29 Wanita jadi Korban Perdagangan Orang Bermodus Dinikahi Pria Kaya Asal China
Merdeka.com - Sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban pengantin pesanan. Hal ini diduga modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sekjen Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobi Anwar Ma'arif menyebut, temuan itu merujuk dari tiga proses pelanggaran TPPO. Yakni proses, cara, dan untuk tujuan eksploitasi sebagaimana Undang-Undang 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Bobi mengatakan, pada proses perekrutan dan pemindahan, terdapat keterlibatan para perekrut lapangan untuk mencari dan memperkenalkan perempuan kepada laki-laki asal Tiongkok untuk dinikahi. Lalu dibawa ke Tiongkok.
-
Siapa yang menjadi korban? Renu Singh, salah satu korban yang terjebak, telah melapor ke polisi dengan klaim bahwa ia telah ditipu sebesar USD 21.000 dan mengungkapkan bahwa ratusan orang lainnya juga mengalami kerugian total mencapai USD 4,1 juta.
-
Siapa yang menjadi korban santet? 'Semua permukaan eksterior dari guci awalnya tertutup teks yang mengandung lebih dari 55 nama yang diukir, puluhan di antaranya sekarang hanya bertahan sebagai huruf-huruf terpisah yang mengambang atau coretan pensil yang samar,' jelas Lamont.
-
Siapa yang menjadi korban perundungan? Apalagi saat berkomunikasi melalui panggilan video, R mengaku pada Kak Seto bahwa ia sering menjadi korban perundungan dari teman-temannya maupun guru.
-
Siapa pelaku pemerkosaan? 'Kejadian ini berawal dari kejadian longsor di daerah Padalarang Bandung Barat. Kebetulan keluarga korban ini rumahnya terdampak sehingga mereka mengungsi ke kerabatnya (AR) untuk sementara,' ucap Kapolres Cimahi, AKBP Tri Suhartanto, Selasa (3/9).
-
Siapa yang terlibat? Konflik pribadi adalah konflik yang melibatkan satu individu dengan individu lainnya.
"Cara penipuan digunakan dengan memperkenalkan calon suami sebagai orang kaya dan membujuk para korban untuk menikah dengan iming-iming akan dijamin seluruh kebutuhan hidup dan keluarganya. Keluarga para korban juga diberi sejumlah uang," kata Bobi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (23/6).
Bobi menuturkan, seorang laki-laki Tiongkok harus menyiapkan uang Rp400.000.000 untuk memesan pengantin perempuan. Dari uang itu, sebanyak Rp20.000.000 diberikan kepada keluarga pengantin perempuan dan sisanya diberikan kepada para perekrut lapangan.
"Dengan memanfaatkan posisi rentan korban yang seluruhnya berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki pekerjaan, tulang punggung keluarga, beberapa di antaranya merupakan janda dan korban KDRT dari perkawinan sebelumnya, menyebabkan korban dan keluarga menyetujui perkawinan," tuturnya.
Selain itu, ditemukan pemalsuan dokumen perkawinan khususnya pada kasus dua korban yang masih berusia anak pada kasus perkawinan atau kontrak. Menurut Bobi, tujuan dalam kasus perkawinan pesanan ini adalah eksploitasi.
Bobi menambahkan, data pelaporan korban yang dihimpun SBMI memperlihatkan bahwa saat tinggal di tempat asal suami, mereka diharuskan untuk bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang.
Kemudian, sepulang kerja mereka diwajibkan mengerjakan pekerjaan rumah dan membuat kerajinan tangan untuk dijual. Seluruh gaji dan hasil penjualan dikuasai oleh suami dan keluarga suami. Para korban pun dilarang untuk berhubungan dengan keluarga.
Bobi mengatakan, mereka diancam harus mengganti kerugian yang sudah dikeluarkan oleh keluarga suami bila ingin kembali ke Indonesia. Eksploitasi juga dilakukan oleh sindikat perekrut yang terorganisir dengan mengambil keuntungan ratusan juta rupiah dari perkawinan pesanan ini.
"Mereka juga kerap dianiaya oleh suami dan keluarga suami dan dipaksa untuk berhubungan seksual oleh suami bahkan ketika sedang sakit," ungkapnya.
Dia menambahkan, sejauh ini baru tiga korban yang sudah dipulangkan ke Indonesia. Sementara, ada 26 korban lain di China.
"Jadi dari 29 itu 3 sudah dipulangkan. 26 Orang lainnya masih bersama suaminya di Tiongkok," ujar Bobi.
Lebih lanjut, kasus perkawinan pesanan tersebut telah melanggar beberapa instrumen perlindungan. Yaitu tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi pemerintah melalui UU No 7 Tahun 1984.
Bobi mengatakan, pada konvensi itu telah mengamanatkan kepada negara-negara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan keluarga. Serta memastikan laki-laki dan perempuan memiliki hak sama, bebas memilih pasangan dan menikah dengan persetujuan penuh antara kedua belah pihak.
"Berdasarkan kronologi kasus di atas jelas bahwa perkawinan pesanan tidak memenuhi unsur-unsur perkawinan sebagaimana diatur dalam CEDAW," kata Bobi.
Kemudian, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO Pasal 2 dan Pasal 4 diatur mengenai sanksi hukuman penjara bagi para pelaku yakni paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun.
"Hingga sekarang pelaku kasus perkawinan pesanan belum mendapatkan sanksi seperti yang tertuang dalam UU TPPO yakni minimal 3 tahun," ucapnya.
Lanjutnya, kasus itu melanggar Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam kasus ini terdapat 2 korban yang masih berusia anak-anak, yang seharusnya anak-anak harus bebas dari eksploitasi sesuai Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002, dan pelakunya sudah sepatutnya di pidana.
Maka dari itu, LBH Jakarta dan SBMI yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil bersama dengan Komnas Perempuan mendesak Bareskrim Mabes Polri, Polda Kalimantan Barat, Polda Jawa Barat untuk segera membongkar sindikat perekrut yang terorganisir dalam kasus TPPO pengantin pesanan antar negara ini.
"Dan memproses dan menyelesaikan kasus dengan menerapkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Perlindungan anak," sambung Bobi.
Pihaknya pun mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten untuk melakukan berbagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Polda Metro Jaya menangkap 9 tersangka dalam kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO)
Baca SelengkapnyaTerduga pelaku mengambil keuntungan melalui pernikahan dengan cara menyediakan pengantin wanita Warga Negara Indonesia (WNI) untuk Warga Negara China.
Baca SelengkapnyaPolisi Bandara Soekarno-Hatta, membongkar modus baru perdagangan orang ke luar negeri.
Baca SelengkapnyaModus operandi yang dilakukan para pelaku dengan menggunakan penipuan lowongan kerja.
Baca SelengkapnyaKapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan polisi membongkar 290 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Baca SelengkapnyaMereka mampu menggaet pelaku melalui aplikasi dating Tinder, Bumble, Okcupid, Tantan dan sebagainya.
Baca SelengkapnyaPenangkapan ratusan tersangka dilakukan sejak periode 5-11 Juni 2023
Baca SelengkapnyaKPAI terus bekerja sama dengan Siber Polri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mengungkap sindikat TPPO anak.
Baca SelengkapnyaDua wanita asal Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar), ditangkap polisi. Mereka diduga terlibat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) antarnegara.
Baca SelengkapnyaSementara itu, ketiga korban yakni BN (29) asal Tasikmalaya, O (40) asal Subang dan A (28) asal Subang. Kedua pelaku disinyalir untung Rp2 juta per korban.
Baca SelengkapnyaPara pelaku berupaya mengirimkan para PMI secara ilegal, khususnya cacat administrasi seperti menggunakan visa yang tidak sesuai.
Baca SelengkapnyaPelaku berkomplot menjual korban kepada lelaki hidung belang dengan tarif berkisar antara Rp300 ribu hingga Rp700 ribu melalui aplikasi media sosial MiChat.
Baca Selengkapnya