Banyak penelitian soal bencana belum tersampaikan ke masyarakat
Merdeka.com - Isu pengurangan dampak risiko bencana (mitigasi bencana) masih dipandang elite bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Padahal hampir semua jenis bencana alam ada di negeri ini. Sementara hasil penelitian ilmuwan atau akademisi kurang tersampaikan ke masyarakat.
Wartawan senior peliput bencana, Ahmad Arif, ada semacam batas antara jurnalis dan ilmuwan. Menurutnya hal itu perlu dijembatani melalui forum bersama antara ilmuwan dan wartawan. Diharapkan dalam forum akan terjadi transfer pengetahuan tentang mitigasi bencana kepada wartawan. Sehingga ketika menulis artikel bahasa yang digunakan merupakan bahasa populer agar lebih mudah dicerna publik.
Ia menuturkan, sebelum gempa yang disusul tsunami Aceh 2004, hampir tidak ada media massa yang mengulas potensi gempa dan tsunami Aceh. Tsunami Aceh yang menelan lebih dari 200 ribu korban jiwa pun disebut silent tsunami, karena tak ada warning sebelumnya.
-
Bagaimana ilmuwan menguji kemampuan bahasa? Namun, klaim-klaim ini sering kali sulit diverifikasi secara ilmiah.
-
Bagaimana cara peneliti meneliti Gunung Padang? Dengan menggunakan berbagai teknik termasuk electrical resistivity tomography (ERT), ground-penetrating radar (GPR), dan seismic tomography (ST), para peneliti mampu membuat gambaran fitur internal bukit serta kronologi konstruksinya.
-
Apa yang diteliti? Analisis terhadap lebih dari 4.000 artefak batu yang ditemukan di sebuah pulau di barat laut Australia memberikan gambaran kehidupan suku Aborigin puluhan ribu tahun yang lalu.
-
Apa yang diungkapkan dalam kata persembahan skripsi? Kata persembahan skripsi menjadi ruang untuk memberikan apresiasi atas dukungan.
-
Apa topik pengajian ? Akhirnya sampai di acara inti, ceramah pada sore hari ini akan disampaikan oleh ustaz Muhammad Halim.
-
Bagaimana cara menggunakan kata "kajian" dalam penelitian? Ada banyak contoh kata kajian yang sering digunakan para ilmuwan dan pelajar dalam suatu pengkajian.
“Kita, para jurnalis mungkin kurang diskusi tentang bencana geologi, apalagi tsunami. Waktu itu persepsi warga dan wartawan Indonesia sangat awam terhadap tsunami,” ujar Ahmad Arif, dalam acara A 5th Annual Symposium on Earthquake and Related Geohazard Research For Disaster Risk Reduction di ITB, Senin (19/10).
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Adi Marsiela, dalam menyampaikan isu pengurangan dampak resiko bencana (mitigasi) wartawan sangat memerlukan narasumber dari lingkup ilmuwan atau akademisi. Ada kekhawatiran ilmuwan terhadap berita yang dibuat wartawan, padahal berita tersebut akan dibaca masyarakat secara luas.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya bisa diatasi jika ilmuwan atau akademisinya terbuka untuk sharing ilmu dengan wartawan. “Jurnalis perlu lebih banyak masukan termasuk dari para ilmuwan. Sharing tersebut penting bagi update pengetahuan jurnalis,” ujarnya.
Geolog ITB, Irwan Meilano menambahkan, pihaknya menyambut baik ide membangun forum komunikasi antara jurnalis dan ilmuwan. Ia mengakui, peneliti juga menghadapi kendala bahasa dalam menyampaikan materi penelitian. “Bahasa kami terlalu kaku, perlu penyampaian lewat bahasa populer yang bisa diterima masyarakat luas,” katanya.
Ia menambahkan, selama ini bahasa yang digunakan dalam melakukan riset serta publikasi ilmiah kepada masyarakat masih dianggap terlalu kaku. “Bahasa saya terlalu kaku, susah sekali menyampaikan riset dengan bahasa yang bisa dipahami. Jadi ide forum bersama sangat penting,” ujar Irwan.
Mantan Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, yang hadir dalam acara pun berbagi kisah bagaimana caranya menghadapi wartawan. Seorang ilmuwan atau peneliti bertanggung jawab berbagi ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat. Maka seorang ilmuwan yang melayani wawancara wartawan artinya mau berbagi ilmu dengan masyarakat, sebab wartawan memang tugasnya menyebarkan informasi.
Menurutnya, kunci untuk menghadapi wartawan atau masyarakat adalah komunikasi. Maka sewaktu menjabat Kepala PVMBG, ia selalu siap dihubungi wartawan. Untuk itu, ia mengaku harus melakukan persiapan materi sebelum bertemu wartawan.
Selain itu, bahasa yang digunakan dalam penyampaian harus mudah dimengerti. "Orang akan memilih pakar yang bahasanya sederhana daripada pakar paling pintar tapi bahasanya sulit dimengerti" ujar pria yang akrab disapa Mbah Rono.
Wartawan yang meliput bencana pun juga harus dibekali informasi dasar mengenai bencana alam. Misalnya jika ia mau bertanya status gunung api, gerakan tanah, gempa bumi, minimal sudah membaca informasi dasar tentang kebencanaan.
(mdk/frh)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pernyataan yang dilontarkan itu pun akan memberikan efek negatif kepada masyarakat terkait pengelolaan dana Tapera ke depannya.
Baca SelengkapnyaDari gempa bumi hingga banjir, bencana alam telah menjadi ancaman konstan bagi manusia sepanjang peradaban.
Baca SelengkapnyaLongsor yang menewaskan hampir 700 orang itu juga mengakibatkan lebih dari 1.200 orang kehilangan tempat tinggal.
Baca SelengkapnyaKeterlambatan bicara pada anak dapat dapat menjadi sumber kekhawatiran bagi orang tua.
Baca SelengkapnyaBNPB mencatat empat titik di Riau terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Baca Selengkapnya