Apa Mungkin Koruptor di Indonesia Dihukum Mati?
Merdeka.com - Korupsi masih menjadi biang kerok permasalahan di Indonesia. Saking gemasnya, masyarakat bahkan tak sedikit yang berharap para maling uang rakyat dihukum mati.
Usulan ini pula yang dilontarkan salah satu siswa SMKN 57 Jakarta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat Prestasi Tanpa Korupsi, Senin (9/12).
"Mengapa negara kita mengatasi korupsi tidak terlalu tegas? Kenapa enggak berani seperti di negara maju misalnya dihukum mati? Kenapa kita hanya penjara tidak ada hukuman tegas?," tanya Harli, salah satu murid di SMKN 57 Jakarta.
-
Bagaimana persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi? Survei Indikator menunjukkan bahwa responden menilai kondisi pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) buruk, dengan jumlah persentase sebesar 32,7 persen.
-
Kenapa menteri Jokowi korupsi? Di mana para menteri yang terjerat korupsi adalah kader partai pendukung pemerintah.
-
Siapa menteri Jokowi yang terlibat korupsi? Para Menteri Jokowi yang Terjerat Kasus Korupsi Dua periode pemerintahan Presiden Jokowi setidaknya ada bebarapa menteri yang terjerat kasus korupsi.
-
Mengapa persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi menurun? Adapun jika melihat trennya, persepsi positif menurun, sebaliknya persepsi negatif meningkat.
-
Mengapa Jokowi digugat? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Kasus korupsi apa yang dilakukan menteri Jokowi? Mantan Menpora Imam Nahrawi Terbukti menerima suap penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora pada KONI Tahun Anggaran (TA) 2018
Jokowi langsung menanggapi pertanyaan tersebut. "Itu yang pertama kehendak masyarakat".
"Kalau korupsi bencana alam dimungkinkan (dihukum mati). Misalnya, ada bencana tsunami di Aceh atau di NTB, kita ada anggaran untuk penanggulangan bencana, duit itu dikorupsi, bisa," jelas Jokowi.
Pertanyaan siswa dan jawaban Jokowi tersebut sontak ramai menjadi pemberitaan dengan angel 'hukuman mati bagi para koruptor'. Jokowi menyebut hukuman mati bisa saja dilakukan kepada koruptor jika masyarakat menghendaki.
Mungkinkah hukuman mati kepada koruptor bisa diterapkan di Indonesia?
Menkumham Sebut Koruptor Bencana Alam Bisa Dihukum Mati
Menteri Hukum Dan HAM Yasonna Laoly menyebut hukuman mati bagi para koruptor sudah diatur dalam undang-undang bila korupsi dana bencana alam. Menurutnya, beratnya hukuman bagi koruptor dana bencana alam juga ada pertimbangan. Jika nilainya besar, tidak ada ampun.
"Yang dimungkinkan itu kan kepada orang yang melakukan korupsi terhadap bencana alam, yang menyangkut itu. Tapi kan dalam praktik pernah ada di Lombok yang gempa baru ada kasus seperti itu, tapi kan hukumannya, itu kan ancaman maksimal," kata Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/11).
"Kalau emang bencana alam, tapi dia korupsi Rp10 juta. Kan ada variabel-variabel yang harus dipertimbangkan. Kalau misalnya ada dana bencana alam Rp100 miliar, dia telan Rp25 miliar, wah itu sepertiga dihabisi sama dia, ya itu lain cerita," ujar Yasonna.
Menko Polhukam Sebut Hukuman Mati Buat Koruptor Bisa Diterapkan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendukung wacana hukuman mati bagi koruptor. Sebab, koruptor adalah perusak bangsa.
"Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati koruptor. Karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa," kata Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (10/12).
Menurut Mahfud, koruptor yang bisa dijatuhi hukuman mati adalah mereka yang mengulang perbuatannya, korupsi dalam jumlah besar, hingga korupsi dana bencana.
"Sebenarnya kalau mau itu diterapkan tidak perlu Undang-Undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," katanya.
UU Tipikor Tentang Hukuman Mati Bagi Para Koruptor
Mahfud MD menegaskan, dalam undang-undang yang ada sudah mengatur soal hukuman mati bagi koruptor. Aturan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tepatnya pada Pasal 2 ayat 2.
Pasal 2 tersebut mengatur hukuman bagi koruptor, di mana hukuman mati menjadi salah satu opsinya. Pasal 2 UU tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Menurut Mahfud, koruptor yang bisa dijatuhi hukuman mati adalah mereka yang mengulang perbuatannya, korupsi dalam jumlah besar, hingga korupsi dana bencana.
"Sebenarnya kalau mau itu diterapkan tidak perlu Undang-Undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," katanya.
KPK Nantikan Hukuman Mati untuk Koruptor
Ketua KPK Agus Rahardjo menyambut baik pernyataan Presiden Jokowi soal hukuman mati terhadap para koruptor. Menurutnya, hal itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan tinggal menunggu penerapan.
"Ya memang di dalam Undang-Undangnya sudah ada kan? Penerapannya saja kita lihat," katanya usai peringatan Hari Korupsi Sedunia di Gedung KPK, Jakarta, Senin (9/12).
Dia menjelaskan, KPK saat ini belum bisa menerapkan hukuman mati dikarenakan ada syarat khusus yang dicantumkan dalam UU Tipikor yang tak sembarang koruptor dapat dijatuhi hukuman tersebut.
"Kan ada syarat khusus yang harus diterapkan, jadi syaratnya sudah memenuhi atau belum? kalau suatu saat memenuhi ya diterapkan saja," ujarnya.
DPR Tantang Jokowi Soal Hukuman Mati untuk Koruptor
Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil juga berharap agar pernyataan hukuman mati bagi para koruptor tak hanya retorika. Presiden diharapkan konsisten dalam bersikap terhadap tindak pidana korupsi.
Terkait hal ini, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyinggung soal pemberian grasi oleh Presiden kepada narapidana kasus korupsi.
"Ya mungkin saja dilakukan, ya oleh karena itu Presiden jangan hanya retorika saja, ya jangan mengatakan terkait dengan hukuman mati tetapi dia introspeksi terkait dengan pemberian grasi terhadap terpidana korupsi dan lain sebagainya. Nah karena itu kita harapkan Presiden kalau ingin bicara soal korupsi tetap konsisten," tandasnya.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade juga setuju dengan hukuman mati tersebut, asal nilai korupsinya besar. Menurut dia, hukuman mati tersebut cocok untuk koruptor selevel pejabat tinggi negara yang merampok uang rakyat dengan nilai fantastis.
"Menurut pendapat pribadi saya itu baik ya untuk memberikan shock terapi, tapi tergantung korupsinya juga jangan sampai orang korupsinya kecil dihukum mati, tapi kalau korupsinya sudah besar, merugikan negaranya itu luar biasa dengan jabatan tinggi itu pas," katanya saat dihubungi merdeka.com, Selasa (10/11).
"Level menteri, dirut BUMN, gubernur gubernur korupsi dengan nilai yang fantastis gak ada masalah (dihukum mati), jadi jabatannya harus kayak menteri, gubernur, dirut BUMN, lalu ditambah nilai korupsinya," ujarnya.
Masih Ada Keringanan untuk Para Koruptor
Hukuman mati bagi para koruptor diharapkan tak hanya sebagai wacana. Apalagi beberapa hari yang lalu, Presiden Jokowi memberikan grasi untuk napi korupsi kepada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan Annas Maamun. Mantan Gubernur Riau itu dikurangi masa hukumannya satu tahun oleh Jokowi pada 25 Oktober 2019.
Salah satu alasan Jokowi memberikan grasi untuk Annas Maamun adalah kemanusiaan. Menurutnya, usia Annas Maamun dianggap sudah lanjut usia (79 tahun).
Kemudian pengurangan hukuman pada Idrus Marham. Mahkamah Agung mengabulkan kasasi terdakwa kasus suap PLTU Riau Idrus Marham. Pengajuan kasasi dilakukan Idrus usai putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memberikan hukuman 5 tahun penjara denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. Vonis ini lebih lama dua tahun dari putusan Pengadilan Tipikor.
"Dikabulkan," demikian bunyi putusan yang dikeluarkan 2 Desember 2019 tersebut, seperti dikutip dari laman MA, Selasa (3/12/2019).
Sidang kasasi tersebut dipimpin oleh majelis hakim Krisna Harahap, Abdul Latief dan Suhadi. Dengan demikian, maka masa hukuman Idrus berkurang menjadi dua tahun.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mahfud menjelaskan dalam Undang-Undang yang saat ini bisa saja menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
Baca SelengkapnyaAhok lebih memilih koruptor dimiskinkan dan dihukum penjara seumur hidup
Baca SelengkapnyaKasus korupsi tata niaga timah menyebabkan kerugian negara Rp271 triliun.
Baca SelengkapnyaJokowi mengatakan, saat ini korupsi semakin canggih dan kompleks, serta menggunakan teknologi mutakhir.
Baca SelengkapnyaPerlu ada evaluasi total karena banyak perjabat Indonesia yang terjerat korupsi
Baca SelengkapnyaBasuki Tjahaja Purnama, atau biasa disapa Ahok tak setuju jika koruptor dihukum mati. Alasannya, hukuman mati para koruptor tidak akan menyelesaikan masalah.
Baca SelengkapnyaAnies bicara bagaimana korupsi terjadi. Kasus-kasus yang ditangani KPK kebanyakan karena didorong oleh keserakahan.
Baca SelengkapnyaPemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara biasa. Diperlukan terobosan kebijakan dan langkah politik serius
Baca SelengkapnyaKasus Korupsi di Indonesia memang sudah banyak diungkap dalam kurun waktu yang panjang.
Baca SelengkapnyaAgus menilai pemerintah melalui kebijakan strategis perlu menyelesaikan RUU Perampasan Aset.
Baca SelengkapnyaJokowi meyakini hal ini dapat memberikan efek jera untuk para koruptor dan mengembalikan kerugian negara.
Baca SelengkapnyaMenurut Anies, mengirim koruptor ke Nusakambangan bukan cara efekif untuk memberantas korupsi.
Baca Selengkapnya