AJI Tanggapi Gugatan Pemutusan Internet Ditolak MK: Contoh Nyata Kesesatan Berpikir
Merdeka.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selaku salah satu pihak pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 40 Ayat (2b) terkait pemblokiran dan pembatasan akses internet di Papua, merasa kecewa atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"AJI tentu sangat kecewa dengan putusan majelis hakim ini dan saya pikir ini contoh nyata dari kesesatan berpikir gitu ya," kata Ketua Umum AJI Sasmito Madrim seperti dikutip lewat channel youtube, Jumat (29/10).
Lantaran gugatan yang dilayangkannya, bersama Arnoldus Belau perwakilan dari media Suarapapua.com untuk perjelas regulasi pemerintah terhadap kewenangan memblokir akses internet maupun pemblokiran secara sepihak telah ditolak majelis hakim MK.
-
Dimana gugatan diajukan? 1. Penggugat atau kuasanya mendaftar gugatan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.
-
Siapa yang mengajukan gugatan ke MK? Diketahui, ada 11 pihak yang menggugat aturan batas usia capres dan cawapres ke MK. Dengan sejumlah petitum.
-
Siapa yang terancam diblokir Kominfo? Dari enam Online Travel Agent (OTA) yang terancam diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), kabar terbarunya sudah ada tiga penyelenggara sistem elektronik (PSE) asing yang telah mendaftar.
-
Siapa yang mengajukan gugatan praperadilan? Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Bandung Eman Sulaeman mengabulkan permohonan gugatan sidang praperadilan oleh pihak pemohon yakni Pegi Setiawan terhadap Polda Jabar.
"Karena kita tahu demokrasi kita saat ini sedang tidak baik-baik gitu, oleh karena itu regulasi-rugalisi yang buram seperti pasal 40 Ayat 2b UU ITE ini harus diperjelas. Karena ada potensi penyelahgunaan kekuasaan di situ, itu harus diminimalisir," katanya.
Menurutnya, dengan ditolaknya gugatan ini akan menciptakan kesesatan berpikir yang membenarkan kesalahan tindakan kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir akses internet maupun konten secara sepihak.
"Argumentasi bahwa penjabat otoritas terkait selaku benar. Pejabat yang memblokir konten selalu dianggap selalu benar oleh majelis hakim," sebutnya.
Padahal AJI, kata Sasmito, telah membawa kasus nyata yang dialami Suarapapua.com tatkala kontennya diblokir secara sepihak tanpa penjelasan yang jelas dari pemerihtan. Dimana kasus itu terjadi pada 2016, Kominfo secara sepihak tanpa alasan yang jelas memblokir konten Suarapapua.com.
"Waktu itu, suarapapua.com tahun 2016 diblokir tanpa penjelasan yang masuk akal dan jelas. Ketika teman-teman menanyakan konten seperti apa yang dianggap memuat konten negatif, Kominfo juga tidak bisa menjelaskan," tuturnya.
Oleh karena itu, menjadi alasan Sasmito bersama organisasi masyarakat sipil lainnya melayangkan gugatan Undang- undang tersebut ke MK. Agar pemerintah tidak bisa bertindak secara sewenang- wenang.
"Jadi kami mendorong AJI, Suarapapua, dan kuasa hukum lainnya supaya ada putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN) sebelum ada pemblokiran," ujarnya.
"Jadi tidak hanya notifikasi, atau pemberitahuan. Jadi harus ada putusan putusan pengadilan tata usaha negara yang menjelaskan secara pasti dasar pemblokiran kontennya seperti apa," tambahnya.
Pasalnya, jika aturan tersebut tidak diperjelas. Bukan tidak mungkin apa yang dialami Suarapapua.com bisa dialami media lainnya yang pada akhirnya berdampak merugikan bagi para jurnalis maupun perusahaan media.
"Ketika hasil liputan teman-teman dianggap negatif, ini kemudian diblokir kontennya tanpa penjelsan yang masuk akal dan tanpa transparansi ke publik.Dari pertimbangannya majelis hakim sangat tergambar gitu ya, majelis hakim hanya menilai internet sebagai ancaman padahal fungsi internet dalam pemberdayaan masyarakat sangat banyak dan tidak masuk ke dalam pertimbangan majelis hakim," sebutnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan uji materi Pasal 40 ayat 2b terkait tindakan pemerintah yang memutus internet sebagaimana Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). MK berpendapat tindakan itu konstitusional.
"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman, saat sidang seperti dikutip melalui channel YouTube MK, Rabu (27/10).
Dalam gugatannya, para pemohon yakni Arnoldus Belau selaku perorangan dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili Abdul Manan berdalil jika Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 280 ayat (1), Pasal 28F UUD 1945.
Menurut mereka, tindakan pemerintah dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses adalah melanggar hukum.
Sebaliknya, hakim mahkamah dalam pertimbangnya menilai bila dalam norma Pasal 40 ayat (2b) UU ITE telah memuat adanya prosedur yang mesti dilakukan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan pemutusan akses.
"Terkait dengan adanya pemutusan akses, telah pula disediakan aturan mengenai tata cara untuk menormalkan atau memulihkan sehingga tetap terjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban semua pihak dalam penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana cerminan kehidupan dalam suatu negara hukum," kata hakim.
Sehingga, hakim menyatakan tindakan pemutusan akses internet tidaklah bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 3 UU 1945. Karena, melihat internet sangat cepat dan tidak mengenal ruang dan waktu hanya bisa diputus untuk menghindari dampak yang lebih buruk.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dengan alasan untuk membangun dan menjaga etika dalam penyelenggaraan pemerintahan, mewajibkan check and balance demi kepastian," katanya.
Namun demikian, dalam putusan kali ini dari sembilan hakim terdapat dua hakim mahkamah konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinions), mereka adalah Saldi Isra dan Suhartoyo.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi membeberkan alasan menghentikan kasus Aiman.
Baca SelengkapnyaGugatan perdata lima eks staf khusus Gubernur Sulawesi Selatan terhadap dua media dan jurnalis di Makassar sebesar Rp700 miliar ditolak hakim PN Makassar.
Baca Selengkapnyakuasa hukum Aiman juga menghadirkan dua ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan praperadilan
Baca SelengkapnyaGugatan Aiman itu terkait penyitaan handphone dan akun media sosialnya.
Baca SelengkapnyaHakim MK, Suhartoyo membacakan putusan bahwa majelis menolak seluruh permohonan pemohon secara keseluruhan.
Baca SelengkapnyaLeonardus menegaskan, penyitaan handphone milik Aiman telah berdasarkan surat penyitaan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baca SelengkapnyaHakim MK Daniel menyebut mahkamah tidak mendapat keyakinan akan kebenaran dalil yang diajukan oleh pemohon
Baca SelengkapnyaSelain saksi ahli, Aiman juga membawa alat bukti lainnya berupa dokumen terkait kasus yang sedang dimohonkan dalam praperadilan di PN Jaksel.
Baca Selengkapnya"PPP telah berjuang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya," kata Sekjen PPP kata Arwani
Baca SelengkapnyaMK memutuskan menolak seluruh permohonan sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan kubu Anies-Cak Imin, Senin (22/4)
Baca SelengkapnyaTidak Ada Senyum, Ini Ekspresi Anies Saat Hakim MK Tolak Seluruh Gugatan Sengketa Pilpres 2024
Baca SelengkapnyaRevisi UU Penyiaran: Sengketa Produk Jurnalistik Tidak Lagi Melalui Dewan Pers
Baca Selengkapnya