Suksesi Panglima yang Tak Biasa
Merdeka.com - Penggalan video berdurasi 37 detik beredar di kalangan politikus. Isinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meledek sang istri, Iriana saat meninjau pameran Alutsista di depan Istana Negara, Selasa (5/10).
Dalam video itu, Jokowi bertanya apakah Iriana ingin naik kendaraan taktis TNI yang dipamerkan tersebut. Dia bahkan meledek Kasad Jenderal Andika Perkasa yang akan menjadi sopirnya.
"Mau naik gimana? Biar yang nyetir Pak Andika," kata Jokowi yang disambut tawa sejumlah para pejabat yang hadir.
-
Siapa yang diusulkan Jokowi jadi Panglima TNI? Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengusulkan Jenderal TNI Agus Subiyanto sebagai calon Panglima TNI.
-
Siapa Ajudan Presiden Jokowi? Kapten Infanteri Mat Sony Misturi saat ini tengah menjabat sebagai ajudan Presiden Joko Widodo.
-
Siapa yang usulkan Jokowi jadi pemimpin? Usulan tersebut merupakan aspirasi dan pendapat dari sejumlah pihak.
-
Bagaimana proses pemilihan Panglima TNI? 'Nama nanti akan disampaikan Ibu Ketua DPR ya. Calon tunggal sesuai amanah UU,' imbuhnya.
-
Bagaimana Jokowi menilai transisi kepemimpinan? Dia mencontohkan, untuk RAPBN 2025, Prabowo sudah melakukan pertemuan beberapa kali dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. 'Hampir setiap minggu, hampir setiap hari bertemu untuk mempersiapkan. Artinya apa? Transisi kepemimpinan ini akan berjalan dengan lancar, insyaallah mulus, sehingga setelah dilantik, Presiden dan seluruh Kabinet langsung bisa bekerja dengan cepat melaksanakan program-program yang ada, tanpa ada jeda,' ucap Jokowi.
-
Siapa yang menilai Jokowi layak jadi Wantimpres? Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menilai, Presiden Joko Widodo (Jokowi) layak untuk menjadi bagian dari Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Video tersebut bahkan diedit hingga mengulang kalimat Jokowi yang menyebut nama Andika Perkasa. Sontak video tersebut pun dinarasikan sebagai sinyal Jokowi bakal menunjuk Andika sebagai Panglima TNI.
"Tanda-tanda?" kata seorang Politikus koalisi pemerintah mengirimkan video tersebut kepada merdeka.com.
Dalam momen tersebut, Jokowi didampingi Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menko Polhukam Mahfud MD. Turut hadir, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kasad, Jenderal Andika.
Potongan video tersebut, bersumber dari Youtube Sekretariat Presiden saat upacara peringatan HUT ke 76 TNI. Jokowi dan rombongan mengendarai mobil golf untuk melihat pameran Alutsista. Presiden kemudian turun dari mobil dan menunjuk salah satu Alutsista. Dia bertanya kepada Panglima TNI Hadi Tjahjanto.
"Jadi pengadaan pada renstra (rencana strategis) sampai tahun 2019," jelas Hadi kepada Jokowi dalam siaran YouTube Sekretariat Presiden.
"Berarti ini baru-baru semua?" kata Jokowi.
"Siap, ini yang baru dari renstra sampai tahun 2019," timpal Hadi.
Kasad Jenderal Andika pun ikut nimbrung dalam obrolan tersebut. Dia memamerkan milik TNI AD yang dianggapnya paling menonjol.
"Ini ada yang menonjol Pak, ini Angkatan Darat, kami punya 56 (kendaraan),” ucap Andika.
"56 Ini?" kata Jokowi kagum.
Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon pada awal September lalu blak-blakan meyakini bahwa Jenderal Andika yang bakal menjadi Panglima TNI. Namun, kini dia menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi.
Dia belum tahu kapan Jokowi bakal mengirim Surat Presiden berisi calon panglima TNI ke DPR. Dia pun kini menolak berkomentar banyak soal Panglima TNI.
"Ya kita enggak mengusulkan calon kita, kan pak presiden mungkin mengusulkan nama berdasarkan kriteria yg dia pilih. Kalau lihat dari pidato presiden hari ini di HUT TNI itu sih normatif saja sih ya," kata Effendi Simbolon saat dihubungi merdeka.com
Hadi Tjahjanto bakal memasuki masa pensiun pada 1 Desember 2021. Satu bulan jelang pensiun, Jokowi belum juga mengirimkan Surpres ke DPR.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut, pemerintah masih punya waktu cukup untuk mengirimkan calon Panglima TNI ke DPR. Istana menolak berkomentar siapa pilihan kuat dari Presiden.
Bahkan, seorang pejabat di lingkaran Presiden mengakui saat ini kondisinya masih sulit untuk ditebak. Menurut dia, ada sebuah tekanan yang dilakukan dari pihak yang mengaku sudah sangat percaya diri bakal dipilih Presiden Jokowi.
Sumber lain, dari seorang politikus di lingkaran kekuasaan mengakui, ada tekanan yang dilakukan oleh oknum. Tekanan tersebut berupa ikut cawe-cawe, dukung mendukung calon Panglima TNI. Padahal menurut dia, persoalan orang nomor satu di TNI adalah hak prerogatif presiden.
Dia mengatakan, tidak boleh ada TNI atau organisasi yang melakukan deklarasi dukung mendukung calon seperti zaman demokrasi RIS.
"Tahun 1950-an sempat TNI berantakan, karena UUD RIS itu memberikan kesempatan parpol mengusulkan. Beruntung ada Dekrit tahun 1959," jelas sumber ini yang juga berasal dari keluarga TNI.
Sumber lain dari seorang Politikus di Komisi Pertahanan DPR menilai, hingga kini nama calon Panglima TNI masih tertutup rapat dari Istana. Menurut dia, dinamika yang terjadi masih tinggi di Istana.
Istana menolak komentar tentang kabar adanya tekanan. Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menyerahkannya kepada Mensesneg Pratikno. Namun saat dihubungi, Pratikno tak membalas.
Sementara Staf Pratikno, Faldo Maldini juga menolak komentar. Menurut dia, persoalan Panglima TNI sudah dijawab oleh Pratikno yakni masih ada cukup waktu untuk memilih calon Panglima TNI terbaik.
Tidak membantah adanya tekanan kepada presiden, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi mengakui, baru periode kali ini seperti ada kompetisi dalam pemilihan calon Panglima TNI. Namun dia menilai, hal itu masih dalam batas wajar.
"Memang sepertinya baru kali ini seperti ada kontestasi dukung mendukung calon Panglima, tapi ini hanya dinamika saja, semua kepala staf (TNI) berpeluang menjadi Panglima TNI," kata Bobby.
Tapi dia melihat tekanan tidak berpengaruh terhadap Presiden Jokowi. Dari gesture yang selama ini dilihat Bobby, Jokowi tampak riang saja menghadapi dinamika yang terjadi.
Guru Besar Unpad Muradi meyakini, Jokowi telah mengantongi nama calon Panglima TNI. Dia memprediksi, Jokowi baru akan mengeluarkan siapa calon tersebut satu atau dua pekan menjelang Hadi Tjahjanto pensiun.
Muradi mengatakan, hal itu dilakukan sebagai tanda Jokowi nyaman bekerja dengan Hadi. Berbeda saat dengan Gatot Nurmantyo, yang diganti saat masih 9 bulan jelang pensiun.
"Presiden sudah punya nama. Hanya memang sekarang, lebih aman lebih nyaman, Pak Hadi juga merasa lebih dihargai maka diganti menjelang, saya prediksi sekitar 1-2 minggu sebelum pensiun baru ada penggantinya," tutur Muradi.
Perihal adanya tekanan dari sejumlah pihak, Muradi menilai wajar. Tapi, dia meyakini, Jokowi tak mungkin bisa ditekan oleh siapapun.
"Itu kan hak prerogatif, kalau bahasa gaulnya 'gimana gua’," jelas dia.
Panglima Baru di Menit Akhir
Guru Besar Unpad, Muradi menilai, Jokowi tidak lama atau sedang bingung dalam memilih calon Panglima TNI. Dia justru mendukung langkah Jokowi yang belum menunjuk calon panglima saat ini.
Dia mengatakan, Jokowi ingin memberikan apresiasi yang tinggi kepada Hadi Tjahjanto sehingga diganti jelang pensiun.
"Hari ini, kalau saya bilang sudah betul. presiden mengganti (dekat pensiun) karena bagian dari apresiasi beliau. Kalau beliau nggak nyaman pasti tidak begitu gayanya. Pasti diganti di tengah jalan," jelas Muradi.
Muradi merasa yakin, sejak bulan lalu Jokowi sudah tahu siapa Panglima TNI pengganti Hadi Tjahjanto. Dia melihat itu dari gaya Jokowi ketika ditanya perihal Panglima TNI.
"Beliau ringan, mbok ya sabar. Itu buat saya itu bentuk beliau merasa sudah cukup waktu dan firm siapa pengganti Pak Hadi," kata Muradi.
Senada, Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, merasa memang belum saatnya Jokowi mengirim Surpres calon Panglima TNI ke DPR. Terlebih, pada 7 Oktober kemarin, parlemen memasuki masa reses.
Oleh sebab itu, dia menilai, tidak ada alasan Jokowi mempercepat pergantian Panglima TNI. Sepanjang, Hadi Tjahjanto belum memasuki masa pensiun.
"Justru keliru menganggap presiden mengulur-ngulur waktu ya. Karena enggak ada juga yang bisa mendesak presiden untuk segera mengganti Panglima, presiden yang tahu kapan waktu terbaiknya diganti," kata Khairul.
Dia juga tak melihat ada faktor lain yang memberatkan Jokowi untuk memilih calon Panglima TNI pengganti Hadi. Dia menilai, seminggu jelang Hadi pensiun, Jokowi baru kirim nama ke DPR pun tidak masalah.
Khairul memprediksi, sebelum 30 November sudah ada Panglima TNI baru. Dengan demikian, ada serah terima jabatan antara Hadi Tjahjanto dan panglima TNI baru.
"Sehingga saat Pak Hadi pensiun sudah ganti Panglima baru sudah bekerja, karena enggak boleh ada kekosongan ya," katanya.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi pun menilai, belum ada urgensi untuk Jokowi melakukan pergantian Panglima TNI saat ini. Sehingga dia pun memprediksi, nama Panglima TNI baru akan muncul di menit akhir sebelum Hadi Tjahjanto pensiun. ”Mungkin Presiden melihat masih belum ada hal mendesak untuk melakukan pergantian, atau menunggu sesaat saja sebelum Pak Hadi pensiun,” tambah Bobby.
Gaya Presiden Memilih
Setiap presiden memiliki cara masing-masing dalam memilih calon Panglima TNI. Termasuk pada era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pengamat Militer Khairul Fahmi mengakui, pergantian panglima TNI era SBY lebih ‘adem’ ketimbang era Jokowi saat ini.
Dia bercerita, awal SBY menjabat sempat gaduh karena membatalkan calon Panglima TNI yang dipilih Megawati Soekarnoputri yakni Ryamizard Ryacudu. Saat itu, SBY lebih memilih Endriartono Sutarto menjadi Panglima TNI.
Setelah Hendriartono pensiun, Panglima TNI diserahkan ke angkatan udara, yakni Marsekal Djoko Suyanto. Proses tersebut, kata Khairul, tidak terjadi kegaduhan.
Selanjutnya dari Djoko Suyanto kembali ke TNI AD yakni Jenderal Djoko Santoso. Itu pun, kata dia, tidak terjadi kegaduhan. Termasuk saat memilih Laksamana Agus Suhartono sebagai Panglima TNI.
"Itu enggak ada kegaduhan, enggak ada berisik kaya sekarang lah," kata dia.
"Semua relatif tanpa gaduh, kecuali diawali itu, awal Pak Ryamizard batal, jadi Endriartono. Itu saja yang rawan gaduh, setelah itu relatif smooth-lah," tambah dia.
Mantan Menkum HAM era SBY, Amir Syamsuddin juga mengakui, era pemerintahan SBY tak pernah gaduh dalam proses pemilihan Panglima TNI. Sebagai orang dekat SBY, dia mengikuti betul proses tersebut.
Amir mengatakan, pemilihan Panglima TNI dulu dianggap kewenangan absolut Presiden. Namun sekarang, dia melihat, adanya politisasi yang membuat kesan menjadi heboh.
"Saya tidak mengerti kenapa harus demikian. Itu kan presiden yang punya hak prerogatif untuk menentukan siapa pembantu yang diinginkannya," kata Amir.
Amir menilai, dulu publik juga tidak terlalu banyak mencampuri urusan Panglima TNI. Apalagi, saat ini kecenderungannya seperti terjadi politisasi sehingga seakan-akan ada kontes calong Panglima TNI.
Padahal itu sebetulnya, kata dia, kewenangan mutlak Presiden Jokowi untuk menentukan. Walaupun posisi panglima TNI adalah jabatan strategis, kata dia, pemerintahan SBY tidak pernah dikesankan terjadi politisasi di dalam situasi seperti ini.
"Yang seakan-akan itu semacam intervensi daripada hak prerogatif presiden sendiri," kata Amir.
Amir mengatakan, proses pemilihan Panglima TNI era SBY berjalan tanpa keributan. Salah satunya, karena jabatan orang nomor satu TNI itu dilakukan secara bergilir dari setiap matra, baik darat, laut dan udara.
"Ya. Berjalan begitu saja tanpa keramaian, tanpa keributan, tanpa kehebohan," katanya.
Namun Amir pun meyakini, Presiden Jokowi sangat memahami hak prerogatifnya untuk memilih Panglima TNI. Sehingga yang membuat gaduh di publik saat ini hanya karena komentar orang luar yang justru tidak memiliki kewenangan.
Sementara itu, Guru Besar Unpad Muradi menceritakan, kalau zaman Soeharto selalu hampir pasti yang jadi panglima kalau tidak orang dekat adalah ajudan presiden. Menurut dia, pemilihan Panglima TNI era orde baru itu ada tiga gaya. Sumbernya dari ajudan presiden. Kedua orang terdekatnya presiden karena sebagian besar (panglima) pernah bareng presiden seperti Pangabean dan M. Jusuf.
Ketiga, orang yang dianggap punya kontribusi terkait kepemimpinan presiden. Misalnya LB. Moerdani, Tri Sutrisno. “Kalau Wiranto kan ajudan beliau (Soeharto). Jadi itu memang style orde baru,” katanya.
Setelah Orde Baru, ada tambahan gaya memilih Panglima TNI. Misalnya, dia sudah punya hubungan lama dengan presiden. Misalnya Hadi Tjahjanto yang punya hubungan kenal lama dengan Presiden Jokowi.
Jadi, kata Muradi, bukan cuma dari ajudan. Ada alih sumber dari pola hubungan lama. Kedua sumber ADC. Walaupun belum ada sekarang, kata dia, tapi pelan-pelan mengarah ke sana. Misalnya Andika Perkasa salah satu yang dianggap sumber ADC. Pernah jadi Danpasmpes.
Ketiga berkaitan dengan visi politik. Untuk menegaskan posisi dari calon Panglima ini apakah nyambung atau tidak. Kemudian soal kenyamanan.
“Kenyamanan presiden menjadi salah satu pertimbangan pemilihan panglima,” jelas dia.
Kalau zaman Soeharto, kata dia, nyaman atau tidak presiden tetap memilihnya. Kalau misalnya tidak suka, langsung dicopot. Contoh, LB Moerdani bermanuver langsung diganti.
“Makanya bisa jadi peluang panglima tidak serta merta berdasarkan urut kacang atau bergiliran. Bisa kembali lagi ke pola lama,” katanya.
Sementara era SBY, kata Muradi, karena dari militer, sehingga paham betul soal jabatan tertinggi tersebut. SBY tidak ingin kemudian disalahkan dengan berbagai hal. Makanya, katanya, dia merasa penting buat memberikan kesempatan ke semua matra.
“Kenapa dia begitu karena dia merasakan. Karena dia tentara,” tutur Muradi.
Lulusan terbaik TNI alias Adhymakayasa juga kerap menjadi pertimbangan dalam memilih Panglima TNI. Namun, kata Muradi, tidak selalu demikian.
Sebab, tidak semua penerima Adhymakayasa kariernya baik di kesatuan. Ada yang kariernya biasa-biasa saja.
“Itu salah satu sumber (pertimbangan) saja,” ujar dia.
Tapi kalau zaman Soeharto dia menganggap lebih keras dalam pemilihan Panglima TNI. Sumber Adhymakayasa dia tegaskan benar. Walaupun konteksnya kemudian kalah dengan pertimbangan kenyamanan Presiden dan loyalitas.
“Makanya kemudian model kayak M. Jusuf, Pak Tri, Pak Wiranto kan dipilih bukan karena semata-mata dia Adhymakayasa. Tapi karena kedekatan, karena loyal, bisa kemudian dianggap mewakili entitas masing-masing matra,” terang dia.
Tim Penulis: Intan Umbari Prihatin, Ronald Chaniago, Wilfridus Setu Embu, Randy Firdaus
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Reaksi Dingin Puan Ditanya Isu Manuver Jokowi Rebut Kursi Ketum PDIP
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi meminta hal tersebut ditanya ke pemimpin selanjutnya.
Baca SelengkapnyaDia menyebut, adanya hubungan tersebut membuat persepsi publik buruk terhadap Presiden Jokowi.
Baca SelengkapnyaJokowi beralasan, fokusnya bekerja saat ini juga dilandasi kekhawatiran situasi global yang tidak menentu.
Baca SelengkapnyaTingginya approval rating tersebut pun membuat rebutan capres.
Baca SelengkapnyaDia tak terkejut jika Presiden Jokowi menginginkan posisi sebagai ketua umum PDIP.
Baca SelengkapnyaHasto menilai, pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden merupakan politik ketidakpatuhan terhadap konstitusi dan rakyat.
Baca SelengkapnyaGrace menyampaikan bahwa PSI masih menjalin komunikasi dengan calon presiden 2024
Baca SelengkapnyaKoordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana meluruskan kabar tersebut.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi menanggapi santai kabar ingin merebut kursi Ketua Umum PDIP, yang masih diemban Megawati Soekarnoputri
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto merespons pernyataan Presiden Jokowi soal pemimpin negara boleh memihak kepada paslon tertentu
Baca Selengkapnya