Analisis Pakar Hukum Tata Negara soal Putusan PN Jakut, Bisakah Tunda Pemilu?
Merdeka.com - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menanggapi putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima. Fahri menilai putusan yang meminta KPU tidak melanjutkan tahapan Pemilu 2024 dan kembali melakukan tahap verifikasi merupakan di luar kuasa atau ultra vires.
"Secara hukum putusan hakim dalam perkara No. 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst adalah 'ultra vires' atau dengan kata lain 'beyond the power'," kata Fahri dalam keterangannya, dikutip Jumat (3/3).
Sebab, Fahri memandang penundaan Pemilu atas putusan PN Jakarta Pusat menghukum KPU tidak melanjutkan dan kembali melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari berpotensi menciptakan kekacauan ketatanegaraan.
-
Bagaimana skenario tunda pemilu bisa terjadi? Pada awal tahun 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang mengejutkan terkait penundaan pemilu 2024. Skenario Tunda Pemilu Putusan ini menimbulkan dugaan bahwa ada rencana dari sekelompok tertentu untuk mengatur penundaan pemilu tersebut.
-
Apa dampak skenario tunda pemilu? Implikasi dari penundaan ini adalah memunculkan ketidakpastian politik, potensi timbulnya konflik, serta meragukan legitimasi pemerintahan berikutnya.
-
Pemilu 2024 kapan dilaksanakan? Pada tahun 2024, pemilu akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari.
-
Kapan Pemilu 2024 dilaksanakan? Pemilu 2024 akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024.
-
Kapan Pemilu 2024 akan dilaksanakan? Sesuai aturan yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pmeilihan Umum (KPU), pemilu 2014 akan dilaksanakan pada 14 Februari.
-
Mengapa masa kerja PPS Pilkada 2024 bisa diperpanjang? Namun, jika terjadi situasi khusus seperti pemungutan dan penghitungan suara ulang, Pemilu susulan atau Pemilu lanjutan, dan Pemilihan susulan atau Pemilihan lanjutan, maka masa kerja PPS bisa diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
Baca berita Pemilu di Liputan6.com
"Sehingga konsekuensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat null and void (batal demi hukum) atau bersifat van rechtswege nietig/null end void, sehingga tidak dapat dieksekusi," ujar Fahri.
Menurutnya, hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu, berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini. Sebagaimana telah diatur sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu telah telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi dua jenis yaitu Pelanggaran dan Sengketa.
Pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi tiga jenis yaitu Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Kode Etik dan Pelanggaran Pidana. Sedangkan untuk Sengketa terbagi menjadi dua yaitu Sengketa Proses dan Sengketa Hasil.
"Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa dispute baik pelanggaran maupun sengketa," katanya.
Oleh karena itu, Fahri menambahkan, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum, terkhusus penyelesaian pelanggaran dan sengketa.
Di antaranya, Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dimana, penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik caton Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU lhbupaten/Kota.
Ketentuan ayat (2) mengatur : Sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
"Dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, yang tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus. Sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai never existed oleh karena hakim mengokupasi kewenangan kekuasaan lembaga peradilan lain," jelasnya.
Alhasil, Fahri menegaskan bila putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekuensinya potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya. Sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional.
"Misalnya, presiden RI akan berakhir masa jabatannya pada 20 oktober 2024, dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate," ucapnya.
"Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini," tambah dia.
Fahri berpendapat, Idealnya putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa Perdata oleh pengadilan negeri tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan. Karena hanya bersifat dari putusan perdata mengikat para pihak dalam rezim sengketa.
Artinya, menurut Fahri Bachmid, putusan PMH itu tidak bersifat ergo omnes (mengikat semuanya)" yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenangan publik.
"Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik," imbuhnya.
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Muncul isu skenario tunda pemilu pada awal tahun 2023.
Baca SelengkapnyaOtto Hasibuan mengingatkan dorongan pemilu ulang tidak bisa sembarangan dilakukan karena dapat berdampak pada agenda kenegaraan.
Baca SelengkapnyaMK berpendapat Pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal.
Baca SelengkapnyaUsulan penundaan Pemilu 2024 kali ini diutarakan Bawaslu.
Baca SelengkapnyaTim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis tidak sepakat dengan pernyataan Tim Pembela Prabowo-Gibran
Baca SelengkapnyaDPR dan pemerintah bersama-sama harus merevisi Undang-Undang Pemilu sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Baca SelengkapnyaBawaslu menilai Pilkada sangat rentan memicu masalah besar.
Baca SelengkapnyaBanyaknya tahapan Pilkada 2024 yang akan bersinggungan dengan tahapan Pemilu nasional 2024.
Baca SelengkapnyaTiti menegaskan bahwa putusan MK tidak boleh disimpangi oleh semua pihak.
Baca SelengkapnyaTPN Ganjar-Mahfud memastikan bakal mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi.
Baca SelengkapnyaKPU masih menunggu sikap MK dalam menangani sengketa Pemilu terbaru yang bakal bergulir di MK.
Baca SelengkapnyaKPU tengah merancang keputusan untuk mempersiapkan peluang putaran kedua Pilgub Jakarta 2024
Baca Selengkapnya