6 Catatan ICW soal kejanggalan praperadilan Setnov
Merdeka.com - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini menggelar sidang putusan praperadilan tersangka kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto alias Setnov. Namun sidang yang berlangsung sejak sepekan ini disoroti pegiat antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW).
ICW mencatat selama persidangan ada enam kejanggalan yang dipimpin hakim tunggal Cepi Iskandar itu. Sementara dari pantauan ICW, KPK dengan kooperatif menghadirkan 193 bukti penetapan Setnov sebagai tersangka termasuk menghadirkan saksi dalam persidangan.
Berikut catatan ICW terkait kejanggalan persidangan praperadilan Setnov, dalam keterangan tertulis kepada merdeka.com, Jumat (29/9):
-
Siapa yang diperiksa oleh KPK? Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej rampung menjalani pemeriksaan penyidik KPK, Senin (4/12).
-
Siapa yang diperiksa KPK? Mantan Ketua Ferrari Owners Club Indonesia (FOCI), Hanan Supangkat akhirnya terlihat batang hidungnya ke gedung Merah Putih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (25/3) kemarin.
-
Siapa saja yang menjadi tersangka? Chandrika Chika dan lima orang rekannya telah resmi dijadikan tersangka dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
-
Apa yang diselidiki KPK? Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyelidiki dugaan kasus korupsi pengadaan lahan proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS).
-
Siapa saja yang bersaksi di sidang MK? Sebagai informasi, empat menteri tersebut adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani, Menteri Sosial Republik Indonesia Tri Rismaharini, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartarto.
1. Hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Setnov dalam korupsi e-KTP
Pada sidang praperadilan Rabu (27/9), hakim menolak memutar rekaman KPK sebagai bukti keterlibatan Setnov dalam korupsi e-KTP. Penolakan ini sangat janggal, karena hakim berpandangan bahwa pemutaran rekaman tersebut sudah masuk pokok perkara. Padahal rekaman pembicaraan tersebut adalah salah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan ketua umum Partai Golkar itu dalam perkara korupsi e-KTP.
Dengan dasar rekaman tersebut, KPK menetapkannya sebagai salah satu bukti yang dibarengi dengan 193 bukti lainnya, untuk menetapkan Setnov sebagai tersangka.
Di sisi lain, Hakim Cepi Iskandar justru membuka ruang pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian keterpenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menjadi salah satu dalil permohonan praperadilan Setnov. Padahal, pembuktian keterpenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sudah masuk pada pembuktian pokok perkara, dan tidak sepatutnya disidangkan lewat mekanisme praperadilan.
2. Hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK
Pada 27 September 2017, Hakim Cepi Iskandar menolak Ahli Teknologi Informasi Universitas Indonesia, Bob Hardian Syahbudin sebagai ahli dalam persidangan praperadilan. Alasan Hakim Cepi menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli adalah, karena materi yang disampaikan pada persidangan sudah masuk pokok perkara pembuktian korupsi e-KTP. Di saat yang sama, Bob Hardian sudah memberikan keterangan tertulis pada proses penyidikan korupsi e-KTP.
Ahli dihadirkan untuk memberi kesaksian terkait dengan temuannya dalam evaluasi sistem teknologi informasi e-KTP. Namun, hakim menolak kehadiran Bob Hardian sebagai ahli, dan dengan demikian menunda pemberian keterangannya.
3. Hakim menolak eksepsi KPK
Hakim Cepi Iskandar menolak eksepsi KPK yang disampaikan pada 22 September 2017. Dalam eksepsinya, KPK menyampaikan 2 (dua) hal yang menjadi keberatannya yaitu terkait status penyelidik dan penyidik independen KPK dan dalil permohonan SN yang sudah memasuki substansi pokok perkara.
Keabsahan dan konstitusionalitas penyelidik dan penyidik independen KPK sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 109/PUU-XIII/2015, namun hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh Hakim, padahal putusan tersebut mengikat sebagai norma hukum atas peraturan perundang-undangannya yang diuji materilkan.
Selain itu, Hakim Cepi Iskandar juga mengabaikan keterangan KPK yang menyebutkan bahwa dalil permohonan Setnov sudah masuk dalam pokok perkara. Setnov menguji keabsahan alat-alat bukti yang dijadikan dasar untuk menjeratnya sebagai tersangka dugaan korupsi, yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Logika yang sama tidak muncul ketika KPK mengajukan permohonan untuk memperdengarkan rekaman pembicaraan, yang menguatkan dalil keabsahan penetapan SN sebagai tersangka.
4. Hakim abaikan permohonan intervensi diajukan MAKI dan OAI
Dalam sidang praperadilan 22 September 2017, Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabaikan permohonan intervensi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Organisasi Advokat Indonesia (OAI). Pengabaian tersebut dilakukan dengan alasan gugatan dari para pemohon intervensi belum terdaftar dalam sistem informasi pencatatan perkara.
Keterangan tersebut sungguh janggal, karena berdasarkan penelusuran, MAKI sudah mendaftarkan gugatan sebagai pemohon intervensi sejak 6 September 2017. Gugatan intervensi tersebut sejatinya menguatkan posisi KPK, namun akhirnya tidak diperhitungkan oleh Hakim, padahal permohonan sudah didaftarkan sebelum sidang pertama dilakukan pada 12 September 2017.
5. Hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK
Dalam mendengar keterangan dari ahli Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, Hakim bertanya mengenai sifat adhoc lembaga KPK, padahal tidak ada materi sidang praperadilan yang berkaitan dengan hal tersebut. Pertanyaan ini jelas tidak pada tempatnya, sehingga motivasi Hakim Cepi Iskandar ketika mengajukan pertanyaan tersebut, patut dipertanyakan.
6. Laporan kinerja KPK dari Pansus dijadikan bukti praperadilan
Kuasa Hukum Setnov membawa sejumlah bukti, yang salah satunya adalah LHP BPK Nomor 115/HP/XIV/12/2013 atau LHKP KPK 115, yang pada intinya menjabarkan kinerja KPK selama 10 tahun ke belakang. Dokumen ini diduga diperoleh tanpa melalui mekanisme yang sah, karena dokumen tersebut diduga diperoleh dari Pansus Angket KPK, bukan dari lembaga resmi yang seharusnya mengeluarkan, yaitu BPK.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Untuk kesekian kalinya, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) kalah dalam menghadapi gugatan praperadilan dari sejumlah tersangka atas kasus korupsi.
Baca SelengkapnyaSyahrul Yasin Limpo mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca SelengkapnyaDari 62 laporan dugaan pelanggaran kode etik yang diterima Dewas KPK, sebanyak enam laporan telah ditindaklanjuti karena bukti atau alasan yang cukup.
Baca SelengkapnyaPemeriksaan tersebut sehubungan dengan kasus korupsi dugaan gratifikasi hingga pemerasan pada Pemkot Semarang.
Baca Selengkapnya