5 Alasan mereka menolak hukuman mati di Indonesia
Merdeka.com - Pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang gencar-gencarnya melakukan rencana eksekusi hukuman mati. Mereka terpidana mati kebanyakan tersandung kasus narkoba.
Sejumlah kalangan mengkritik dan mengecam habis rencana eksekusi terpidana mati untuk gelombang kedua. Banyak alasan mengapa hukuman mati tidak relevan diterapkan di Indonesia.
Tetapi, pemerintahan Presiden Jokowi tidak menggubris kritikan-kritikan pedas yang berasal dari dalam ataupun luar negeri. Versi pemerintah, kasus narkoba merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) dan serius (the most serious crime).
-
Kenapa hukum di Indonesia mengecewakan? 'Ada tiga kata yang sangat penting di dalam orasi ini yaitu kata etika, moral dan hukum semua kata itu, rangkaian kata itu penting, tapi saya akan bicara etika, moral dan hukum. Kenapa topik ini dipilih, karena kita punya hukum tetapi hukum kita itu sangat mengecewakan,' kata Mahfud MD di Jakarta, Kamis (30/11).
-
Kenapa dibentuk peringatan anti hukuman mati? Alasan terakhir tersebut yang kemudian dibentuk peringatan khusus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penolakan hukuman mati untuk menghormati hak asasi manusia.
-
Siapa yang berpendapat hukuman mati melanggar hak asasi manusia? Amnesty International berpendapat bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup dan hak untuk hidup bebas dari penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
-
Kenapa korban dibunuh? 'Oleh karena pelaku menolak untuk membayar 100 ribu selanjutnya korban memaki-maki dan mengancam pelaku dengan kata-kata yang kasar dan mengancam untuk memanggil abang-abang (keluarga) yang daripada korban,' kata Dirreskrimum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Wira Satya Triputra, Kamis (25/4).
-
Kenapa orang tidak setuju dengan teknologi 'membangkitkan' orang mati? Mungkin tidak mengherankan jika sebagian besar responden survei yakni sebanyak 97 persen merasa tidak pantas menghidupkan kembali seseorang secara digital.
-
Kenapa hukum dibuat? Hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan keadilan, ketentraman sekaligus keamanan.
Berikut 5 alasan mereka yang menolak hukuman mati di Indonesia:
Eksekusi mati dapat mengancam WNI di luar negeri
Pidana mati di Indonesia menuai pro dan kontra. Bagi yang menentang eksekusi hukuman mati, terdapat alasan-alasan mengapa hukuman tersebut tidak layak dilakukan.Peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, hukuman mati di Indonesia juga dapat mengancam keberadaan warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Sebab, berdasarkan laporan resmi dari Kementerian Luar Negeri, sedikitnya ada 229 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri."Dari jumlah tersebut, 131 orang di antaranya terjerat kasus narkotika dan 77 orang lainnya didakwa kejahatan menghilangkan nyawa," kata Wahyudi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (12/4).Menurut dia, sikap keras pemerintah Indonesia untuk terus melanjutkan praktik eksekusi hukuman mati tentu akan berdampak besar. Selanjutnya juga mempengaruhi upaya advokasi untuk menyelamatkan ratusan WNI yang terancam hukuman mati tersebut.
Bertentangan dengan konstitusi dan HAM
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menolak pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Ada sebab-sebab yang mendasar mengapa hukuman mati tidak relevan dilakukan.Alasan pertama, peneliti ELSAM Wahyudi Djafar menegaskan, hukuman mati bertentangan dengan konstitusi dan hukum internasional HAM. Sejumlah ketentuan perundang-undangan nasional khususnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi, serta UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia."Menyatakan secara tegas bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Indonesia juga telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU No 12/2005 Pasal 6 Ayat 1 yang menyatakan hak hidup adalah hak yang melekat kepada setiap individu, tanpa memandang perbedaan status dan kewarganegaraan," jelas dia, Jakarta, Minggu (12/4).
Sistem peradilan di Indonesia masih kacau
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melakukan penelitian mengenai potret hukuman mati dalam peradilan pidana studi atas 42 putusan pengadilan. Putusan yang dikaji merupakan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dari tahun 2002 hingga putusan tahun 2009.Peneliti dari ICJR Supriyadi W Eddyono mengatakan, sistem peradilan pidana di Indonesia masih rapuh dan sangat terbuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Dalam banyak kasus, kesalahan penghukuman menjadi sesuatu yang seringkali tak terhindarkan dalam praktik hukum pidana."Pada dasarnya hukum acara pidana di Indonesia tidak membedakan standar proses peradilan bagi orang-orang yang diancam pidana mati. Hampir semua ketentuan yang terdapat dalam hukum acara pidana di Indonesia memberikan standar peradilan yang sama antara proses peradilan bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati dan tersangka/terdakwa pada kasus-kasus lainnya," kata Supriyadi dalam sebuah diskusi, Jakarta, Minggu (12/4).Dalam penelitiannya, dia menemukan permasalahan penerapan prinsip fair trial (peradilan yang adil dan berimbang) dalam peradilan pidana di Indonesia, khususnya bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana mati. Hal tersebut, kata Supriyadi, dapat terlihat dari masih banyaknya persoalan yang ditemukan dalam berbagai putusan pidana yang menjatuhkan hukuman mati. Persoalan-persoalan tersebut tampak menyeluruh dan berulang seperti kehadiran akses bantuan hukum yang efektif, minimnya pembuktian dari jaksa, penyidikan yang eksesif sampai dengan inkonsistensi putusan hakim.
Eksekusi mati bentuk penghukuman yang kejam dan tak manusiawi
Alasan selanjutnya mengapa hukuman mati tak relevan di Indonesia karena eksekusi mati dianggap sebagai bentuk penghukuman yang kejam dan tak manusiawi. Selanjutnya, hukum internasional hak asasi manusia, termasuk yurisprudensi pengadilan di beberapa negara dan kawasan telah berulang kali menegaskan bahwa praktik eksekusi mati adalah suatu tindakan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi serta merendahkan derajat martabat seseorang."Alasan ketiga, rapuhnya sistem peradilan pidana sehingga sangat terbuka peluang kesalahan penghukuman," tegas Peneliti ELSAM Wahyudi Djafar, Jakarta, Minggu (12/4).Dalam banyak kasus termasuk Indonesia, kata dia, kesalahan penghukuman menjadi sesuatu yang seringkali tak terhindarkan dalam praktik hukum pidana. Kurangnya kontrol peradilan yang efektif, tiadanya suara bulat untuk suatu putusan hukuman mati, kurangnya mekanisme banding serta kebutuhan atas suatu proses peradilan yang fair trial, telah membuka peluang terjadinya kesalahan penghukuman. Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin lagi dikoreksi.
Narkoba bukan kejahatan paling serius
Mantan Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim tidak sepakat bila hukuman mati diberlakukan di Indonesia. Sebab, kata dia, untuk kasus narkoba bukanlah merupakan tergolong kejahatan yang paling serius atau the most serious crime."Narkoba tidak termasuk kategori the most crime. Kalau dia bukan itu lalu apa kejahatan itu? disebut specific crime, narkoba kejahatan tanpa korban. Pelaku tidak menyiksa orang, tidak melakukan kekerasan orang tetapi karena kesukaan atas hal itu. Oleh karena itu penanganannya butuh terapi dan macam-macam," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (12/4).Menurut Ifdal, eksekusi hukuman mati tidak menjadi solusi yang tepat bagi terpidana mati atas kasus narkoba. Butuh terapi-terapi khusus dan berbagai pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menangani kasus tersebut."Kontrol perdagangan dibongkar, bandara harus diperketat. Itu harus dilakukan dalam upaya pemberantasan narkoba itu," tegasnya.Dia mencontohkan, banyak peredaran atau kasus narkoba justru bermuara dari jeruji besi dalam hal ini LP. Justru yang kebanyakan ditangkap atas kasus narkoba lantaran mereka sebagai pecandu atau kecanduan."BNN pernah menyebutkan 70 persen dari Lapas, kenapa di tempat yang seharusnya tidak bebas justru terjadi perdagangan narkoba di situ. Artinya kesalahan bukan pada pengedarnya, tetapi aparat LP yang ada di sana," jelas Ifdal."Tanggung jawab justru ada di tangan negara untuk kemudian mengontrol orang-orang yang tidak bebas itu," tandasnya.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pengadilan Militer II-08 Jakarta memvonis tiga terdakwa pembunuhan Imam Masykur Praka RM, Praka HS dan Praka J seumur hidup.
Baca SelengkapnyaBasuki Tjahaja Purnama, atau biasa disapa Ahok tak setuju jika koruptor dihukum mati. Alasannya, hukuman mati para koruptor tidak akan menyelesaikan masalah.
Baca SelengkapnyaAhok lebih memilih koruptor dimiskinkan dan dihukum penjara seumur hidup
Baca SelengkapnyaMA Anulir Vonis Mati Ferdy Sambo, Komisi III DPR: Hilang Nurani Para Hakim
Baca SelengkapnyaMegawati Soekarnoputri jengkel dengan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan hukuman mati Ferdy Sambo.
Baca SelengkapnyaBanding itu diajukan demi alasan keadilan lantaran tak sepatutnya Panca divonis mati mengingat kliennya memiliki gangguan psikologi atau kejiwaan.
Baca SelengkapnyaDua hakim tersebut adalah Jupriyadi dan Desnayeti.
Baca SelengkapnyaMahfud menjelaskan dalam Undang-Undang yang saat ini bisa saja menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
Baca SelengkapnyaDalam putusannya, majelis hakim menganulir vonis mati yang diterima Ferdy Sambo menjadi penjara seumur hidup.
Baca SelengkapnyaMahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Baca SelengkapnyaDua hakim agung mengatakan Ferdy Sambo layak dihukum mati, namun tiga hakim agung lainnya menyatakan seumur hidup.
Baca SelengkapnyaGuru Besar Hukum senior ini sangat memahami ada masyarakat yang kecewa dengan vonis tersebut. Tetapi ia berpesan agar jangan berpikir negatif.
Baca Selengkapnya