Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tugas Sulit Petugas Coklit

Tugas Sulit Petugas Coklit dpt kelurahan menteng. ©2018 Merdeka.com/Imam Buhori

Merdeka.com - Waktu menunjukkan jam 8 pagi. Tjun Hay sudah bersiap. Memakai pakaian rapi bersiap melaksanakan tugas Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Sebuah pin bertuliskan 'Petugas PPDP' tersemat di dada kiri. Membawa tas berisi sejumlah berkas. Berjalan dari rumah ke rumah.

Meski usianya tak lagi muda, lelaki 57 tahun itu tak kenal lelah. Dia datangi rumah warga satu per satu. Melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) warga RT 1, 2 dan 3 di RW 6, Kelurahan Sukajadi, Karawaci, Kota Tangerang, Banten.

Menjadi petugas PPDP atau dikenal dengan petugas coklit bukan hal baru bagi Tjun. Sejak tahun 2008, Tjun selalu ikut dalam seleksi petugas coklit. Pertama kali dia melakukan sensus Pemilu menjelang Pileg dan Pilpres tahun 2009. Tahun 2013, dia kembali jadi petugas coklit untuk Pemilu tahun 2014. Terakhir dia kembali jadi petugas coklit tahun 2017 dalam rangka Pilgub Banten.

Meski sudah sering jadi petugas coklit, Tjun tak pernah melewatkan sesi pengarahan digelar Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat kelurahan. Penataran selama dua hari ini wajib diikuti semua petugas coklit sebelum terjun ke lapangan. Banyak hal dibahas. Bukan hanya pengisian data, tetapi hal teknis agar diterima warga saat bertugas.

Setelah mendapatkan pengarahan, petugas coklit dibekali data Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4). Data ini berasal dari Kementerian Dalam Negeri diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Berupa data penduduk terdata. Oleh KPU data ini disaring berdasarkan kriteria pemilih. Proses seleksi data inilah bakal dicoklit petugas PPDP untuk melahirkan jumlah pemilih tetap pemilu setelah melewati serangkaian proses.

Dari rumah ke rumah, Tjun akan mencocokkan dan meneliti untuk membandingkan data DP4 dengan temuannya di lapangan. Tjun akan meminta warga menunjukkan kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP). Dari situ dia akan mencocokkan dengan form dimiliki. Ada dua kategori data dari DP4 setelah melakukan pencocokan. Data memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat.

Data memenuhi syarat yakni memenuhi syarat sebagai pemilih, pemilih tinggal dan akan memilih di tempat tersebut dan pernyataan keluarga jika yang bersangkutan tinggal bila tidak bertemu saat proses pencoklitan. Sementara data tidak memenuhi syarat yakni, pemilih meninggal, ber-KTP ganda, di bawah umur 17 tahun saat pemilihan, pindah tempat tinggal dan tidak dikenal.

Tahapan ini tidak mudah dijalani. Tjun memang hanya mencoklit hampir 300 pemilih. Namun, ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Setidaknya dia menyelesaikan ini selama 20 hari kerja dari 1 bulan tenggat waktu diberikan. Setiap rumah didatangi, tak lantas bisa dilakukan pencoklitan.

Ada saja hal membuat dia harus bolak-balik ke rumah yang sama. Mulai dari rumahnya kosong, orang dicari tidak ada, dan sebagainya. Tjun bahkan harus sampai 3-4 kali datang agar bisa bertemu dengan tuan rumah.

Selain itu, dia juga kerap mendapati rumah warga dengan KK lebih dari satu. Ini cukup menguras tenaga, karena harus menunggu atau kembali lagi di lain waktu untuk bisa menemui orang yang dimaksud.

"Jadi petugas coklit enggak susah, cuma harus sabar," ungkap Tjun saat ditemui merdeka.com pekan lalu.

Tjun terbilang beruntung. Dia tak pernah mendapatkan penolakan dari warga saat bertugas. KPU sempat menyebut petugas coklit di daerah lain sering mendapatkan penolakan dari warga. Misalnya tak sudi membukakan pintu hingga proses pencoklitan menggunakan ember. Data diminta diberikan penghuni rumah lewat ember bertali. Bahkan ada petugas diusir warga karena menolak didata.

Sementara Tjun kerap mendapati warga pindah tak lapor. Sehingga dia harus berkali-kali datang ke tempat yang sama dengan hasil yang nihil. "Yang susah itu kalau ada warga pindah tanpa jejak," kata Tjun.

Sebab kata Tjun, dia tidak tahu harus mengonfirmasi kepada siapa jika warga yang dimaksud juga tidak melaporkan kepindahannya kepada aparat setempat. Misalnya RT, RW atau kelurahan setempat.

Tjun merasa tidak ada halangan berarti selama dia menjalankan tugasnya. Sebab, sebagai wakil ketua RW, dia memang terbiasa berhubungan dengan warga. Apalagi setiap bulannya dia rutin menarik iuran untuk sampah warga. Kerja sebagai petugas coklit pun tidak membebaninya.

Selain itu, dia juga sudah mengetahui rutinitas warganya. Tidak selalu pagi dia berkeliling. Sore hingga malam, Tjun akan kembali keliling. Menemui warga selepas jam kerja. Di akhir pekan, barulah keliling sejak pagi hari.

Setelah melakukan pendataan, Tjun akan menempelkan stiker di tiap pintu rumah. Sebagai tanda rumah tersebut telah dicoklit. Ini juga mempermudah kerja panwas untuk mengawasi kerja petugas coklit. Sebab, petugas coklit melakukan tugasnya sendiri tanpa didampingi panwas.

"Saya kerja sendiri, kalau panwas ngecek aja. Paling nanti dia tanya kenapa wilayah ini tidak ada stikernya. Saya tinggal bilang belum sampai sana," kata Tjun mencontohkan.

Jumlah panwas tiap kelurahan saat masa persiapan terbatas. Maka fungsi pengawasan biasanya dilakukan secara koordinatif. Ada panwas yang ikut serta dalam proses pencoklitan. Ada pula panwas dan petugas coklit yang melakukan tugasnya sendiri-sendiri.

Usai melakukan pendataan, Tjun akan membuat rekapan perubahan atas DP4 yang diterima. Mulai dari jumlah pemilih yang sudah dicoklit. Adanya penambahan atau pengurangan jumlah pemilih dalam tiap KK. Jumlahnya dipastikan tidak sama dengan data DP4. Sebab ada faktor pergerakan penduduk data dan pergi atau penduduk yang meninggal dunia.

Data itu selanjutnya diserahkan kepada Panitia Pemungutan Suara (PPS) kelurahan untuk selanjutnya diolah dan diplenokan. Tugas Tjun sebagai petugas coklit selesai sampai di sini.

Setelah pendataan, PPS menggelar rapat pleno. Pleno ini dihadiri oleh para perwakilan partai politik, tim sukses caleg atau capres-cawapres. Mereka yang jadi perwakilan harus mengantongi surat tugas dari masing-masing lembaga.

Para peserta rapat pleno diberi kesempatan untuk memberikan masukan dan berhak mendapatkan salinan data yang dimiliki PPS. Hasil dari rapat pleno kemudian akan dibawa ke PPK di tingkat kecamatan. Begitu seterusnya hingga diplenokan oleh KPU RI.

Ketua PPS Kelurahan Sukajadi, Rodi mengatakan, coklit terakhir kali dilakukan tahun 2017 menjelang Pilgub Banten. Setelah itu pihaknya hanya melakukan pembaruan data berdasarkan data perpindahan penduduk, bekerja sama dengan kelurahan setempat.

Hal sama juga pernah dilakukan saat pemilihan wali kota tahun 2018 lalu. Petugas tidak lagi melakukan coklit. Hanya memperbarui data yang pemilu sebelumnya. Cara ini memang diperbolehkan dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pasal 12 huruf f. Yakni, memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih.

"Pemilu yang sekarang kita tidak lagi mencoklit, kita pakai data pilkot (pemilihan wali kota) tahun kemarin," kata Rodi.

Belakangan Rodi kembali dipusingkan dengan penambahan data baru dari dinas kependudukan dan catatan sipil. Penambahan ini setelah adanya kabar 31 juta pemilih yang sudah merekam e-KTP tetapi belum terdaftar di DPT. Akibatnya, semula jumlah DPT di Kelurahan Sukajadi sekitar 5 ribuan, bertambah hingga 1.700an pemilih. Sehingga jumlah pemilih terdaftar di DPT menjadi 6.286 pemilih.

Saat dilakukan pengecekan ulang, penambahan jumlah tersebut adalah warga yang namanya sempat dicoret selama proses pencoklitan. Pihaknya pun tidak berani mencoret nama pemilih tersebut. Sebab itu melanggar pasal 510 Bab II UU Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu. Aturan itu menyebut bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.

Dari jumlah tersebut dia memprediksi akan banyak surat suara yang tidak terpakai. Sebab dalam satu TPS biasanya kerap menyisakan surat suara tak terpakai lantaran warga yang tidak datang ke TPS dengan berbagai alasan.

"Skenario terburuknya akan banyak surat suara yang tidak terpakai saat pemungutan suara. Tapi kita tidak berharap itu bakal terjadi," kata Rodi.

KPU Harus Berani

Setidaknya ada tiga kali perubahan jumlah pemilih selama proses penetapan DPT di Pemilu 2019. Sebelum pleno penetapan DPT pertama pada 5 September 2018, Kemendagri menyerahkan 196 juta pemilih potensial dari 265 juta penduduk Indonesia. Data pemilih potensial merupakan penduduk dianggap memenuhi syarat sebagai pemilih saat pemilu.

Dari data itu, KPU melakukan pemutakhiran. Hasilnya KPU mengumumkan jumlah DPT Pemilu 2019 sebanyak 187.781.884 pada 5 September 2018. Terdiri dari 185.732.093 pemilih dalam negeri dan 2.049.791 pemilih luar negeri. Lantas KPU memberikan waktu selama 10 hari untuk perbaikan.

Selama waktu itu, ada temuan 25 juta DPT ganda dari 137 juta pemilih oleh Kubu pasangan capres dan cawapres nomor urut 02, Prabowo-Sandi. Bahkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendapati 2 juta pemilih ganda. Sementara KPU meyakini jumlah DPT ganda tidak lebih dari 2 persen.

Tanggal 16 September 2018, KPU menetapkan DPT Hasil Pemutakhiran I. Jumlah DPT berkurang sebanyak 671 ribu sehingga menjadi 187.109.973 pemilih. Terdiri dari 185.084.629 pemilih dalam negeri dan 2.025.344 pemilih luar negeri. Proses perbaikan dilanjutkan selama 60 hari.

Selama 60 hari itu, lahir isu DPT siluman. Ini berangkat dari data Dukcapil yang menyebut 31 juta penduduk telah merekam e-KTP, namun tidak terdaftar di DPT. Penetapan DPT Hasil Pemutakhiran 2 pun kembali ditunda selama 1 bulan. Barulah pada 15 Desember KPU menetapkan DPTHP 2. Hasilnya ada sebanyak 192.838.520 pemilih yang terdaftar dalam DPTHP 2. Terdiri dari 190.770.329 pemilih dalam negeri dan 2.058.191 pemilih luar negeri.

Founder Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, menilai data milik KPU lebih mutakhir dibandingkan data milik pemerintah. Sebab data aparat pemerintah di tingkatan terbawah tidak akan menghapus data orang meninggal, pindah atau datang tanpa laporan resmi. Juga dilengkapi sejumlah berkas.

"Pemerintah itu tidak mencoret data orang yang meninggal misalnya tapi sama keluarga belum sempat dilaporkan secara resmi ke pemerintah," kata Hadar.

Sementara itu, kata dia, KPU diminta untuk berani untuk langsung melakukan pembaruan data meski hanya secara lisan. Lewat petugas coklit atau PPDP. Hadar mengingatkan agar petugas tidak ragu mencoret nama pemilih yang memang tidak diketahui keberadaannya.

"Jadi petugas KPU itu jangan ragu. Kalau memang orangnya sudah tidak ada ya harus dicoret saja. Kalau orangnya ada lalu dicoret, itu yang tidak boleh," ujar Hadar menerangkan.

(mdk/ang)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Telepon Berdering Setiap Saat hingga Sering Pulang Lewat Tengah Malam, Mertua Cawapres Ini Bingung Apa Profesi Menantunya
Telepon Berdering Setiap Saat hingga Sering Pulang Lewat Tengah Malam, Mertua Cawapres Ini Bingung Apa Profesi Menantunya

Pada awal menikah, cawapres ini tinggal di rumah mertua. Setiap lima menit sekali telepon rumah berdering, mertua ini bingung apa profesi menantunya.

Baca Selengkapnya
Pernah Dibersihkan, Begini Kondisi Terbaru Rumah Tiko dan Bu Eny yang Kini Kembali Dipenuhi Semak Belukar
Pernah Dibersihkan, Begini Kondisi Terbaru Rumah Tiko dan Bu Eny yang Kini Kembali Dipenuhi Semak Belukar

Lama tak terdengar kabarnya, kondisi terbaru rumah Tiko anak Bu Eny yang dulu sempat terbengkalai kembali viral.

Baca Selengkapnya
Pernah Nggak Punya Kompor Sampai Nebeng di Kantin, Ini  8 Potret Winda Khair Kisahkan Perjuangan Dampingi Suami
Pernah Nggak Punya Kompor Sampai Nebeng di Kantin, Ini 8 Potret Winda Khair Kisahkan Perjuangan Dampingi Suami

Winda Khair memang sudah tidak aktif lagi bermain FTV. Namun sosoknya masih dikenang oleh banyak fans di Indonesia.

Baca Selengkapnya