Anis Matta Ingatkan Waspada Dampak Perang Supremasi Amerika dan China
Merdeka.com - Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menilai, perubahan kekuasaan yang terjadi di Afghanistan kemungkinan besar memiliki pengaruh tertentu bagi Indonesia.
"Karena sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki relasi dengan negara-negara Islam lainnya, termasuk Afghanistan," kata Chappy saat menjadi pembicara Webinar Moya Institute bertajuk ‘Dampak Berkuasanya Kembali Taliban Bagi Keamanan Indonesia’, dikutip dari Antara, Jumat (10/9).
Apalagi, lanjut dia, dalam sejarahnya, Afghanistan pernah menjadi ‘training center’ para teroris. "Hal ini yang harus kita waspadai," ujar Chappy.
-
Apa yang membuat timnas Indonesia harus waspada? Namun, Indonesia harus tetap waspada karena Socceroos memiliki kualitas dan level permainan yang sangat baik.
-
Bagaimana Indonesia hadapi situasi Timur Tengah? 'Jadi kita harus move on dengan tantangan yang tidak biasa dan tentunya membutuhkan soliditas dari seluruh partai politik menghadapi ketidakpastian dunia saat ini,' jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar ini.
-
Siapa yang akan dihadapi Indonesia? Selanjutnya, Jay Idzes dan rekan-rekannya akan menghadapi Jepang. Pertandingan yang dijadwalkan berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta pada 15 November itu menempatkan tim asuhan Shin Tae-yong dalam posisi yang cukup menegangkan.
-
Apa yang terjadi di Indonesia? Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan dalam sepekan ke depan hampir seluruh wilayah di Indonesia akan dilanda suhu panas.
-
Mengapa timnas Indonesia harus menghadapi tim kuat Asia? Pertandingan ini diprediksi akan berlangsung sengit, karena skuad Garuda harus melawan salah satu kandidat juara Asia.
-
Siapa yang membuat pernyataan tentang Indonesia? Tidak ada pembahasan terkait PM Singapura sebut Indonesia sebagai negara yang tidak akan maju karena gila agama.
Terkait Taliban sendiri, Chappy mengamati bahwa Taliban itu tidak utuh dan masih ada faksi-faksi yang belum solid.
"Sebagai pemerintahan, Taliban belum efektif. Maka masih terlalu dini apabila Indonesia memberikan endorse pada Taliban," ujar Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) itu.
Meski, Taliban menyatakan akan menjadi pemerintahan yang inklusif dan lainnya, tambah dia, tapi masih harus diuji kebenarannya.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyatakan, Indonesia harus bisa mengantisipasi agar tidak menjadi 'residu' dari 'perang' supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Anis mengatakan, Indonesia harus mewaspadai dampak perang supremasi itu, karena Indonesia dekat dengan salah satu spot perang supremasi tersebut, yakni Laut China Selatan.
Guna mengantisipasi perang supremasi itu, Anis memberi catatan penting bagi Angkatan Perang atau Militer Indonesia.
"Ingat, di Militer Indonesia ini, sudah puluhan tahun tidak punya pengalaman perang yang besar," ujar Anis.
Hal penting berikutnya yang perlu diwaspadai, sambung Anis, adalah ketimpangan ekonomi. Berdasarkan pengamatan Anis, ketimpangan ekonomi di Indonesia terkait dengan dua isu lainnya, yakni agama dan etnis.
"Sebab, kemiskinan ini banyak dialami oleh umat Islam, dan yang dominan di perekonomian adalah etnis China. Isu ini, bila dimanfaatkan oleh global player yang masuk, akan menciptakan kekacauan di negeri ini. Maka, pemerintah harus menangani ini secara serius," tuturnya.
Terkait berkuasanya Taliban di Afghanistan, Anis menilai hal itu tak memiliki dampak besar bagi keamanan Indonesia. Sebab, narasi yang dibawa Taliban saat ini, sudah sangat berbeda dengan Taliban pada dekade 1990-an.
"Taliban kini memberi pengampunan pada orang-orang yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya. Taliban kini juga menyatakan diri sebagai Imarah Islamiyyah, bukan Khilafah Islamiyyah, yang artinya Taliban hanya ingin berdaulat di teritori Afghanistan," papar mantan Politikus PKS itu.
Webinar itu juga diisi oleh Mantan Duta Besar RI untuk PBB Prof. Dr. Makarim Wibisono, Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan dan Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto sebagai pemantik diskusi.
Taliban Sibuk Urusan Logistik
Prof Makarim Wibisono menyatakan, berkuasanya kembali Taliban di Afghanistan belum berdampak bagi keamanan nasional Indonesia. Sebab, Afghanistan ini masih sibuk dengan urusan domestiknya.
"Sebelum pandemi, separuh penduduk Afghanistan berada di bawah garis kemiskinan. Dan ini bertambah setelah pandemi. Hal inilah yang menjadi fokus bagi Taliban," ujar Makarim.
Selain itu, lanjut Makarim, negeri Afghanistan yang multi etnik dan afiliasi politik, merupakan 'pekerjaan rumah' besar juga bagi Taliban. Untuk membentuk pemerintahan yang stabil, Taliban harus mampu mengintegrasikan seluruh faksi di Afghanistan.
"Taliban itu Khan didukung oleh sebagian besar etnis Pashtun. Sedangkan etnis-etnis lain memiliki afiliasi politik nya sendiri, seperti Hazara yang mendukung faksi Syiah, Uzbek yang nasionalis, dan Tajik yang mendukung Islam moderat. Nah Taliban harus bisa membentuk pemerintah stabil ditengah faksionalisasi ini," ujar Makarim.
Bagi Pengamat Politik Internasional Prof Imron Cotan, dia sepakat Taliban disibukkan oleh situasi dalam negerinya. Tapi, menurut Imron, yang lebih berat lagi bagi Taliban sebetulnya adalah perjuangan memperoleh pengakuan internasional.
Namun, hal itupun bukan tidak mungkin diraih apabila melihat fakta bahwa Direktur Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA), William Burns, menggelar pertemuan rahasia dengan salah satu pemimpin Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar di Kabul, belum lama ini.
"Jadi selama mereka mendirikan pemerintahan yang all inclusive dan menghargai HAM, maka tak sulit bagi mereka untuk memperoleh itu (pengakuan internasional)," ujar Imron.
Imron juga menyoroti segelintir orang di Indonesia yang menilai kemenangan Taliban di Afghanistan menjadi inspirasi untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia. Imron menganggap, angan-angan semacam itu adalah kebodohan. Sebab, Indonesia dari dulu merupakan negara yang moderat dan berada 'di tengah’.
"Jadi Masyarakat Indonesia itu memang kalau menurut istilah tokoh-tokoh NU adalah Umattan Wassatan. Yakni masyarakat tengah yang moderat. Karena itu dalam sejarah, pemberontakan kiri atau kanan di Indonesia tidak pernah berhasil," ujar Imron.
Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menyatakan, kemenangan Taliban dan hengkangnya Amerika Serikat dari Afghanistan, cukup mengagetkan dunia.
Hal itu, menurut Hery, mengingatkan publik dunia pada kekalahan Amerika di Vietnam dekade 1970-an.
Dan bagi Indonesia, lanjut Hery, kemenangan Taliban juga menimbulkan kekhawatiran. Ideologi Islam yang keras dari Taliban dikhawatirkan bisa mengilhami kelompok-kelompok serupa di Indonesia untuk melakukan gerakan serupa dengan Taliban
"Bukan rahasia apabila Taliban ini dinilai oleh publik dunia termasuk Indonesia, sebagai kelompok Islam yang keras dan tekstualis. Hal ini yang menimbulkan kekhawatiran sebagian masyarakat di Indonesia," ujar Hery.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Responden mengharapkan bentuk kerja sama dengan negara Asean sebanyak 47,0 persen untuk membuat aliansi Pertahanan.
Baca SelengkapnyaAksi Manila ini sering memicu konflik terbuka dengan penjaga pantai China.
Baca Selengkapnya"Perlu kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang," kata Menko Polhukam
Baca SelengkapnyaIndonesia kerap dipandang sebagai regional power dan sekaligus global player
Baca SelengkapnyaTerkait masalah Laut China Selatan, pihak pemerintah China membantah pernyataan Kemenhan AS.
Baca SelengkapnyaTeritorial LCS merupakan kawasan perairan yang menjadi sorotan negara yang memiliki kepentingan keamanan dan ekonomi.
Baca SelengkapnyaPernyataan itu muncul di tengah persaingan dua kekuatan besar dunia AS dan China, untuk berebut pengaruh di Indo-Pasifik.
Baca SelengkapnyaMahfud menilai, kesepakatan Prabowo dan Xi Jinping bisa menjadi masalah baru di kawasa
Baca SelengkapnyaIrvansyah juga mengusulkan Kota Ranai di Natuna dibuat seperti stasiun atau pangkalan untuk titik kumpul anggota.
Baca SelengkapnyaSaid menyebut Trump akan menaikan bea masuk ke AS, di mana kebijakan tersebut akan berdampak ke negara-negara yang selama ini menjadi mitra.
Baca SelengkapnyaSejumlah pengamat mengkhawatirkan kerja sama Indonesia-China dalam sektor maritim di Laut China Selatan.
Baca SelengkapnyaTema debat berkaitan dengan pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik.
Baca Selengkapnya