5 Guru Besar antikorupsi surati Jokowi tolak koruptor dapat remisi
Merdeka.com - Lima profesor tergabung dalam Guru Besar Antikorupsi yang berasal beberapa universitas yang ada di Indonesia mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo, Senin (5/9). Surat yang berisikan permintaan agar menolak regulasi yang memudahkan persyaratan bagi napi koruptor mendapat remisi.
Kelima guru besar itu yakni, Guru besar Universitas Islam Indonesia Mahfud MD, Guru besar Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, Guru besar Universitas Indonesia Rhenald Kasali, guru besar Universitas Indonesia SulistyowatiIrianto, dan Guru besar Universitas Bosowa '45 Marwan Mas.
Salah satu guru besar penandatanganan surat dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho memaparkan beberapa alasan yang mendasar tentang surat yang dikirim kepada orang nomor satu di republik ini.
-
Mengapa Jokowi digugat? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Apa gugatan yang dilayangkan ke Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang menggugat Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
-
Kenapa Jokowi dikritik? Khususnya terhadap keluarga Jokowi yang ikut dalam kontestasi politik baik Pilpres maupun pilkada.
-
Siapa yang ditetapkan tersangka dalam korupsi Bansos Jokowi? Pada kasus ini, satu orang telah ditetapkan menjadi tersangka yakni Direktur Utama Mitra Energi Persada sekaligus Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada tahun 2020, Ivo Wongkaren, alias IW.
-
Kasus korupsi apa yang dilakukan menteri Jokowi? Mantan Menpora Imam Nahrawi Terbukti menerima suap penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora pada KONI Tahun Anggaran (TA) 2018
"Sebenarnya ini mengingatkan kembali kepada presiden, bahwa korupsi adalah suatu extra ordinary crime," katanya, Senin (5/9).
Dia mengemukakan, sebagai extra ordinary crime, penindakan hukum tindak pidana korupsi harus dilakukan secara khusus. Penindakan tersebut, ujarnya, sebagai bentuk aspek penjeraan serta bagian dari pencegahan.
"Jadi hukuman itu sebagai bagian dari mencegah untuk tidak terjadinya tindak pidana korupsi bagi generasi yang mendatang," ujarnya.
Dalam konteks rancangan peraturan pemerintah tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan (RPP warga binaan), Hibnu mengungkapkan regulasi tersebut menyamakan korupsi sebagai tindak pidana umum.
"(Kalau disahkan, ini merupakan) pengingkaran kepada korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Permasalahannya apakah korupsi dijadikan tindak pidana biasa? kan belum," ucapnya.
Hibnu juga mengingatkan agar pemerintah jangan sibuk mengurusi masalah penegakan hukum terhadap koruptor, yang sebenarnya sudah disepakati dan diterima masyarakat. Karena menurutnya, perjuangan-perjuangan terhadap penegakan hukum untuk koruptor sudah dipahami masyarakat secara luas.
"Masih banyak pekerjaan yang lain, seperti RUU KUHP, RUU KUHAP. Nah, saya kira itu harus didahulukan. Kita jangan sibuk dengan masalah yang sebenarnya sudah diterima masyarakat, dan sekarang menjadi malah polemik kembali," ujarnya.
Dari pengamatan Hibnu, dalam beberapa tahun terakhir, penegakan hukum terhadap koruptor sudah lentur. Kondisi tersebut diperparah dengan perilaku elite politik yang memberikan kelenturan tersebut. Ia mencontohkan, pernyataan menteri koordinator polhukam yang meminta agar koruptor jangan dipenjara dengan alasan over capacity.
"Ini kan melemahkan semangat masyarakat yang sudah mendukung penegakan hukum terhadap korupsi. Ternyata, di satu sisi, rupanya pemerintah agak setengah hati. Ini kan nggak ketemu dan yang ditakutkan seperti itu. (Alasan) Over Capacity kan bukan suatu halangan, itu kan berlaku semua," ucapnya.
Dia mengemukakan, berdasar hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) memaparkan jumlah penghuni rumah tahanan dan penjara di Indonesia berjumlah 197.670 orang dan napi koruptor hanya sebanyak 3.801 napi atau 1,92 persen saja.
"Berarti memang (napi koruptor) tidak banyak. Kalau ini dijadikan isu ke mana-mana, tenaga kita akan habis mengurusi masalah itu terus kan. Karena itu, saya beharap polemik ini dihentikan, mari kuatkan undang-undang yang bisa mencegah masyarakat untuk takut melakukan korupsi," tuturnya. (mdk/hhw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Gibran akhirnya buka suara soal ramainya akademisi mengkritik ayahnya, Presiden Jokowi.
Baca SelengkapnyaGanjar Pranowo menanggapi Petisi Bulaksumur yang disampaikan sejumlah civitas akademisi UGM
Baca SelengkapnyaHasto mengatakan, perguruan tinggi merupakan cerminan dari kekuatan moral.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi menilai suara Guru Besar yang berisi kritik merupakan hak berdemokrasi masyarakat.
Baca SelengkapnyaKoentjoro menerangkan jika pihaknya menilai masa pemerintahan Jokowi saat ini telah melakukan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi
Baca Selengkapnyanies Baswedan mengaku senang berbagai kampus turut menyuarakan kepeduliannya terhadap kondisi demokrasi.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi menanggapi santai petisi Bulaksumur
Baca SelengkapnyaJokowi meyakini hal ini dapat memberikan efek jera untuk para koruptor dan mengembalikan kerugian negara.
Baca SelengkapnyaEros Djarot menilai sikap Jokowi terkait pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo melawan hukum.
Baca SelengkapnyaSivitas akademika memberikan petisi kepada Presiden Jokowi
Baca SelengkapnyaJokowi menuturkan, setiap masyarakat Indonesia bebas berpendapat.
Baca SelengkapnyaCivitas akademika Universitas IBA Palembang turut menyampaikan keprihatinan pada kondisi negara menjelang Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya