5 Pasal 'Mengekang Demokrasi' di RUU KUHP yang Disorot Aliansi Masyarakat Sipil
Merdeka.com - Pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh DPR dan Pemerintah menuai kritik tajam dari aliansi masyarakat sipil. Pasal-pasal yang dirancang dinilai masih sangat kuat dengan kolonialisme dan mengekang demokrasi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mendorong agar pemerintah dan DPR menghapus pasal kontroversial dari pembahasan.
"Yang terpenting adalah menghapus pasal-pasal yang akan membunuh dan mengekang iklim demokrasi di Indonesia, utamanya dalam kondisi Indonesia saat ini," ucap Erasmus, Kamis (10/6).
-
Bagaimana DPR menilai proses hukum Kejagung? Semuanya berlangsung cepat, transparan, tidak gaduh, dan tidak ada upaya beking-membeking sama sekali, luar biasa.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Bagaimana proses pembuatan UU KIP? “Dulu ada tiga draf, draf dari DPR, draf dari LIN, draf dari masyarakat. Karena ini inisiatif oleh Baleg, UU inisiatif itu dulu sangat mahal, inilah kemenangan dari reformasi. apapun Undang-Undang yang bersangkutan demokratisasi kita akan dahulukan,“ katanya.
-
Siapa yang terlibat dalam pembentukan UU KIP? “UU KIP dulu kan dibahas dengan Komisi I DPR, jadi enggak nyambung dengan Komisi III-nya. Menghasilkan Komisi Informasi Pusat, memang belum dikonstruksikan menjadi lembaga quasi peradilan.
-
Aturan apa yang DPR dorong? Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendorong Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk membuat aturan yang bisa mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual di kalangan aparatur sipil negara (ASN).
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
Pasal sorotan aliansi masyarakat sipil yaitu;
Pertama, terkait dengan Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam pasal 218-220 RKUHP.
"Pasal ini sejatinya ditujukan untuk Kepala Negara bukan kepada Kepala Pemerintahan atau disebut lesse majeste," ujar Erasmus.
Rumusan pasal tersebut menurut Erasmus sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP yaitu penghinaan presiden, yang merupakan warisan kolonial Belanda, pada awalnya digunakan untuk memproteksi martabat dari raja atau ratu di Belanda.
Namun pasal tersebut sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006. Saat itu, MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat pasal penghinaan presiden dan menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Kedua, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 240-241 RKUHP.
Pasal ini disebut dengan nama pasal Haatzaai Artikelen yang berasal dari British Indian Penal Code, dan pada waktu itu dianggap tepat untuk diberlakukan terhadap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda.
Erasmus menilai pasal ini sudah tidak tepat karena kondisi Indonesia sudah berubah menjadi negara merdeka.
"Sudah sepatutnya pasal kolonial ini tidak perlu ada karena tidak sesuai lagi dengan negara demokratis yang merdeka," lugasnya.
Ketiga, terkait Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara yang diatur dalam pasal 353-354 RKUHP.
Sama dengan dua pasal sebelumnya, pasal tentang Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara berpotensi menjadi pasal karet dengan potensi pengekangan hak dan kebebasan warga negara yang sangat besar dan juga dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif.
Erasmus menyoroti, pasal ini, tidak saja kabur dan multitafsir, namun juga sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern.
Keempat, terkait Tindak Pidana Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa izin yang diatur dalam pasal 273 RKUHP.
Pasal ini menjadi sorotan lantaran adanya politik perizinan mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang penerapannya sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum (rust en orde) yang akrab dipakai pemerintah kolonial Belanda, dan juga sebagai bentuk acuan legal pemerintah atau aparat dalam memantau gerak-gerik masyarakat di Tahun 1960an.
"Belum lagi pada rezim orde baru digunakan juga sebagai pasal langganan penguasa saat itu untuk membatasi kegiatan masyarakat yang akan berdemonstrasi," ucapnya.
Kelima, terkait Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan yang diatur dalam pasal 281 RKUHP.
"Pasal ini akan dengan mudah menyasar akademisi, pers/media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak imparsial," tegasnya.
Aliansi, kata Erasmus, melihat bahwa menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Yenny Wahid turut menolak RUU Pilkada. Dia memprotes sikap DPR merevisi UU Pilkada lewat sebuah postingan di akun Instagram @yennywahid.
Baca SelengkapnyaDjarot menyebut komunikasi tersebut bertujuan untuk mencegah penyelundupan Pasal-Pasal di RUU MK.
Baca SelengkapnyaKoalisi Masyarakat Sipil Minta DPR Setop Revisi UU Polri, Ini Alasannya
Baca SelengkapnyaPDIP menyatakan Revisi UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia akan berdampak pada kebebasan publik.
Baca SelengkapnyaAnggota Dewan Pers Yadi Hendriana menyebut, ada perbedaan mendasar antara KPI dengan Dewan Pers
Baca SelengkapnyaPDIP menilai, pembahasan RUU Pilkada mengabaikan suara masyarakat.
Baca SelengkapnyaRevisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.
Baca SelengkapnyaPeringatan darurat dengan gambar burung garuda berlatar biru menggema di media sosial. Gambar tersebut juga membanjir berbagai lini masa.
Baca SelengkapnyaMenurut Zainal, upaya merevisi UU Pilkada dalam rapat digelar Badan Legislasi (Baleg) DPR hari ini menjadi alarm tanda bahaya bagi demokrasi.
Baca SelengkapnyaRUU Penyiaran berawal dari sebuah persaingan politik antara lembaga berita melalui platform teresterial versus jurnalism platform digital.
Baca SelengkapnyaDampak buruk yang bisa terjadi jika Baleg DPR RI menganulir putusan MK soal UU Pilkada, massa bisa turun ke jalan.
Baca SelengkapnyaDewan Guru Besar UI menilai revisi UU Pilkada dapat menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi, seperti MK versus DPR, yang akan merusak kehidupan bernegara.
Baca Selengkapnya