Siasat bertahan bioskop alternatif
Merdeka.com - Laiknya cerita film, industri bioskop di Indonesia memiliki tiga protagonis utama: Jaringan Cineplex 21, Blitzmegaplex, dan Cinemaxx. Dua nama terakhir bahkan baru benar-benar muncul lima tahun terakhir. Selama nyaris dua dekade bioskop dikuasai satu pemain tunggal, yang lain sekadar figuran.
Karenanya, cerita Bioskop Grand Theatre dan Mulia Agung di Senen, Jakarta Pusat, sanggup bertahan terhitung mengherankan. Merdeka.com mencoba mendatangi langsung bangunan bioskop independen yang tidak menjadi bagian dari Cineplex 21 tersebut.
Hasilnya mencengangkan. Bioskop Grand Theatre dan Mulia Agung bertahan mengandalkan semua faktor selain film itu sendiri. Fasilitas pemutaran buruk, ruangan tak nyaman, bahkan banyak orang berkeliaran di lobi bioskop untuk menawarkan layanan prostitusi. Kunci sukses lainnya, berkumpulnya komunitas homoseksual di bioskop nyaris saban hari.
-
Dimana mereka mempromosikan filmnya? Pemain-pemain film 'Galaksi', yaitu Bryan Domani, Mawar Eva de Jongh, dan Fadli Faisal, mengunjungi kantor KLY di Jakarta Pusat pada hari Selasa (8/8/2023).
-
Di mana mereka menonton konser? Belakangan ini, Maudy Effrosina menjadi sorotan netizen karena kabar kedekatannya dengan aktor tampan Fadly Faisal. Netizen heboh membahas kedekatan Fadly Faisal dan Maudy Effrosina setelah keduanya tertangkap menonton konser Bruno Mars bersama pada Rabu (11/9), di mana Fadly terlihat berdiri tepat di belakang Maudy.
-
Di mana Videotron sering ditempatkan? Videotron biasanya ditempatkan di tempat-tempat strategis seperti jalan-jalan besar, pusat perbelanjaan, stadion, dan tempat umum lainnya.
-
Apa alasan pembukaan bioskop di masa pandemi? Alasan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, membuka kembali bioskop adalah untuk menggiatkan kembali ekonomi di bidang industri perfilman yang mati suri.
-
Di mana bioskop pertama di Indonesia? Rumah seorang pengusaha ini dialihfungsikan sebagai bioskop dengan nama 'The Royal Bioscoope'.
-
Bagaimana cara mereka mempromosikan film? Tantangan ini diberi nama “Cerdas Cermat“. Maka, tim dari Kapanlagi.com mengajukan pertanyaan umum, lalu ketiga artis tersebut bersaing untuk memberikan jawaban.
Imam (40), pemilik warung kaki lima di dekat bioskop Grand Theatre, menyoroti perkumpulan penyuka sesama jenis yang membuat selalu ada orang menonton film di sana. "Bukan rahasia lagi, terkenal tempat itu. Homo-homo banyak di dalam bioskop," ujarnya kepada merdeka.com saat bertandang Selasa (30/8) lalu.
Di hari biasa pengunjung Bioskop Senen hanya hitungan puluhan orang. Namun jika sudah Sabtu-Minggu, Imam menaksir bisa mencapai lebih dari seratus. Angka luar biasa untuk pemain bioskop marjinal.
Warga lain, Lilies yang menyewa salah satu kios di bawah gedung bioskop, turut membenarkan "jasa" komunitas gay meramaikan lokasi Grand Theatre. Para pengunjung tetap bioskop kebanyakan bukan warga sekitar Pasar Senen
Dia pernah berbincang dengan sang pemilik yang dijuluki warga Senen sebagai 'Kokoh'. Rupanya keuangan Kokoh terbantu berkat lini bisnis lain. Di antaranya adalah jasa pengantaran uang ATM serta menyewakan beberapa bagian gedung untuk pertokoan.
"Pemilik bilangnya rugi terus tapi masih saja bisnis begituan (bioskop). Kemarin informasi mau dibangun (gerai) Seven Eleven tapi enggak jadi," kata Lilies.
Informasi yang didapat, nama manajer bioskop itu adalah Husein. Namun pihak pengelola Grand Theatre maupun Mulia Agung menolak upaya konfirmasi yang dilakukan oleh merdeka.com. "(Pemilik) tidak sedang di kantor," kata penjaga loket. Petugas lain di lobi juga menolak wawancara untuk mengonfirmasi pelbagai kabar miring menerpa bioskop legendaris Jakarta itu.
Pemerhati industri film, Adrian Jonathan Pasaribu, menyatakan situasi muram Bioskop Senen adalah potret ketimpangan dalam bisnis bioskop secara keseluruhan di Indonesia. Jaringan bioskop besar fokus mengembangkan layar-layar baru di mal, meminggirkan calon penonton dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Segregasi konsumen ini diperparah dengan kegagalan pengelola bioskop non-jaringan mengimbangi penetrasi televisi, internet, maupun DVD. "Akhirnya di (Senen) memang jadi rumit kondisinya," ujarnya.
Namun ada satu faktor lain yang membuat bisnis bioskop sulit dijalankan bagi pengusaha non-jaringan besar. Adrian menggarisbawahi perkara distribusi kopi film. Masing-masing grup besar memiliki distributor termasuk importir sendiri. Sedangkan film adalah produk yang sangat mengandalkan keterhubungan antara pemain di hulu dengan bioskop sebagai pengguna di hilir. "Suplai film itu masalah yang paling krusial," ujarnya.
Ketiadaan distribusi kopi film yang merata dan seimbang itulah yang pada 1990-an membuat ratusan bioskop gulung tikar. Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mencatat, pada akhir 1980-an jumlah layar mencapai 6.000-an lebih. Namun hanya berselang satu dekade jumlahnya turun drastis menjadi tinggal 600-an saja.
Di tengah dominasi pemain bermodal besar, sebetulnya masih ada bioskop-bioskop kecil yang menjadi alternatif. Sebut saja Kineforum di Taman Ismail Marzuki, Kinosaurus di Kemang, serta Paviliun 28 di Kebayoran Baru. Tiga contoh itu menurut Adrian berhasil menunjukkan bahwa ada pasar penikmat film yang belum digarap oleh para pemain kakap.
Bioskop-bioskop alternatif ini menawarkan film dengan mutu artistik tinggi ataupun film impor yang bukan Hollywood. Selain itu, mereka mampu bersiasat meraup pendapatan walau memutar film yang sekilas kurang komersial. Kineforum didukung dana hibah asing serta pemerintah DKI Jakarta. Paviliun 28 memiliki kafe yang cukup ramai. Sementara Kinosaurus berhasil memperoleh ruang di dekat Toko Buku Aksara Kemang yang banyak dikunjungi anak muda.
Kekurangan bioskop alternatif itu satu: konsumennya masih terkonsentrasi pada kelas menengah. Sama seperti sasaran para pemain besar industri bioskop.
Di masa mendatang, Adrian optimis pembentukan bioskop-bioskop alternatif bisa dikembangkan di banyak kota dengan cara masing-masing, termasuk juga menyasar penonton menengah ke bawah yang diabaikan pengusaha bioskop kakap.
Seandainya pemerintah ingin terlibat membantu meningkatkan akses masyarakat terhadap film, pegiat komunitas Cinema Poetica ini meyakini solusinya bukan cuma menambah bioskop atau membuat proyek pemutaran layar tancap keliling. Pertama harus ada dukungan kurikulum pendidikan. Harus diingat masih banyak orang yang menganggap film sebagai hiburan kesekian. Apresiasi itu perlu dibangun sejak dari sekolah.
Langkah lainnya, membuat pemutaran memanfaatkan perpustakaan daerah. Daripada membangun bioskop baru, langkah ini dirasa Adrian akan lebih berfaedah. "Intinya harus ditentukan dulu, film ini mau dianggap sebagai apa oleh para pemangku kepentingan."
Dengan rumitnya peta bisnis tersebut, Bioskop Senen memang sebuah dunia tersendiri. Dunia yang seakan terisolir dari hiruk pikuk perdebatan pemerintah, pengusaha bioskop, maupun pelaku industri perfilman lainnya. Semacam bioskop yang sadar bahwa perannya dalam jagat layar perak di sisi antagonis.Soal adanya prostitusi dan klub gay, barangkali sekadar siasat bertahan. Penonton harap maklum.
Baca juga seri liputan khusus bioskop:
Sisi gelap penuh lendir bioskop legendaris SenenBujuk rayu para pria kemayu di bioskop tak lakuBioskop pinggiran menunggu giliran menjemput ajalVideo: Bioskop Grand Senen, sarang pria penyuka sesama jenis (mdk/ard)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kementerian Kebudayaan akan bermitra dengan sektor swasta.
Baca SelengkapnyaProspek bioskop dalam jangka panjang tetap suram meskipun ada lebih banyak film yang dibuat untuk layar khusus.
Baca SelengkapnyaGenerasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya.
Baca SelengkapnyaProspek pertumbuhan industri bioskop di Indonesia yang tercermin dari minat investor pada masa penawaran awal dan umum.
Baca SelengkapnyaDalam paparannya, Managing Director Emtek, CEO SCM & Vidio Sutanto Hartono membahas soal perkembangan digital saat ini, termasuk Vidio.
Baca SelengkapnyaVidio sebagai bagian usaha milik EMTEK Grup memiliki cara bersaing dengan pemain layanan OTT global.
Baca SelengkapnyaSebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya, Banda Aceh memiliki kisah dan sejarah panjang tentang lahirnya bioskop dan perfilman di Indonesia.
Baca SelengkapnyaVideotron merupakan salah satu pilihan untuk menampilkan iklan atau kampanye suatu produk.
Baca SelengkapnyaPendapatan utama berasal dari bioskop yang memberikan kontribusi sekitar 60,2 persen.
Baca SelengkapnyaSejumlah penelitian mengungkap banyak manfaat positif bagi perusahaan maupun individu yang beriklan melalui videotron.
Baca Selengkapnya