabaya. Apalagi dia diingatkan agar suatu saat jika kembali ke tanah kelahirannya membawa lebih banyak ilmu yang bermanfaat.
Selama di Surabaya dia sudah menorehkan prestasi gemilang lewat pencak silat. Dari olahraga kegemarannya itu, dia menembus juara ke-2 di turnamen pencak silat ITS Cup pada 2017 lalu. "Saya senang dengan pencak silat. Di Papua saya sudah mengikuti pencak silat," ucap Agustinus saat ditemui di kampus Unitomo, Kamis kemarin.
Menapakkan kaki di Kota Pahlawan, membuat Agustinus senang. Apalagi masyarakat di tempatnya tinggal cukup ramah. Merasa mendapatkan perhatian baik dari warga, terutama perangkat RT. Dia tinggal di Jalan Pumpungan, Kota Surabaya. Banyak kegiatan warga di sana, seperti kerja bakti selalu diikuti.
Rekan sejawatnya asal Papua, Monica Marice Asirabab, merasakan hal serupa. Mahasiswi Unitomo semester IV jurusan hukum ini mengaku senang menimba ilmu di Surabaya. Meski sejak awal kuliah adalah bukan keinginannya, namun kini dia sangat menikmati.
Sebagai perantau, selama ini Monica tinggal di kawasan Bratang Binangun, Surabaya. Dia merasa cukup nyaman berada di lingkungan baru. Tak pernah ada masalah dengan warga sekitar. Justru kerap menerima banyak pujian.
"Awalnya lulus sekolah maunya langsung kerja. Tapi disuruh sama orangtua kuliah. Saya senang di sini, tidak pernah ada masalah. Saya malah dipuji di sana (tempat tinggal), di kampus juga dipuji," ujar gadis berumur 20 tahun ini.
Kebanyakan mahasiswa asal Papua tidak ada yang selamanya menetap di Pulau Jawa. Kalaupun ada, hanya segelintir saja. Mereka pasti punya keinginan kembali ke tanah kelahiran. Sejatinya, ini panggilan jiwa. Keinginan kuat demi kemajuan Papua.
Menurut Fajar, rata-rata mahasiswa asal Papua di Pulau Jawa tak ingin melihat Papua terus menerus dipandang terbelakang. Mereka terdorong untuk punya peran dalam memajukan kampungnya. Seolah sudah menjadi satu jiwa, mereka ingin kembali memberikan kemampuannya demi membangun Papua
"Terdorong keadaan di Papua yang keterbatasan. Sehingga setelah menyelesaikan kuliah, dituntut balik ke Papua," ungkap dia. "Rata-rata semua mahasiswa Papua begitu. Kembali untuk membangun Papua," Fajar menambahkan.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Warga PNG ini berharap bisa menetap di Kampung Mosso, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua.
Baca SelengkapnyaGanjar Pranowo mengawali kampanye perdana di Merauke, Papua Selatan
Baca Selengkapnya"Jadi kalau sudah Pak Jokowi yang membangun kita, Mas Gibran ini Putra sulung dari Pak Jokowi," kata Bahlil.
Baca SelengkapnyaGibran mengatakan pembangunan Indonesia ke depannya tidak boleh lagi Jawa sentris.
Baca SelengkapnyaPolda Papua akan merekrut 2.000 pemuda untuk menjadi Bintara yang akan ditempatkan di polres
Baca SelengkapnyaMRP meminta kepada Presiden Jokowi kepala daerah pada Pilkada 2024 diisi oleh orang-orang asli Papua.
Baca SelengkapnyaSemoga Pemilu 2024 berjalan lancar dan warga seperti Slamet Siswoyo dapat memilih dengan tenang.
Baca SelengkapnyaPSI memiliki komitmen untuk Trans-Papua bisa segera rampung.
Baca SelengkapnyaPapua Nugini juga dianggap Prabowo memiliki filosofi hidup bernegara yang sama dengan Indonesia.
Baca SelengkapnyaTKN: 80 Persen Rakyat Papua Akan Memilih Prabowo-Gibran
Baca SelengkapnyaJargon ini menggarisbawahi aspirasi bangsa untuk memasuki era baru dengan semangat pembaruan dan kemajuan.
Baca Selengkapnya