'Anak muda mungkin bilang Pak Harto lebay di film G 30 S/PKI'
Merdeka.com - Pengajar Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM Yogyakarta Budiawan PhD menilai film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" (1984) yang disutradarai Arifin C Noer memang terlalu berlebihan dalam menonjolkan peran Soeharto (almarhum mantan presiden yang akrab disapa Pak Harto).
"Kalau anak muda sekarang mungkin bilang Pak Harto terlalu 'lebay' dalam film itu, karena film yang berdurasi 4 jam 31 menit itu berdimensi tunggal dengan sajian kalah dan menang, sehingga Mbak Nani (Nani Sutojo) menyebut sebagai kenangan tak terucap. Dalam psikologi, kenangan tak terucap itu merupakan trauma," tukas Budiawan dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" karya putri almarhum Mayjen Anumerta Sutojo yang terbunuh dalam Tragedi 1965, Dr Nani Nurrachman Sutojo.
-
Bagaimana Soeharto menyingkirkan jenderal? Di era Orde Baru, 'Didubeskan' atau dikirim menjadi Duta Besar adalah cara Soeharto menyingkirkan para jenderal di sekelilingnya yang dianggap tidak lagi sejalan atau bisa menjadi saingan.
-
Kenapa Soeharto diangkat jadi Jenderal Besar? Mabes ABRI tahun 1997 menyebutkan setidaknya ada tiga prestasi Soeharto yang membuatnya dinilai layak untuk mendapatkan gelar Jenderal Besar.
-
Siapa yang ingin membunuh Soeharto? Seorang Wanita Yang Mengaku Saudara Datang ke Rumah Soeharto
-
Kenapa pasukan penculik menculik jenderal? Hal ini dilakukan karena di rumah Nasution dan Yani terdapat pasukan pengawal. Sementara di rumah-rumah jenderal lain, tidak ada pengawal.
-
Siapa yang membela Soebandrio dalam peristiwa G30S? Pada 1966, Tham Hiem membela Soebandrio, Menlu Kabinet Juanda.Soebandrio saat itu dituduh terlibat dalam peristiwa G30S.
-
Siapa yang memimpin penculikan para jenderal? Doel Arif mendapat tugas menculik para Jenderal Angkatan Darat di malam kelam itu. Doel Arif menjadi Komandan Pasukan Pasopati dalam Gerakan 30 September.
Menurut sejarawan itu, penguasa sering mewujudkan sejarah dalam bentuk monumen, museum, film, buku teks, upacara peringatan, dan bentuk-bentuk yang tidak memberi tempat kepada pengalaman dari korban dan pelaku yang sebenarnya.
"Saya sepakat perlunya rekonsiliasi, tapi rekonsilisasi itu memerlukan upaya mendengar dan mengakomodasi pengakuan dari korban dan pelaku yang sebenarnya, sehingga sejarah tidak dibaca secara politis, melainkan membaca sejarah secara humanis," katanya dikutip antara.
Pandangan yang sama juga dikemukakan pengajar Fakultas Psikologi Ubaya Dr Elly Yuliandari Psi. "Saya kira buku ini wajib dibaca oleh pelajar, mahasiswa, dan bangsa ini, karena Bu Nani menyikapi trauma dengan dua cara yakni memaafkan tanpa melupakan dan menyosialisasikan perlunya rekonsiliasi. Itu luar biasa," paparnya.
Sementara itu, Nani Nurrachman Sutojo menegaskan bahwa tragedi penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan enam jenderal yang dipimpin Komandan Batalyon Cakrabhirawa merupakan fakta sejarah yang bersifat sepihak.
"Kita perlu dan butuh untuk menyajikan kembali masa lalu sebagaimana sejatinya dialami oleh para korban dan pelaku, dan bukan berdasarkan persepsi dan evaluasi sepihak, siapapun pihak tersebut," katanya dalam bedah buku karyanya di Gedung Serbaguna Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya), Jumat.
Dalam bedah memoar bertajuk "Kenangan Tak Terucap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965" yang juga menampilkan Budiawan PhD (sejarawan, pengajar Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM Yogyakarta) dan Dr Elly Yuliandari Psi (pengajar Fakultas Psikologi Ubaya), ia mengatakan penyajian masalah lalu perlu narasi secara intelektual.
"Narasi ulang sejarah sejak Tragedi 1965 hingga kini yang ditulis tidak dengan emosional itu harus merupakan jawaban atas pertanyaan yang hingga kini masih menggema dalam pikiran saya, yakni dalam bentuk apa masa lampau akan kita serahterimakan kepada masa depan?" tuturnya.
Penulis memoar yang juga pengajar Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta itu menunjuk kemampuan pemimpin bangsa ini yang mampu menjadi mediator dalam memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi pada bangsa lain, bahkan dapat berdamai dengan "tetangga" Timor Leste, tetapi tak kunjung selesai dengan Tragedi 1965.
"Setiap usaha untuk mengkonstruksi kebenaran tunggal mengenai sejarah akan menyebabkan kita terjerembab dalam permainan klaim kekuasaan yang memosisikan sebagai 'pemenang' dan pihak lain sebagai pihak yang 'kalah'. Dikotomi yang justru mengaburkan sejarah itu sendiri," ujarnya.
Dalam bukunya itu, Nani Sutojo bukan hanya menyinggung tentang sejarah masa lalu yang perlu "diluruskan" dengan narasi baru, tetapi juga menawarkan penyembuhan bagi luka dan trauma dalam sejarah bangsa ini dengan "memaafkan tanpa melupakan" sebagai upaya rekonsiliasi, karena manusia tidak bisa hidup tanpa adanya manusia lain. (mdk/ded)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
1 Oktober 1965, pukul 03.00 WIB, belasan truk dan bus meninggalkan Lubang Buaya. Mereka meluncur ke Pusat Kota Jakarta untuk menculik tujuh Jenderal TNI.
Baca SelengkapnyaBrigjen Soepardjo adalah tentara paling tinggi yang terlibat langsung penculikan para jenderal saat G30S/PKi.
Baca SelengkapnyaBoengkoes merupakan anggota Tjakrabirawa yang pangkatnya terus naik dari prajurit dua hingga menjadi sersan mayor.
Baca SelengkapnyaSimak foto langka suasana di Jakarta usai tragedi G30S. Banyak tank berkeliaran memburu anggota PKI.
Baca SelengkapnyaSejumlah tokoh militer senior dan sipil kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Soeharto yang menyeret ABRI sebagai alat kekuasaan.
Baca SelengkapnyaDoel Arif adalah komandan Pasopati dalam G30S/PKI. Perintah tangkap hidup atau mati datang darinya.
Baca SelengkapnyaSoekarno yang mendengar isu Dewan Jenderal ini lantas berniat untuk menghadirkan para jenderal ke Istana.
Baca SelengkapnyaHanya ada tiga jenderal besar dalam sejarah Indonesia. Apa yang membuat Soeharto menjadi salah satu penerimanya?
Baca SelengkapnyaSoekarno tak pernah diberi kesempatan membersihkan namanya.
Baca SelengkapnyaPeringatan 1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila dimaksudkan untuk mengenang kembali sejarah dalam mempertahankan ideologi bangsa.
Baca SelengkapnyaSosok jenderal TNI dari korps Kavaleri yag pernah menjabat sebagai kasad.
Baca SelengkapnyaKapten yang terpengaruh G30S/PKI itu menodongkan senjata pada Brigjen Suryo Sumpeno. Bagaimana cara untuk lolos?
Baca Selengkapnya