Timbul Tenggelam Pasal Penghinaan Presiden
Merdeka.com - Sambil melipatkan kedua tangan di atas dada, tatapan Prof Muladi tajam ke depan. Di samping kirinya sedang berbicara Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kepada banyak media massa. Dua orang itu raut mukanya kencang. Mereka membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang beberapa jam sebelumnya diminta Presiden Joko Widodo untuk ditunda.
Salah satu pasal dirasa krusial untuk bahas pada Jumat, 20 September 2019 itu terkait pasal 218 tentang penghinaan presiden. Yasonna menegaskan bahwa dengan aturan itu masyarakat bisa lebih menjaga martabat kepala negara dan wakilnya.
Dalam penerapannya itu, kata dia, merupakan delik aduan. Sehingga hanya presiden dan wakil presiden yang bisa melaporkan bila merasa secara personal diri mereka direndahkan. Deras penolakan dihidupkannya kembali pasal ini lantaran dianggap merusak demokrasi Indonesia. Tetapi, Yasonna merasa penolakan menjadikan publik publik lebih ingin bertahan memakai hukum rancangan zaman Belanda.
-
Kenapa Jokowi dikritik? Khususnya terhadap keluarga Jokowi yang ikut dalam kontestasi politik baik Pilpres maupun pilkada.
-
Siapa yang mengkritik Jokowi? Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mengkritik kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
-
Mengapa Jokowi digugat? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Apa gugatan yang dilayangkan ke Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang menggugat Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
-
Apa isu yang diangkat Prabowo untuk menyerang Jokowi? Prabowo 'menyerang' Jokowi dengan isu penegakan hukum di era Jokowi pertama belum adil.
"Kita seolah-olah lebih tunduk pada hukum Belanda," ungkap Yasonna di kantornya.
Tampak kekecewaan Mulyadi dalam penundaan ini. Sebagai ketua tim perumus revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan orang yang sudah 35 tahun memperjuangkannya, rasanya kekecewaan itu terlihat jelas. Dia merasa banyak kecaman dan penolakan dilakukan publik tidak didasari pemahaman kuat.
Infografik draf revisi KUHP ©2019 Merdeka.comSenada dengan Yasonna, mantan Gubernur Lemhannas itu menyebut bahwa upaya dilakukan selama ini untuk melakukan rekodifikasi total untuk membongkar pengaruh hukum Belanda selama 100 tahun lebih. Bukan hanya untuk pasal penghinaan presiden, termasuk aturan lainnya.
Opsi menunda dilakukan Presiden Jokowi dirasa Muladi sudah sesuai. Lantaran bukan untuk menolak sehingga menggagalkan upaya mengubah aturan zaman kolonial. "Kalau gagal berarti tuh kita cinta pada penjajahan," ucap Muladi.
Dalam draf revisi KUHP, aturan penghinaan presiden tercantum dalam Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 mengatakan setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun atau denda Rp150 juta.
Untuk Pasal 219 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di depan publik, terancam hukuman paling lama 4,5 tahun atau denda paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta.
Pada Pasal 220 menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari presiden atau wakil presiden.
Perjalanan pasal penghinaan terhadap kepala negara sudah panjang perjalanannya. Sejak 1946, muncul Pasal 134, 136bis dan 137 KUHP. Itu berisi tentang larangan menghina presiden. Aturan ini merupakan warisan bangsa kolonial.
Dalam Pasal 134, penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap presiden atau wakil presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Itu diperkuat dengan Pasal 136 bis, yang menyebut hal itu dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum. Kemudian bagi profesi juga dikenakan pemidanaan tambahan sesuai aturan Pasa 137.
Beruntung pasal itu tidak ada lagi. Pada tahun 2006, semua pasal itu dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dan putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007. Alasannya, dalam rangka menegasikan prinsip persamaan di depan hukum, mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan akan informasi dan prinsip kepastian hukum.
Upaya mendorong agar pasal penghinaan presiden dihapus sebenarnya juga banyak berasal dari pakar hukum. Mereka merasa upaya memunculkan aturan itu lagi dianggap terlalu responsif. Justru dengan hadirnya pasal itu makan pemerintah dicap masih tunduk dengan aturan hukum buatan Belanda.
"Pasal-pasal tersebut dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan bertentangan dengan putusan MK," kata Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Jakarta, Suparji Ahmad di Jakarta.
Penafsiran terhadap pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, kata dia, dikhawatirkan melahirkan banyak interpretasi. Termasuk bisa menjerat kebebasan pers.
Dengan pasal dalam draf revisi itu, dikhawatirkan juga mudah mempidanakan orang padahal Presiden adalah pejabat publik dan seharusnya sebagai pejabat sangat wajar kalau dikritik. "Itu salah satu nuansa yang muncul dalam berbagai diskusi, apalagi kalau sekarang ditunda pengesahannya maka pasal-pasal itu dihapuskan saja," ujar dia.
Infografik Pasal Penghinaan Presiden ©2019 Merdeka.comSebelum tiga Pasal penghinaan presiden dicabut MK, sudah banyak korban akibat aturan itu. Termasuk pada pelaku pers. Seperti dialami Supratman di tahun 2003. Dia Terjerat pasal 134 juncto pasal 65 Ayat 1 dan pasal 137 Ayat 1 dengan hukuman 6 bulan penjara karena menulis berita dengan judul 'Mulut Mega Bau Solar' di Harian Rakyat Merdeka
Kemudian di era Presiden Megawati ada beberapa masyarakat lagi dikenakan pasal penghinaan. Pada tahun 2002, misalnya Muzakir alias Aceh dan Nanang Mamija. Mereka Terjerat pasal 143 dan 147 karena menginjak gambar Presiden Megawati Soekarno Putri dan Wakil Presiden Hamzah Haz.
Kemudian pada tahun 2005, M Iqbal Siregar selaku Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI) mendapat hukuman 5 bulan penjara karena melakukan orasi saat demonstrasi di Istana Merdeka.
Sikap serupa juga pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Adapun I Wayan Gendo Suardana pada 2005 menjadi korban. Gendo terjerat pasal 134 KUHP jo pasal 136 dengan hukuman 6 bulan setalah membakar foto SBY dalam aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM
Selanjutnya ada Monang J Tambunan, Presidium Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia. Di tahun yang sama dia terjerat pasal 310 KUHP dengan pidana penjara selama 6 bulan lantaran menghina Presiden SBY dengan sengaja di depan umum pada Mei 2005.
Sedangkan pada era Jokowi banyak masyarakat justru dikenakan Undang-Undang ITE. Banyak pelaku melakukan penghinaan kepada sosoknya melalui gambar yang dirasa menghina kepala negara.
Pada kepemimpinan Jokowi juga, Dalam draf revisi KUHP terhitung tanggal 28 Agustus 2019 memunculkan kembali pidana penghinaan presiden pada pasal 218-220 dengan ancaman pidana 4,5 tahun. Jeratan hukum ini diduga akan sama dilakukan untuk masyarakat yang melakukan penghinaan saat melakukan aksi demonstrasi di muka umum.
Yasonna Laoly memastikan bahwa rencana munculnya pasal penghinaan presiden tidak akan membatasi hak berekspresi masyarakat. Sebab, dalam pandangannya itu bisa dipidanakan bila mereka menyerang pribadi presiden atau wakil presiden. Sedangkan yang mengkritisi kebijakannya tentu tidak dapat dipidanakan.
Adapun penghinaan itu termasuk melalui surat, memfitnah dan menghina dengan tujuan memfitnah. Menurut politikus PDIP itu, penghinaan merupakan perbuatan tercela dari segi apapun. Sehingga delik pada pasal tersebut merupakan delik aduan.
Yasonna menganalogikan, bila seorang Menkum HAM dikritisi terkait kebijakannya karena merupakan pejabat publik. Maka dirinya akan menerima segala ucapan itu. "Tapi kalau kamu bilang saya anak haram jadah kukejar kau sampai ke liang lahat. Itu bedanya antara harkat martabat dengan kritik apa ya itu satu," tegas dia sambil mengernyitkan dahi.
Dalam permintaan pembahasan penundaan revisi KUHP, Jokowi meminta tidak dilakukan DPR pada periode ini. Justru dibahas kembali pada periode selanjutnya yang akan dilantik pada 1 Oktober nanti.
"Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya," ujar Jokowi di Istana Bogor, Jumat pekan lalu.
Ada 14 pasal bagi pemerintah yang menjadikan alasan untuk dilakukan pengkajian ulang. Jokowi sudah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk meminta masukan dari berbagai kalangan terkait kondisi ini.
(mdk/ang)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Revisi UU Penyiaran tidak boleh mengganggu kemerdekaan pers.
Baca SelengkapnyaTernyata, ngomongin bos lewat media sosial adalah tindakan yang melanggar hukum, begini penjelasannya dari pengacara terkenal.
Baca SelengkapnyaDraf RUU Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran menuai beragam polemik.
Baca SelengkapnyaAnggota Dewan Pers Yadi Hendriana menyebut, ada perbedaan mendasar antara KPI dengan Dewan Pers
Baca SelengkapnyaAncaman pidana itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu)
Baca SelengkapnyaPDIP menyatakan Revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia akan berdampak pada kebebasan publik.
Baca SelengkapnyaRUU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform teresterial versus jurnalism platform digital.
Baca SelengkapnyaBeberapa Pasal dikabarkan tumpang tindih hingga membatasi kewenangan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa jurnalistik.
Baca SelengkapnyaSejumlah pasal dalam RUU Penyiaran berpotensi menjadi pasal karet
Baca SelengkapnyaMenurutnya, pemakzulan dapat terjadi jika presiden melanggar konstitusi.
Baca SelengkapnyaPeneliti sekaligus Koordinator Klaster Riset Konflik Pertahanan dan Keamanan BRIN Muhamad Haripin menyebut Jokowi terindikasi menyalahgunakan kekuasaan.
Baca SelengkapnyaRevisi UU Penyiaran: Sengketa Produk Jurnalistik Tidak Lagi Melalui Dewan Pers
Baca Selengkapnya