Cerita Guru di Desa Terisolir Kalimantan: Pernah Tak Digaji 9 Bulan
Merdeka.com - Hery Cahyadi menghela napas. Matanya memandang kosong memandang hamparan air di Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara. Salah satu desa terisolir di Kalimantan.
"Saya pernah tidak digaji sembilan bulan," sebutnya seraya mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.
Hery merupakan guru di daerah tanpa akses darat sama sekali ini. Semua harus dilalui menggunakan perahu kecil bermesin tunggal.
-
Bagaimana cara anak SD di cerita ini menjawab pertanyaan guru? Agung : Bu Guru bertanya siapa yang kentut dan Agung jawab, saya Bu Guruuu…
-
Siapa yang melamar menjadi guru? Saya yang bertanda tangan di bawah ini:Nama : Safitri RahayuTempat/tanggal lahir : Magelang, 23 April 1996Agama : IslamPendidikan terakhir : Universitas PadjajaranGelar : Sarjana PendidikanAgama : IslamAlamat : Jalan Surabaya No. 59 Kota MalangNomor Telepon : 081234567890 Mengajukan lamaran untuk menjadi tenaga pengajar di SD Harapan Nusantara, Malang.
-
Siapa yang mengorbankan pendidikannya demi Sarijaya? Secara khusus saya mohon maaf kepada adikku, Suparsih, yang waktu itu terpaksa tidak bisa melanjutkan ke bangku SMA. Semoga pengorbanan kakak-kakak dan adikku mendapat imbalan kebaikan yang lebih banyak dari Tuhan Yang Maha Esa,'
-
Apa pekerjaan orang tua Sarijaya? Ayahnya sehari-hari bekerja sebagai buruh tobong labor atau perajin gamping. Sementara ibunya, Sumirah, merupakan pedagang gula jawa yang setiap hari berkeliling menyusuri jalanan di Kota Yogyakarta untuk menjajakan dagangannya.
-
Kenapa ayah ini merasa sedih? Mendapati sang putri jadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dia ikut merasa pilu. Tak ada orang tua yang tak hancur melihat buah hati mereka mengalami penderitaan.
-
Dimana murid SD itu bertanya pada gurunya? Ana sawijining murid SD sing tekon karo gurune sing ndilalah lagi rada nesu. Pas muride kuwi tekon karo gurune, Pak Guru kuwi lagi mangan neng kantin, tanpa sadhar yen ana upa neng tutuk'e.
Menjadi guru, bukanlah impian Hery. Namun di tengah keterbatasan daerahnya, profesi guru membuat kawasan pedalaman Kalimantan Timur itu bisa maju dan berkembang.
"Dulu, tak pernah berpikir bertugas di sini. Muara Enggelam itu apa?" kata Hery saat ditemui pertengahan September 2020 lalu.
Gaji Rp200 Ribu
Setelah lulus dari Pesantren Al-Mukmin di Kecamatan Muara Muntai pada tahun 1997, Hery ditugaskan untuk mengajar ngaji di Muara Enggelam. Kurangnya guru baca tulis Alquran membuatnya tak bisa menolak tugas suci itu.
"Kata Ustaz saya waktu itu bagaimana kalau kamu ke Muara Enggelam, kebetulan bapakmu juga tugas di sana dan di sana butuh pelajar TPA," kata pria kelahiran Kayu Batu, 28 Agustus 1976 silam.
Orangtua Hery kala itu merupakan PNS yang bertugas di SD Negeri di Desa Muara Enggelam. Pilihan pengabdian itu kemudian diambilnya meski dia pun tak yakin ada jaminan masa depan.
"Sempat setahun saya mengajar Iqro serta baca tulis Alquran hingga kemudian pada tahun 1998 saya menikah dengan orang sini," sebutnya.
Pada tahun 1999, pemerintah membuka penerimaan guru honorer dengan status Pegawai Tidak Tetap (PTT) di sejumlah sekolah dasar di kawasan pedalaman. Hery tak buang kesempatan dan mendaftar.
Dia pun diterima. Namun, tugasnya kali ini lebih jauh.
"Tugas pertama itu di Dusun Kuyung, Desa Sebemban, Kecamatan Muara Wis dan sempat setahun di sana," kata Hery.
Menjadi guru di kawasan pedalaman dan terisolir bukanlah pekerjaan mudah. Keteguhan hati dan keyakinan kuat dalam mendidik adalah kunci bertahan mengajar. Itulah yang dirasakan Hery kala itu.
"Gaji pertama hanya Rp200 ribu," sebutnya seraya tersenyum.
Tanggung Beban Guru PNS
Bagi warga pedalaman, kehadiran seorang guru adalah berkah. Sebisa mungkin mereka bikin guru yang bertugas nyaman dan betah. Istrinya kadang menjadi buruh harian di pengepul ikan.
"Kami disediakan rumah dan kadang diberi hasil tangkapan ikan mereka," tambah Hery.
Di tempatnya pertama bertugas, jumlah guru hanya empat orang termasuk kepala sekolah. Tak heran jika satu guru bisa mengajar beberapa kelas.
"Guru agama, pendidikan jasmani, hingga wali kelas tiga saya lakukan bersamaan di sekolah itu," ujarnya.
Celakanya, kebiasaan guru PNS adalah jarang masuk. Beban mengajar menjadi tugas Hery sebagai guru honorer.
"Guru PNS ada, tapi lebih sering menyuruh guru honorer. Mau tidak mau harus saya kerjakan semuanya, padahal masing-masing punya tugas dan tanggung jawab," tambah Hery.
Isapan rokoknya kali ini lebih kencang. Ada kesal bercampur amarah kala menceritakan kisah itu.
Gaji Telat Kerja Serabutan
Pada tahun 2000, karena kebutuhan guru yang mendesak, Hery dimutasi ke Desa Muara Enggelam. Sebuah desa yang dibangun di atas aliran Sungai Enggelam yang langsung berhadapan dengan Danau Melintang.
Seluruh rumah dibangun di atas rakit. Tak ada daratan. Tidak ada akses darat.
"Meski lebih jauh dari tugas sebelumnya, namun di desa ini merupakan kampung istri. Jadi bisa lebih nyaman," kata Hery.
Kisah guru PNS libur kepanjangan masih dirasakan Hery di desa ini. Apalagi kebanyakan guru tersebut bukan asli dari Muara Enggelam.
"Kisah yang berulang, saya harus menanggung beban mengajar lebih banyak," kisahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Hery bekerja serabutan. Menjadi nelayan tangkap air tawar adalah solusi terbaik kala itu.
"Sempat berburu kura-kura, bahkan sempat bekerja untuk NGO asing," sebut Hery seraya tertawa.
Gaji kecil dan bertugas di pedalaman bukanlah perkara mudah. Harga kebutuhan sehari-hari tentu jauh lebih mahal. Apalagi Hery memiliki anak yang masih kecil.
"Suatu waktu saya minta izin untuk mengajar tiga hari saja, sisanya saya gunakan untuk usaha apa saja. Alhamdulillah waktu itu kepala sekolah mengizinkan. Karena dia juga paham kondisi saya," tambah Hery.
Derita lain sebagai guru honorer adalah gaji yang tidak tepat waktu. Bahkan kadang harus menunggu berbulan-bulan baru honor itu datang.
"Pergantian nama dari PTT ke T3D (Tenaga Tidak Tetap Daerah) bikin kami makin sakit. Gajian selalu tertunda," kata Hery.
Sebenarnya, perubahan nama pada tahun 2001 itu berkah buat guru honorer karena gaji naik menjadi Rp325 ribu. Tak lama berselang naik lagi menjadi Rp480.480. Jumlah gaji yang gampang diingat dan bakal selalu dikenangnya.
"Meski gaji naik, namun pembayarannya tidak tentu. Lebih sering tujuh bulan sekali. Pernah Sembilan bulan baru gajian," katanya.
Pada tahun 2007, di zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diberlakukan pemutihan bagi tenaga honorer. Bagi Hery, ini adalah kesempatan untuk menjadi PNS.
5 Kali Tes PNS
Menjadi PNS juga bukan perkara mudah. Dia harus ikut tes hingga lima kali. Tes kelima barulah dinyatakan lulus.
"Pada tahun 2009 baru saya dinyatakan 100 persen PNS. 10 tahun penantian yang tidak sebentar," kata Hery sambil meraih sebatang rokok dan kemudian membakarnya.
Asap yang mengepul ke udara seolah melambangkan panjangnya perjuangan. Tidak ada yang instan, tak ada keistimewaan khusus. Semuanya berproses melalui serangkaian peristiwa panjang.
Kesulitan lain mengajar SD di pedalaman salah satunya adalah harus memulai dari nol. Siswa kelas 1 harus benar-benar diajar dari awal.
"Di desa kebanyakan tidak memiliki Taman Kanak-kanak. Jadinya di kelas satu kita seperti jadi guru TK," kata Hery.
Soal belajar, sebutnya, orangtua benar-benar menyerahkan sepenuhnya kepada guru. Anak yang masuk sekolah, ibarat gelas yang kosong sama sekali.
"Tugas kami berat sekali. Tapi jika melihat keberhasilan anak didik, sesuatu yang tak ternilai harganya. Kebahagiaannya melebihi apapun," kata Hery.
Kepla Sekolah
Kini Hery diamanahi sebagai Kepala Sekolah SDN 011 Muara Wis dengan jumlah 80 siswa. Lokasinya masih di Desa Muara Enggelam.
Kini Hery tak perlu lagi membuang jala atau menghabiskan waktu semalaman di tengah Danau Melintang untuk mencari ikan. Hanya istrinya yang masih membuka warung makan kecil-kecilan.
Perjuangan kehidupan di pedalaman Kalimantan tergambar jelas dalam guratan wajahnya. Senyumnya, khas laki-laki suku Kutai, tidak mampu menyembunyikan gambaran perjuangan itu.
Kisah guru yang mengabdi di pedalaman, seperti Hery Cahyadi, adalah gambaran sesungguhnya sebuah pengabdian. Pengabdian dari seorang yang sering kita sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Sumber: Liputan6.comReporter: Abdul Jalil (mdk/ded)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Norma masuk dalam 43 guru peraih penghargaan dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Guru dan Tenaga Kependidikan.
Baca SelengkapnyaGuru tersebut ingin mengajar sebagai bentuk pengabdian dan pelayanan
Baca SelengkapnyaNasib para tenaga pendidik di sebuah SMK di Ende berikut ini pun menuai rasa keprihatinan.
Baca SelengkapnyaSeorang ibu, mantan kepala sekolah PAUD mencurahkan isi hatinya yang tidak pernah digaji selama 15 tahun kepada Pramono Anung.
Baca SelengkapnyaIdia harus rela kehilangan kesempatan untuk bersekolah lantaran kondisi keuangan keluarganya yang pas-pasan.
Baca SelengkapnyaBerjibaku memenuhi kebutuhan hidup, sang guru lantas rela menjadi pemulung usai mengajar.
Baca SelengkapnyaDulu prajurit TNI, pria ini kini hidup memprihatinkan hingga berstatus ODGJ. Berikut kisah selengkapnya.
Baca SelengkapnyaSambil menahan tangis, Aya menjelaskan anak didiknya putus sekolah dan memilih menjadi kenek sopir truk.
Baca Selengkapnya