Cerita korban penculikan aktivis disetrum Kopassus
Merdeka.com - Kebrutalan anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) bukan kali ini saja terjadi. Sebelum pembunuhan keji empat tahanan di Lapas Cebongan, Sleman, DIY, pasukan elite TNI AD itu pernah melakukan penculikan terhadap aktivis pro-demokrasi pada 1998.
Tepatnya 12-13 Maret 1998, Faisol Riza, aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), diculik oleh segerombolan anggota Kopassus, yang dikenal dengan Tim Mawar. Dalam penculikan, berbagai penyiksaan dia terima, mulai dari pukulan hingga setruman.
Berikut cerita penculikan Faisol Riza 15 tahun lalu yang dituangkan lewat akun Twitter-nya. Kepada merdeka.com, Selasa (9/4), Faisol mengizinkan mengedit singkatan dan memberi keterangan tambahan, tanpa menghilangkan substansi.
-
Bagaimana pelaku melakukan penikaman? Korban sempat melihat pelaku mengambil senjata tajam jenis badik dari kamar kekasihnya. Kemudian terjadi perkelahian antara pelaku dan korban, namun pelaku berhasil mengambil senjata tajam miliknya dari saku jaketnya dan langsung menikam korban secara berulang kali yang mengakibatkan korban meninggal dunia,' kata mantan Kapolresta Palembang ini.
-
Dimana kursi itu disimpan? “Tempat duduk nya sultan dulu itu,“ tulis akun Tiktok no name
-
Bagaimana cara pelaku melancarkan aksinya? Untuk memuluskan aksinya, NUG, HS, dan DK melakukan panggilan darurat ke Mako Damkar Induk Sleman.
-
Di mana korban disekap? Menurut pengakuan dari korban, setelah pertemuan kedua dan seterusnya ini mereka tinggal satu rumah di daerah Solo. Nah pada saat itu mereka melakukan suatu hubungan dan membuat video ataupun foto-foto,' Arifin mengatakan pada 11 Mei 2023, ada video dan foto yang dikirim oleh terduga tersangka JR.
-
Siapa yang melakukan penusukan? Informasi yang dihimpun menyebutkan, korban yang berusia 8 tahun itu mengalami kebutaan pernanen pada mata sebelah kanannya. Kejadian itu sendiri, terjadi pada 7 Agustus lalu.
-
Apa yang dilakukan pelaku? Mereka juga meminta Y agar menyerahkan diri agar dapat diperiksa. 'Saya imbau kepada yang diduga pelaku berinisial Y yang sesuai dengan video yang beredar agar menyerahkan diri,' kata Rahman saat dikonfirmasi, Minggu (28/4).
12-13 Maret, 15 tahun lalu. Cerita sehari.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sudah dikepung militer sejak seminggu sebelumnya. 11 Maret, Soeharto terpilih lagi sebagai presiden. Politik tegang. Oposisi menguat.
12 Maret, Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD) yang terdiri dari puluhan tokoh oposisi menolak Soeharto. Deklarasi di YLBHI. Penuh wartawan dan intel. Mau keluar YLBHI dengan aman susah. Kebetulan saya dan Jati (Raharjo Waluyo Jati, salah satu ketua PRD) pernah lolos penyerangan di Cakung. Pasti diincar lagi.
Keluar bersama kerumunan lebih aman, kita pikir. Langsung bersama-sama kerumunan keluar dan berusaha mengecoh tentara. Tadinya mengira lolos menuju Salemba, ternyata kemudian dari belakang dikejar dua mobil. Melaju kencang seakan mau menabrak.
Terpaksa kita belok ke RSCM untuk lari sembunyi. Mereka terus memburu hingga ke lantai dua dan berhasil menyergap kami di dua tempat terpisah. Melawan hanya bisa sesaat. Selebihnya, pukulan dan terjangan menghantam tubuh. Kacamata jatuh dan pecah diinjak.
Mereka kemudian menyeretku ke lantai dasar dan melemparkanku ke mobil. Tangan dan kaki langsung di borgol. Mata diikat kain. Tubuh langsung dibungkus kantung besar dan mulai lagi hantaman mengenai kepala dan dada. Sakit. Mungkin sudah lama gak merasakannya.
Mereka bawa berputar-putar hingga satu jam. Saya rasa waktunya sudah mulai sore dan matahari sudah agak condong saat mobil masuk ke lokasi. Tempat yang nantinya menjadi tempat 'menginap' agak lama. Saya diturunkan dengan tanpa menghentikan pukulan. Saya kaget, ternyata ada Jati.
Dia sudah diinterogasi, dengan suara lecutan. Saya pikir itu suara pecut, saya tahu kemudian itu alat setruman setelah juga merasakannya. Jawaban Jati saat saya melintas di dekatnya terdengar lucu sampai saya ketawa. Mendengar ketawa, langsung saya dihajar. Satu gigi rontok.
Saya dibawa ke satu ruangan, kedap suara dan sepertinya kecil. Masih dalam keadaan ditutup dan borgol. Dipukul kanan kiri tanpa pertanyaan. Mungkin sekitar satu jam menikmati pukulan demi pukulan di sekujur tubuh. Ternyata saya tidak kebal, sakit semua dan bibir asin. Berdarah.
Setelah itu, didiamkan selama kurang lebih satu jam. Hening tanpa ada gerakan, walau perasaanku mengatakan ada orang mengawasi di dekatku. Setelah itu, masuk orang yang kemudian mulai mengajukan sejumlah pertanyaan yang jadi pangkal masalah penculikan ini. Jaringan antar kota, Orde Baru, data pertemuan, tokoh-tokoh yang dialang, pemimpin masing-masing kota, rencana puncak, strategi, taktik.
Setiap jawaban berhadiah pukulan. Kalau tidak menjawab, dua pukulan. Pertanyaan kelima sudah menggunakan setruman. Tangan diborgol ke kursi. Kaki juga ke kaki kursi.
Setiap setruman, menghentak kaki dan tangan seperti mau patah, besi borgol masuk mengenai tulang. Capek juga menjawab pertanyaan, mungkin mereka capek juga memukul dan menyetrum. Istirahat diberikan satu jam. Lumayan untuk atur napas.
Saya kira sudah mulai pagi saat mereka menyetrum lagi tanpa pertanyaan. Dengan tertawa-tawa mempermainkan alat setruman ke sekujur tubuh. Sampai masuk lagi seorang interogator. "Kalau belum jawab jujur, siksa saja sampai mampus."
Begitulah semalaman, berjuang mencari jawaban yang tepat sambil melawan sakitnya pukulan, setruman, gantungan, pembakaran api di badan. Suntikan, tindisan, dan lain-lain.
Sampai tak kuat lagi dan terkapar. Dibangunkan tendangan. "Sudah pagi bangun kau!" Dada seperti masuk ke rongga.
Begitulah 12-13 maret lalu. Lebih dari 2 bulan, 13 ribu lagu didengarkan dari radio yang berputar tanpa sedetik pun berhenti.
Tak melihat wajah orang, bahkan wajah sendiri pun. Kenyang makanan yang dijejalkan dan siksaan yang diterima. Sedih karena tahu akan mati
Tapi tak seorang pun tahu, juga ibu. Tuhan seperti ada tapi mengabaikan nasib kita. Tak jadi mati, dan tak jadi lupa.
Sampai sekarang ingat terus, seperti wajah kawan-kawan yang abadi di poster melawan tirani. Berdoa untuk mereka. Amin.
13 Korban penculikan aktivis 1997-1998 masih hilang dan tidak jelas nasibnya hingga saat ini. Keluarga korban sampai kini juga masih terus menuntut keadilan, salah satunya dengan Kamisan, aksi damai di depan Istana Kepresidenan setiap hari Kamis. Dalam aksi yang terinspirasi gerakan Plaza De Mayo di Argentina ini, keluarga korban dan aktivis HAM mengenakan pakaian dan payung hitam. Tanda penegakan HAM masih kelam.
(mdk/ren)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bukan kursi biasa, kursi ini dipercaya ampuh membuat terdakwa akui kesalahannya. Berikut penampakannya.
Baca SelengkapnyaMembanting korban ke lantai hingga tak sadarkan diri
Baca Selengkapnya