Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Ahli Hukum Fahri Bachmid Yakinkan Hakim PN Ambon Tolak Praperadilan Kasus PLTG

Ahli Hukum Fahri Bachmid Yakinkan Hakim PN Ambon Tolak Praperadilan Kasus PLTG Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi UMI Makasar, Fahri Bachmid. Istimewa

Merdeka.com - Hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Ambon, Andi Adha menolak permohonan gugatan Ferry Tanay, tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) 10 megawatt di Namlea, Kabupaten Buru, Maluku.

Ferry melalui tim kuasa hukumnya menggugat Kejati Maluku dalam perkara praperadilan nomor 1/Pid.pra/2021/PN. Amb pada 9 Februari 2021. Dia mengajukan gugatan praperadilan karena tidak terima ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya dalam kasus tersebut.

Hakim Andi Adha dalam pertimbangan putusannya mengatakan penetapan tersangka yang dilakukan penyidik sesuai aturan karena penyidik sudah melakukan rangkaian penyidikan, seperti penemuan dua alat bukti baru dan meminta keterangan sejumlah ahli.

Orang lain juga bertanya?

"Menimbang bahwa dari alat bukti saksi dan para ahli serta barang bukti di atas maka hakim berpendapat penetapan tersangka telah didukung dengan alat bukti yang sah. Maka permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum," kata Andi Adha saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Ambon, Senin lalu.

Keterangan ahli, termasuk Fahri Bachmid yang diajukan termohon sukses mematahkan semua dalil dan pendapat ahli yang diajukan pemohon.

Fahri Bachmid merupakan seorang Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar. Kejaksaan Tinggi Maluku secara resmi menunjuk Fahri untuk menjadi saksi ahli dari pihak Kejaksaan Tinggi Maluku selaku Termohon dalam perkara ini.

Fahri Bachmid secara akademik maupun teoritik berhasil mematahkan semua dalil dan argumentasi yang diajukan pemohon maupun saksi ahlinya yang bersaksi pada sidang praperadilan. Saksi ahli yang diajukan pemohon pada sidang praperadilan tersebut adalah Guru besar Hukum Pidana dari Universitas Hasanuddin, Makasar, Said karim.

Menurut Fahri Bachmid, penetapan tersangka lebih dari satu kali secara konstitusional diperbolehkan sesuai tugas dan wewenang penyidik, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.

"Bahwa penyidikan kedua kali, bermakna sebagai proses formil penyidikan yang berulang setelah adanya penetapan tersangka sebelumnya. Penyidikan kedua kalinya tidaklah berkonotasi sebagai sebuah pelanggaran hukum atau tidak berbasis pada kewenangan, karena hal itu lumrah dilakukan dan memiliki dasar hukum kuat basis legal, meskipun sebelumnya telah ada putusan yang menyatakan batal penetapan tersangka," ujar Fahri Bachmid.

Menurut Fahri Bachmid, meskipun sudah ada putusan pembatalan penetapan tersangka sebelumnya, hal itu tidak berarti menjadi halangan atau larangan dan menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka lagi, sepanjang dilakukan sesuai prosedur dengan komponen dua alat bukti baru yang telah dirubah secara substansial dan berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara. Hal ini, kata Fahri sesuai Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XV/2017.

Fahri Bachmid juga menyampaikan penafsiran Pasal 76 ayat (1) KUHP. Menurut Fahri mengatakan makna Pasal 76 ayat (1) KUHP tersebut berlaku spesifik jika hanya sebuah perkara atau subjek penyidikan telah dilakukan penuntutan pada fase pengadilan pokok perkara, dan telah berkekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde. Dengan demikian, lanjutnya, secara acontrario bagi setiap perkara yang belum dilakukan penuntutan atau pokok perkara atau masih pernah sebatas level formalitas melalui pemeriksaan praperadilan, maka prosesnya sah dilakukan.

"Artinya penyidikan yang notabene masih pada tahapan formal belaka meskipun kedua kalinya tetap dibolehkan. Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan praperadilan tidak menutup kewenangan Penyidik untuk melakukan penyidikan kembali," tambahnya.

Terkait tak dikenalnya azaz nebis in idem dalam putusan praperadilan, Fahri Bachmid, menyampaikan bahwa Praperadilan sejatinya merupakan pranata dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus persoalan yang berhubungan dengan kewenangan upaya paksa dari aparat penegak hukum, termasuk pula masalah ganti rugi. Praperadilan didesain untuk memberikan perlindungan pada masa pra persidangan bagi tersangka atau orang lain yang merasa haknya dilanggar oleh kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum.

Karena alasan itu, papar Fahri Bachmid, maka praperadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa pokok perkara. Secara eksplisit hal tersebut dapat dilihat dalam KUHAP pasal 82 ayat (1) huruf d yang menyatakan bahwa "Dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;". Pengaturan itu menunjukkan bahwa ada dimensi dan jurisdiksi yang berbeda dari praperadilan yang membedakannya dengan pemeriksaan pokok perkara. Secara langsung praperadilan juga hanya ditujukan untuk memeriksa aspek formil.

"Aspek yang diperiksa terbatas pada konteks sah atau tidaknya suatu upaya paksa dan tidak berhubungan pada pmeriksaan pokok perkara. Untuk kewenangan baru praperadilan yaitu memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, Pasal 2 ayat (2) PERMA No. 4 Tahun 2016. Bahkan secara eksplitis menyatakan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya dinilai berdasarkan aspek formil melalui paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah. Secara praktik dan teori yang dimaksud aspek formil adalah aspek perolehan dan validitas alat bukti," katanya.

"Itulah mengapa putusan Praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagaimana jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PERMA No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki 2 (dua) alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2016 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 42/PUUXV/2017 tanggal 10 Oktober 2017," tandas Fahri Bachmid, yang merupakan mantan Pengacara Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin ini.

Fahri Bachmid diketahui sebagai Pakar Hukum Tata Negara dan Ahli Konstitusi, sudah berpengalaman dalam memberikan keterangan ahli dalam sejumlah persidangan. Misalnya, Dia menjadi ahli dalam Persidangan Peninjauan Kembali sebagai Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara secara Tertulis (Affidavit) pada persidangan Peninjauan Kembali Ke-2 perihal pengajuan Kontra Memori yang dihadirkan Termohon dari Kantor Hukum Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc, yaitu Ihza & Ihza Law Firm Bali Office selaku Kuasa PT. Asuransi Ramayana atas putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 731 PK/PDT/2018, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,Tahun 2019.

Kemudian pada Oktober 2020, Fahri Bachmid menjadi ahli dalam perkara Judicial Review nomor perkara No. 60/P/HUM/ 2020. Dia dihadirkan oleh Kuasa Hukum Induk Koperasi Kepolisian Negara RI (INKOPPOL) di Mahkamah Agung.

Fahri juga pernah diminta menyampaikan keterangan ahli tingkat penyidikan di Kejaksaan Negeri Belitung Timur Sehubungan dengan pelaporan dugaan tindak pidana pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur Tahun 2020. Dalam kasus ini, Fahru Bachmid, diminta oleh Divisi Advokasi Tim Pemenangan Koalisi Partai Politik Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur (Yuri Kemal Fadlullah, S.H., M.H. dan Nurdiansyah) yang teregister dengan No. 03/Reg/LP/PB/Kab/09.07/Xl/2020 di Bawaslu Kab. Belitung Timur melalui Media Daring.

Selain itu, Fahri juga pernah menjadi ahli dan diminta memberikan keterangan pada persidangan di Pengadilan Negeri Tanjung Pandan sehubungan dengan tindak pidana khusus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Belitung Timur Tahun 2020 berdasarkan Nomor Perkara 174/Pid.Sus/2020/PN.Tdn. atas nama terdakwa Syarifah Amelia Als Amel Binti Akhmad Satiri. Dan pada 2019 silam, Fahri Bachmid menjadi Tim Kuasa Hukum Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin di Mahkamah Konstitusi bersama gurunya, Yusril Ihza Mahendra.

Sebelumnya, dikutip dari Antara, Hakim tunggal Pengadilan Negeri Ambon, Andi Adha menolak permohonan Ferry Tanay yang diajukan melalui tim kuasa hukumnya dalam perkara praperadilan nomor 1/Pid.pra/2021/PN. Amb pada 9 Februari 2021.

"Menyatakan menolak permohonan praperadilan yang diajukan pemohon dan membebankan biaya perkara kepada pemohon yang jumlahnya nihil," kata Andi dalam persidangan di Ambon.

Dalam praperadilan terhadap Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku tersebut, Ferry Tanaya selaku pemohon didampingi tim kuasanya yakni Herman Koedoeboen, Firel Sahetapy, dan Hendrik Lusikoy.

Dalam persidangan tertanggal 25 Februri 2021, untuk menghadapi ahli yang diajukan kuasa pemohon yakni Said Karim, Guru Besar Fakultas Hukum Unhas Makassar (Sulsel), Kejati Maluku selaku termohon mengajukan pakar hukum Unpatti Ambon, Reimon Supusepa dan Fahri Bachmid.

Keterangan dua ahli yang diajukan termohon sukses mematahkan semua dalil dan pendapat ahli yang diajukan pemohon.

Misalnya dalam perkara praperadilan tidak dikenal azas ne bis in idem berdasarkan pertimbangan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 21/PUU-XI/2014.

Kemudian pertimbangan MK dalam keputusan nomor 42/PUU-XV/2017 yang menolak permohonan dari pemohon Anthony ChandraKartawira, serta Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 4 tahun 2016, karena dalam praperadilan hanya memeriksa manejemen administrasi penanganan perkara dan tidak memeriksa pokok perkara.

Penyampaian SPDP sebagaimana dimaksud dalam putusan MK nomor 130/PUU-XII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yang diwajibkan penyidik menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban atau pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari hanya diperuntukkan bagi perkara klacht delict, tidak diperuntukkan bagi tindak pidana yang dikategorikan sebagai ekstra ordinary crime.

Keputusan praperadilan tidak menggugurkan kewenangan penyidik untuk kembali menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagaimana jelas diatur dalam pasal 2 ayat (3) PERMA nomor 4 tahun 2016 tentang larangan peninjauan kembali putusan praperadilan, sepanjang penyidik yakin dan memiliki dua alat bukti sebagaimana diatur dalam PERMA tersebut juncto putusan MK nomor 42/PUU-XV/2017 tanggal 10 Oktober 2017.

Putusan MK ini hakikatnya merumuskan bahwa meski pun alat bukti tersebut tidak baru dan masih berkaitan dengan perkara sebelumnya akan tetapi adalah alat bukti yang telah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat formalitas semata.

(mdk/cob)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
PN Jaksel Kandaskan Perlawanan Direktur Bukaka Sofiah Balfas Terhadap Kejagung
PN Jaksel Kandaskan Perlawanan Direktur Bukaka Sofiah Balfas Terhadap Kejagung

Sofiah Balfas sebelumnya mengajukan praperadilan terkait penetapan tersangka korupsi proyek Tol MBZ oleh Kejagung.

Baca Selengkapnya
MA Tolak Kasasi Dua Terdakwa Kasus Korupsi Tambang Pasir Besi di NTB
MA Tolak Kasasi Dua Terdakwa Kasus Korupsi Tambang Pasir Besi di NTB

Putusan kasasi kedua terdakwa itu berdasarkan keterangan yang tersampaikan dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) milik Mahkamah Agung.

Baca Selengkapnya
Hakim MA Diduga Tidak Netral di PK Mardani H Maming, KY Didorong Turun Tangan
Hakim MA Diduga Tidak Netral di PK Mardani H Maming, KY Didorong Turun Tangan

"KY harus mengawal kasus ini karena kekhawatiran masyarakat itu pasti didasarkan pada indikasi-indikasi yang kuat,“ kata Abdul Fickar

Baca Selengkapnya
Hakim Tolak Praperadilan Gus Muhdlor, Penetapan Tersangka Kasus Korupsi Tetap Sah
Hakim Tolak Praperadilan Gus Muhdlor, Penetapan Tersangka Kasus Korupsi Tetap Sah

Gus Muhdlor sebagai tersangka adalah sah menurut hukum

Baca Selengkapnya
MA Tolak Kasasi Mardani Maming, Ganjar Hukuman Bayar Uang Pengganti Tetap Rp110 Miliar
MA Tolak Kasasi Mardani Maming, Ganjar Hukuman Bayar Uang Pengganti Tetap Rp110 Miliar

Mardani Maming merupakan terpidana suap izin usaha pertambangan (IUP) Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Baca Selengkapnya
Esk Komisioner KPK Kritik Akademisi yang Mendadak Bela PK Mardani H Maming
Esk Komisioner KPK Kritik Akademisi yang Mendadak Bela PK Mardani H Maming

Haryono Umar mengatakan, tidak ada yang salah dari eksaminasi itu jika diselipi alat bukti baru.

Baca Selengkapnya
MA Tolak Kasasi KPK, Perintahkan Harta Istri Rafael Alun Trisambodo Dikembalikan
MA Tolak Kasasi KPK, Perintahkan Harta Istri Rafael Alun Trisambodo Dikembalikan

Kasasi ini terkait kasus kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rafael Alun Trisambodo.

Baca Selengkapnya
Hakim Tolak Eksepsi Rafael Alun
Hakim Tolak Eksepsi Rafael Alun

Rafael bersama-sama dengan Ernie Meike didakwa melakukan TPPU ketika bertugas sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 2002 hingga 2010.

Baca Selengkapnya
MA Minta KPK Kembalikan Rumah Rafael Alun yang Disita
MA Minta KPK Kembalikan Rumah Rafael Alun yang Disita

Selain rumah, MA juga meminta KPK mengembalikan uang bernilai ratusan juta rupiah kepada istri Rafael Alun.

Baca Selengkapnya
Pakar Minta MA Tolak PK Mardani H Maming: Hakim Harus Merdeka Tegakkan Hukum dan Keadilan
Pakar Minta MA Tolak PK Mardani H Maming: Hakim Harus Merdeka Tegakkan Hukum dan Keadilan

MA diminta tetap menjadi lokomotif pemberantasan korupsi di Indonesia seiring dengan adanya pemerintahan baru.

Baca Selengkapnya
KPK Minta Hakim MA Tolak PK Mardani H Maming
KPK Minta Hakim MA Tolak PK Mardani H Maming

KPK menilai alasan pengajuan PK Mardani H Maming tidak sesuai dengan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

Baca Selengkapnya
Eksaminasi Perkara Mardani H Maming, MAKI Minta Pakar Hukum Hormati Putusan Hakim
Eksaminasi Perkara Mardani H Maming, MAKI Minta Pakar Hukum Hormati Putusan Hakim

Boyamin memandang, eksaminasi yang dilakukan para pakar hukum sebagai dinamika belaka.

Baca Selengkapnya