Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Anis Matta Ingatkan Waspada Dampak Perang Supremasi Amerika dan China

Anis Matta Ingatkan Waspada Dampak Perang Supremasi Amerika dan China Ketua Umum DPN Partai Gelora Anis Matta. ©Media Center DPN Partai Gelora Indonesia

Merdeka.com - Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menilai, perubahan kekuasaan yang terjadi di Afghanistan kemungkinan besar memiliki pengaruh tertentu bagi Indonesia.

"Karena sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki relasi dengan negara-negara Islam lainnya, termasuk Afghanistan," kata Chappy saat menjadi pembicara Webinar Moya Institute bertajuk ‘Dampak Berkuasanya Kembali Taliban Bagi Keamanan Indonesia’, dikutip dari Antara, Jumat (10/9).

Apalagi, lanjut dia, dalam sejarahnya, Afghanistan pernah menjadi ‘training center’ para teroris. "Hal ini yang harus kita waspadai," ujar Chappy.

Terkait Taliban sendiri, Chappy mengamati bahwa Taliban itu tidak utuh dan masih ada faksi-faksi yang belum solid.

"Sebagai pemerintahan, Taliban belum efektif. Maka masih terlalu dini apabila Indonesia memberikan endorse pada Taliban," ujar Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) itu.

Meski, Taliban menyatakan akan menjadi pemerintahan yang inklusif dan lainnya, tambah dia, tapi masih harus diuji kebenarannya.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyatakan, Indonesia harus bisa mengantisipasi agar tidak menjadi 'residu' dari 'perang' supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Anis mengatakan, Indonesia harus mewaspadai dampak perang supremasi itu, karena Indonesia dekat dengan salah satu spot perang supremasi tersebut, yakni Laut China Selatan.

Guna mengantisipasi perang supremasi itu, Anis memberi catatan penting bagi Angkatan Perang atau Militer Indonesia.

"Ingat, di Militer Indonesia ini, sudah puluhan tahun tidak punya pengalaman perang yang besar," ujar Anis.

Hal penting berikutnya yang perlu diwaspadai, sambung Anis, adalah ketimpangan ekonomi. Berdasarkan pengamatan Anis, ketimpangan ekonomi di Indonesia terkait dengan dua isu lainnya, yakni agama dan etnis.

"Sebab, kemiskinan ini banyak dialami oleh umat Islam, dan yang dominan di perekonomian adalah etnis China. Isu ini, bila dimanfaatkan oleh global player yang masuk, akan menciptakan kekacauan di negeri ini. Maka, pemerintah harus menangani ini secara serius," tuturnya.

Terkait berkuasanya Taliban di Afghanistan, Anis menilai hal itu tak memiliki dampak besar bagi keamanan Indonesia. Sebab, narasi yang dibawa Taliban saat ini, sudah sangat berbeda dengan Taliban pada dekade 1990-an.

"Taliban kini memberi pengampunan pada orang-orang yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya. Taliban kini juga menyatakan diri sebagai Imarah Islamiyyah, bukan Khilafah Islamiyyah, yang artinya Taliban hanya ingin berdaulat di teritori Afghanistan," papar mantan Politikus PKS itu.

Webinar itu juga diisi oleh Mantan Duta Besar RI untuk PBB Prof. Dr. Makarim Wibisono, Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan dan Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto sebagai pemantik diskusi.

Taliban Sibuk Urusan Logistik

Prof Makarim Wibisono menyatakan, berkuasanya kembali Taliban di Afghanistan belum berdampak bagi keamanan nasional Indonesia. Sebab, Afghanistan ini masih sibuk dengan urusan domestiknya.

"Sebelum pandemi, separuh penduduk Afghanistan berada di bawah garis kemiskinan. Dan ini bertambah setelah pandemi. Hal inilah yang menjadi fokus bagi Taliban," ujar Makarim.

Selain itu, lanjut Makarim, negeri Afghanistan yang multi etnik dan afiliasi politik, merupakan 'pekerjaan rumah' besar juga bagi Taliban. Untuk membentuk pemerintahan yang stabil, Taliban harus mampu mengintegrasikan seluruh faksi di Afghanistan.

"Taliban itu Khan didukung oleh sebagian besar etnis Pashtun. Sedangkan etnis-etnis lain memiliki afiliasi politik nya sendiri, seperti Hazara yang mendukung faksi Syiah, Uzbek yang nasionalis, dan Tajik yang mendukung Islam moderat. Nah Taliban harus bisa membentuk pemerintah stabil ditengah faksionalisasi ini," ujar Makarim.

Bagi Pengamat Politik Internasional Prof Imron Cotan, dia sepakat Taliban disibukkan oleh situasi dalam negerinya. Tapi, menurut Imron, yang lebih berat lagi bagi Taliban sebetulnya adalah perjuangan memperoleh pengakuan internasional.

Namun, hal itupun bukan tidak mungkin diraih apabila melihat fakta bahwa Direktur Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), William Burns, menggelar pertemuan rahasia dengan salah satu pemimpin Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar di Kabul, belum lama ini.

"Jadi selama mereka mendirikan pemerintahan yang all inclusive dan menghargai HAM, maka tak sulit bagi mereka untuk memperoleh itu (pengakuan internasional)," ujar Imron.

Imron juga menyoroti segelintir orang di Indonesia yang menilai kemenangan Taliban di Afghanistan menjadi inspirasi untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia. Imron menganggap, angan-angan semacam itu adalah kebodohan. Sebab, Indonesia dari dulu merupakan negara yang moderat dan berada 'di tengah’.

"Jadi Masyarakat Indonesia itu memang kalau menurut istilah tokoh-tokoh NU adalah Umattan Wassatan. Yakni masyarakat tengah yang moderat. Karena itu dalam sejarah, pemberontakan kiri atau kanan di Indonesia tidak pernah berhasil," ujar Imron.

Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyatakan, kemenangan Taliban dan hengkangnya Amerika Serikat dari Afghanistan, cukup mengagetkan dunia.

Hal itu, menurut Hery, mengingatkan publik dunia pada kekalahan Amerika di Vietnam dekade 1970-an.

Dan bagi Indonesia, lanjut Hery, kemenangan Taliban juga menimbulkan kekhawatiran. Ideologi Islam yang keras dari Taliban dikhawatirkan bisa mengilhami kelompok-kelompok serupa di Indonesia untuk melakukan gerakan serupa dengan Taliban

"Bukan rahasia apabila Taliban ini dinilai oleh publik dunia termasuk Indonesia, sebagai kelompok Islam yang keras dan tekstualis. Hal ini yang menimbulkan kekhawatiran sebagian masyarakat di Indonesia," ujar Hery.

(mdk/rnd)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Survei ISDS dan Litbang Kompas: Publik Anggap China Ancaman Bagi Asean di Laut China Selatan
Survei ISDS dan Litbang Kompas: Publik Anggap China Ancaman Bagi Asean di Laut China Selatan

Responden mengharapkan bentuk kerja sama dengan negara Asean sebanyak 47,0 persen untuk membuat aliansi Pertahanan.

Baca Selengkapnya
China Geram, Amerika Serikat Beri Dana Bantuan Militer Rp8,1 Triliun ke Filipina
China Geram, Amerika Serikat Beri Dana Bantuan Militer Rp8,1 Triliun ke Filipina

Aksi Manila ini sering memicu konflik terbuka dengan penjaga pantai China.

Baca Selengkapnya
Menko Polhukam: Perlu Hati-hati Menangani Konflik Laut China Selatan
Menko Polhukam: Perlu Hati-hati Menangani Konflik Laut China Selatan

"Perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang," kata Menko Polhukam

Baca Selengkapnya
SBY Bicara Geopolitik Jelang Debat Capres: Presiden Indonesia Mendatang Harus Bisa Mainkan Politik Luar Negeri yang Cerdas
SBY Bicara Geopolitik Jelang Debat Capres: Presiden Indonesia Mendatang Harus Bisa Mainkan Politik Luar Negeri yang Cerdas

Indonesia kerap dipandang sebagai regional power dan sekaligus global player

Baca Selengkapnya
Namanya Terseret Klaim Laut Cina Selatan AS & Tiongkok, Begini Reaksi Prabowo Subianto
Namanya Terseret Klaim Laut Cina Selatan AS & Tiongkok, Begini Reaksi Prabowo Subianto

Terkait masalah Laut China Selatan, pihak pemerintah China membantah pernyataan Kemenhan AS.

Baca Selengkapnya
OPINI: Peran Teknologi dan Maritime Domain Awareness untuk Kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan
OPINI: Peran Teknologi dan Maritime Domain Awareness untuk Kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan

Teritorial LCS merupakan kawasan perairan yang menjadi sorotan negara yang memiliki kepentingan keamanan dan ekonomi.

Baca Selengkapnya
Jokowi Ajak AS Jaga Kekuatan Positif Demi Perdamaian Kawasan Indo-Pasifik
Jokowi Ajak AS Jaga Kekuatan Positif Demi Perdamaian Kawasan Indo-Pasifik

Pernyataan itu muncul di tengah persaingan dua kekuatan besar dunia AS dan China, untuk berebut pengaruh di Indo-Pasifik.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Mahfud Sebut Kesepakatan Prabowo Xi Jinping Singgung Laut China Selatan
VIDEO: Mahfud Sebut Kesepakatan Prabowo Xi Jinping Singgung Laut China Selatan "Jadi Masalah Baru"

Mahfud menilai, kesepakatan Prabowo dan Xi Jinping bisa menjadi masalah baru di kawasa

Baca Selengkapnya
Konflik LCS, Kepala Bakamla Ingin TNI Diperkuat Melebihi China
Konflik LCS, Kepala Bakamla Ingin TNI Diperkuat Melebihi China

Irvansyah juga mengusulkan Kota Ranai di Natuna dibuat seperti stasiun atau pangkalan untuk titik kumpul anggota.

Baca Selengkapnya
Said Abdullah Sebut Tantangan Ekonomi Global Berat Setelah Trump Jadi Presiden AS Lagi
Said Abdullah Sebut Tantangan Ekonomi Global Berat Setelah Trump Jadi Presiden AS Lagi

Said menyebut Trump akan menaikan bea masuk ke AS, di mana kebijakan tersebut akan berdampak ke negara-negara yang selama ini menjadi mitra.

Baca Selengkapnya
Kerja Sama Maritim Prabowo dengan China Dinilai Bahayakan Isu Natuna di Laut China Selatan, Ini Jawaban Kemlu
Kerja Sama Maritim Prabowo dengan China Dinilai Bahayakan Isu Natuna di Laut China Selatan, Ini Jawaban Kemlu

Sejumlah pengamat mengkhawatirkan kerja sama Indonesia-China dalam sektor maritim di Laut China Selatan.

Baca Selengkapnya
Soal Konflik Laut China Selatan, Anies Soroti Ganjar Tak Singgung ASEAN
Soal Konflik Laut China Selatan, Anies Soroti Ganjar Tak Singgung ASEAN

Tema debat berkaitan dengan pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik.

Baca Selengkapnya