Cerita Eks Napi Teroris Soal Milenial Jadi Lone Wolf Belajar dari Medsos
Merdeka.com - Mantan napi teroris (napiter) Mukhtar Khairi alias Abu Hafsah membenarkan bahwa saat ini jaringan terorisme memang menyerang para kaum milenial. Namun, dia mengaku lebih khawatir dengan tindakan terorisme yang dilakukan sendiri (lone wolf) seperti aksi ZA di Mabes Polri, 31 Maret lalu.
Menurut dia, aksi terorisme lone wolf akan sangat menyulitkan aparat dan negara. Seperti yang diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungapkan bahwa ZA tidak terikat dengan jaringan terorisme yang ada di Indonesia ataupun di negara lainnya.
"Kondisi sekarang, terorisme menyerang milenial melalui medsos karena memang zamannya digital. Nah susah bagi kita untuk mengontrolnya karena mereka tidak koordinasi dengan kelompok terorisme," kata Mukhtar dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Alinea, Rabu (7/4).
-
Bagaimana Densus 88 mengantisipasi ancaman teroris? 'Kita akan lanjutkan penyelidikan dan penyidikan untuk menjawab salah satunya pertanyaan seperti tadi,' ucap dia.
-
Siapa yang terkena dampak terorisme di Indonesia? Di Indonesia, aksi terorisme telah menyebabkan banyak kerugian dan korban. Mereka menjadi korban terorisme mengalami disabilitas seumur hidupnya, bahkan tak sedikit juga yang harus meregang nyawa.
-
Kenapa Densus 88 menangkap terduga teroris? 'Kita tidak ingin persoalan di medsos yang dipicu oleh orang-orang seperti itu memberikan kegaduhan di dunia maya yang tidak hanya didalam negeri tapi bisa di luar negeri karena tokoh sekelas atau figur sekelas seperti Paus keramaian di medsos akan mengganggu kegiatan,' ucap dia
-
Kenapa Polisi Pekanbaru mengajak admin medsos untuk bersinergi? Pentingnya kolaborasi ini dalam menyebarkan informasi positif terkait Pemilu.'Kami meminta agar setiap informasi diverifikasi dengan cermat sebelum diposting, guna menjaga keamanan dan ketenangan masyarakat menjelang Pemilu,' kata Bery.
-
Bagaimana cara mencegah terorisme di Indonesia? Di Hari Peringatan dan Penghargaan Korban terorisme ini, Anda bisa membagikan cara mencegah radikalisme di media sosial. Hal ini penting dilakukan agar tindakan terorisme bisa diminimalisir atau dihilangkan.
-
Kenapa Kapolda Metro Jaya merombak jajaran? 'Benar, mutasi merupakan hal biasa dalam rangka penyegaran personel, tour of area,' kata Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko kepada wartawan, Rabu (6/12).
Mantan napiter yang pernah diajak bergabung dengan ISIS itu melihat, kaum milenial bisa dengan cepat memahami materi mengenai terorisme yang tersebar di media sosial. Bahkan bisa mengembangkannya sendiri. menurutnya, media sosial sangat berperan dalam penyebaran paham radikal serta ajaran-ajaran pembuatan bom hingga penyerangan.
"Sekarang zamannya sudah beda, anggota Densus 88 ada yang mengeluhkan ke saya kalau teroris sekarang tidak koordinasi (dengan jaringan) seperti dulu. Mereka belajar sendiri di medsos, improvisasi sendiri," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurutnya pemerintah harus lebih serius dalam menumpas radikalisme ideologi. Karena kata dia, radikalisme ideologi lebih berbahaya dibandingkan radikalisme fisik. Dia ingin, pemerintah bersinergi dengan para ulama untuk meluruskan paham-paham yang keliru.
"Ulama harus diberdayakan lembaga negara di wilayahnya masing-masing untuk menangkal paham-paham (radikalisme) tersebut. Yang jadi masalah kan selama ini penafsiran ayatnya, harus diluruskan," kata napiter yang divonis penjara 8 tahun itu.
Senada dengan Mukhtar, Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen (Purn) Ansyaad Mbai mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan para ulama dalam meluruskan paham radikalisme tersebut. Dia bahkan mendorong negara untuk bersikap lebih tegas. Karena kata dia, jika negara tidak tagas, maka terorisme di Indonesia akan bisa ditumpas.
"Para ulama harus meluruskan paham-paham yang disesatkan. Tapi imbauan ulama saja tidak cukup, harus ada pressure atau tekanan dari negara. Kalau tidak bisa meluruskan paham secara baik-baik, anda akan berhadapan dengan kekuatan negara atau tindakan hukum," kata Ansyaad dalam diskusi tersebut.
Pengamat terorisme itu mengibaratkan sebagai fenomena kebakaran yang disebabkan oleh kompor yang tidak dimatikan. Sehingga kata dia, cara mematikan kompor tersebut yakni dengan menghentikan pemahaman yang salah itu.
"Selama kompor-kompor ini tidak kita padamkan, selama itu pula akan ada kebakaran, jangan kaget kalau muncul lagi, teroris kejutan, semua negara kebobolan," ujarnya.
Secara terpisah, sebelumnya Mantan Ketua Jamaah Islamiyah wilayah Timur, Nasir Abbas juga mengkhawatirkan aksi terorisme lone wolf seperti ZA. Menurutnya aksi tersebut lebih membahayakan karena hal itu menunjukkan bahwa saat ini banyak anak Indonesia yang mencari tahu paham-paham radikalisme sendiri dan mempelajari cara melakukan penyerangan sendiri.
"Seperti ZA itu kan ternyata setelah ditelusuri oleh polisi dan Tim Densus 88, dia tidak terafiliasi atau terikat oleh jaringan teroris manapun. jadi dia belajar sendiri, cari tahu sendiri, terpapar sendiri, menyerang sendiri," kata Nasir, Selasa (6/4).
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tim Densus 88 Polri sedang mengusut proses rekrutmen jaringan terorisme melalui media sosial.
Baca SelengkapnyaSebagian besar dari mereka ditangkap di daerah Sumatera Barat (Sumbar).
Baca SelengkapnyaKepala BNPT ungkap terjadi perubahan tren pola serangan terorisme di Indonesia.
Baca SelengkapnyaKetiga terduga pelaku teroris merupakan jaringan Anshor Daulah yang beroperasi di Jawa Tengah.
Baca SelengkapnyaDetasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali mengamankan satu orang anggota teroris di Sulawesi Tengah Sulteng.
Baca SelengkapnyaSebanyak dua teroris jaringan Anshor Daulah, LHM dan DW yang bekerja sebagai tenaga pendidik di Bima, Nusa Tenggara Timur (NTT) ditangkap.
Baca SelengkapnyaKedua tersangka merupakan teroris Negara Islam Indonesia (NII) di Kabupaten OKU Timur, Sumsel.
Baca SelengkapnyaSalah satu simpatisan ISIS bergerak sendiri adalah DE, karyawan BUMN yang ditangkap Densus 88 Antiteror Polri.
Baca SelengkapnyaJenderal Sigit mengatakan saat ini gerakan terorisme menjadi lebih berbahaya karena bergabung dengan jaringan narkoba atau narkotika.
Baca SelengkapnyaKetiga terduga teroris ditangkap berinisial BI, ST dan SQ.
Baca SelengkapnyaHanya sekitar tujuh bulan sejak terpapar paham radikal dari media sosial, HOK sudah nekat mempelajari cara peracikan bahan peledak.
Baca SelengkapnyaHal tersebut disampaikan Rycko usai mengikuti peringatan tragedi kemanusiaan Bom Bali di Ground Zero atau Tugu Peringatan Bom Bali.
Baca Selengkapnya