Alasan Divkum Polri Jadi Pengacara Terdakwa Kasus Penyerangan Novel Baswedan
Merdeka.com - Divisi Hukum (Divkum) Mabes Polri menjadi pengacara dua terdakwa kasus penyerangan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Dua oknum polisi aktif tersebut mendapatkan pendampingan hukum Polri selama persidangan.
Kadiv Humas Polri Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono menyampaikan, hal tersebut sudah sesuai dengan aturan.
"Tugas Divkum mendampingi anggotanya," tutur Argo saat dikonfirmasi, Kamis (14/5).
-
Apa yang ditayangkan di persidangan? Rekaman CCTV tersebut tidak boleh dibagikan kepada pihak ketiga, termasuk media.
-
Siapa yang meneteskan air mata di persidangan? Di dalam ruang sidang, Ristya Aryuni, yang duduk bersama beberapa anggota keluarganya, tampak menangis saat saksi memberikan keterangannya di hadapan majelis hakim. Ristya beberapa kali terlihat mengelap air matanya dengan tisu.
-
Siapa yang dituduh melakukan kekerasan? Menurut Vanessa, Yudha Arfandi lah yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Tamara Tyasmara.
-
Bagaimana Kejagung mengusut kasus ini? “Iya (dua penyidikan), itu tapi masih penyidikan umum, sehingga memang nanti kalau clear semuanya kita akan sampaikan ya,“ tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (15/5/2023). Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Kuntadi mengatakan, dua kasus tersebut berada di penyidikan yang berbeda. Meski begitu, pihaknya berupaya mendalami temuan fakta yang ada.
-
Bagaimana proses kasus ini? 'Pada, 17 Mei 2024 Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kantor Kejati DKI Jakarta telah menyatakan lengkap berkas perkara (P21),' kata Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak dalam keteranganya, Selasa (21/5).
-
Apa pasal yang dikenakan pada pelaku? Para pelaku terjerat pasal penganiayaan dan pencabulan anak yakni pasal 76 C dan Pasal 80 ayat 3 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.
Menurut Argo, persidangan yang telah berlangsung memberikan mekanisme hukum bagi pihak-pihak yang keberatan dengan hal tersebut.
"Silakan saja keberatan penasehat hukum diajukan ke pimpinan sidang," kata Argo.
Tim Advokasi Novel Baswedan menyatakan ada sembilan kejanggalan dalam proses persidangan kasus penyerangan air keras terhadap penyidik Novel Baswedan. Menurut mereka, proses persidangan belum bisa mencari fakta real dalam kasus yang terjadi tahun 2017 ini.
Dijelaskan oleh Kurnia Ramadhana, perwakilan Tim Advokasi, kejanggalan pertama bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menunjukkan kasus ini hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa, dan bukan berkait kerja pemberantasan korupsi yang diindikasi dengan teror sistematis juga pelemahan KPK melalui para penyidiknya.
"Dakwaan Jaksa sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri dan Komnas HAM untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya juga aktor intelektual," tulis Kurnia lewat siaran pers diterima, Senin (11/5/2020).
Kedua, lanjut Kurnia, JPU diduga tidak merepresentasi negara yang mewakili korban. Malahan, JPU dirasa membela kepentingan terdakwa dengan isi surat dakwaan yang berisi pasal penganiayaan biasa dan bukan perbuatan mengancam nyawa. Lebih dari itu, air keras yang diketahui sebagai alat serang terdakwa dinyatakan berasal air accu. Padahal diketahui cairan keduanya memiliki zat reaktif yang
"Tentu ini pernyataan sesat, sebab sudah terang benderang bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel kehilangan penglihatan," tegas Kurnia.
Ketiga, Kurnia merasa, majelis hakim cenderung pasif dan tidak objektif dalam mencari kebenaran materiil. Sebab, selama jalannya persidangan hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh, Hakim cenderung sebatas menggali fakta dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian oleh pelaku penyerangan dan dampak penyerangan.
"Hakim tidak menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan terkait nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan," tutur Kurnia.
Keempat, Kurnia juga mengkritisi, terdakwa penyerangan Novel Baswedan yang mendapat pendampingan hukum dari institusi Polri. Sebab, keduanya, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, diketahui sebagai oknum polisi aktif.
"Para terdakwa justru dibela oleh institusi Polri, proses pendampingan itu pun harus dipertanyakan. Atas dasar apa institusi Polri mendampingi mereka? Pembelaan oleh Institusi Kepolisian tentu akan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus ini yang diketahui diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian," pandang Kurnia.
Kelima, bahwa Tim Advokasi Novel Baswedan menilai adanya manipulasi barang bukti di persidangan. Seperti dari CCTV yang dihiraukan oleh penyidik sampai pada dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting.
"Ada juga sidik jari yang tidak mampu diidentifikasi kepolisian pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk melakukan penyiraman terhadap Novel. Selain itu, dalam persidangan Kamis, 30 April 2020 yang lalu ditemukan keanehan dalam barang bukti baju yang dikenakan Novel pada saat kejadian terpotong bagian depannya diduga menghilangkan bekas siraman air keras di titik itu," beber Kurnia.
Keenam JPU dinilai mengaburkan fakta air keras yang digunakan untuk penyiraman. Ketujuh, kasus kriminalisasi Novel kembali diangkat diduga untuk mengaburkan fokus pengungkapan kasus penyerangan Novel Baswedan dan KPK. Kedelapan, adanya alat bukti saksi dalam berkas persidangan yang dihilangkan. Kendati baru diketahui dari JPU bahwa terdapat saksi kunci penyerangan Novel Baswedan yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri.
"Berkas BAP diduga dihilangkan dan tidak diikutkan dalam berkas pemeriksaan persidangan oleh Jaksa. Ini merupakan temuan dugaan pelanggaran serius, bentuk upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan novel baswedan secara terang," tegas Kurnia.
Kesembilan, saat pemeriksaan saksi korban di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 30 April 2020, ruang pengadilan penuhi dengan aparat kepolisian dan orang-orang yang diduga dikoordinasikan untuk menguasai ruang persidangan. Hal ini menjadi kejanggalan Tim Advokasi Novel Baswedan yang mengindikasikan apakah publik dan tim kuasa hukum tak diberi ruang untuk memantau jalannya persidangan.
Reporter: Nanda Perdana PutraSumber: Liputan6.com
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dalam sidang, saksi ahli dari dihadirkan tim hukum Timnas Anies-Muhaimin dicecar pertanyaan tim hukum Prabowo-Gibran.
Baca Selengkapnyapenjamin adalah keluarga, kami berharap ini bisa majelis hakim pertimbangan dan bisa memberikan penangguhan kepada Dito Mahendra," kata Pengacara Dito
Baca SelengkapnyaKubu Pegi menilai penetapan tersangka kliennya janggal. Karena dalam berkas DPO hanya disebut Pegi alias Perong.
Baca SelengkapnyaHakim sebelumnya menyatakan penetapan status tersangka Firli dilakukan Polda Metro Jaya sah secara hukum.
Baca SelengkapnyaSidang Putusan Gugatan Firli dipimpin oleh hakim tunggal Imelda Herawati telah membuka proses sidang.
Baca SelengkapnyaPengadilan Negeri (PN) Bandung, mengabulkan praperadilan yang diajukan oleh Pegi Setiawan.
Baca SelengkapnyaKPK angkat bicara dituding membohongi publik oleh mantan penyidiknya yang kini menjadi ASN Polri Novel Baswedan.
Baca SelengkapnyaDalam persidangan perdana Pegi pada 24 Juni dan ditunda 1 Juli 2024, KY sudah melakukan pemantauan perkara
Baca SelengkapnyaPolda Jabar menghadirkan Ahli pidana dari Universitas Pancasila, Prof Agus Surono.
Baca SelengkapnyaSidang sempat berlangsung panas ketika tim kuasa hukum Haris & Fatia bertanya terkait riset dibalas dengan kriminalisasi.
Baca SelengkapnyaSaling Teriak, Ribut Keras Kuasa Hukum Haris & Fatia Adu Mulut Lawan Jaksa di Sidang
Baca SelengkapnyaPihak Pegi telah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang diajukan untuk menghadapi lanjutan sidang pada hari ini.
Baca Selengkapnya