Cerita tragis belasan warga Suku Anak Dalam mati kelaparan di hutan
Merdeka.com - Koes Plus dalam salah satu lagunya menyebut bila Indonesia adalah Tanah Surga. Tongkat dan kayu pun jadi tanaman. Namun masih relevan kah lagu itu kini? Nyatanya belasan Suku Anak Dalam di Jambi mati karena kelaparan. Mereka mati kelaparan di tengah hutan tempat mereka selama ini lahir, hidup dan mencari makan.
Kasus kematian belasan jiwa Suku Anak Dalam atau 'orang rimba' yang mendiami Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi juga telah menarik perhatian publik, tidak hanya lokal tapi juga nasional. Cerita ini begitu tragis karena mereka meninggal akibat kelaparan setelah berbulan-bulan mengalami krisis pangan.
Fasilitator Kesehatan KKI WARSI, Yomi, menjelaskan kematian 'orang rimba' secara beruntun itu diduga akibat mereka kesulitan mendapatkan pangan yang layak dan air bersih. Kematian beruntun itu menyerang tiga kelompok orang rimba di bagian timur TNBD, Kabupaten Sarolangun-Batanghari atau kelompok yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong.
-
Kapan situasi gizi buruk ini terjadi? 'Dalam dua pekan, kami mendeteksi lebih dari 250 pasien gizi buruk,' jelas direktur rumah sakit Kamal Adwan, Dr Hassam Abu Safah, dikutip dari Sky News, Selasa (9/7).
-
Siapa saja yang termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi? Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, 'Celakalah seseorang yang ketika aku disebut-sebut di depannya, namun ia tidak mengucapkan sholawat kepadaku, celakalah seseorang yang ketika bulan Ramadan menemuinya, lalu bulan itu pergi sebelum ia tidak mendapatkan ampunan, dan celakalah seseorang berkesempatan berada di sisi kedua orang tuanya yang berusia lanjut namun mereka tidak dapat memasukkannya ke dalam surga (karena kebaktiannya).'
-
Kapan kekurangan gizi mulai berdampak buruk? Seiring waktu, kekurangan gizi yang parah dapat mengakibatkan kondisi serius seperti malnutrisi kronis, yang berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang.
-
Mengapa anak-anak dikorbankan? Pemakaman anak-anak di gundukan ini mungkin merupakan persembahan untuk memberi energi pada ladang,' kata Prieto, seperti dikutip Live Science.
-
Apa saja dampak anak susah makan? Anak dengan feeding difficulties dapat mengalami pertumbuhan lambat atau gagal karena kekurangan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sesuai usianya. Selain itu, mereka juga dapat terpengaruh dalam perkembangan kognitifnya, seperti kesulitan berkonsentrasi, daya ingat lemah, dan kemampuan kognitif lainnya.
-
Apa yang dialami korban? 'Dia alami luka cukup serius. Setelah kejadian, korban kemudian dilarikan ke RSUD Dekai, guna mendapatkan penanganan medis,' kata Kapolres Yahukimo AKBP Heru Hidayanto.
Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? berikut cerita tragisnya:
Belasan warga Suku Anak Dalam mati kelaparan karena terusir
Kematian beruntun itu menyerang tiga kelompok orang rimba di bagian timur TNBD, Kabupaten Sarolangun-Batanghari atau kelompok yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong. Dari 150 jiwa di tiga kelompok itu, kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari 2014 dengan enam kasus kematian, yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa."Hutan semakin sempit sehingga orang rimba tidak lagi 'melangun' (berpindah-pindah) ke dalam hutan namun ke pinggir-pinggir desa dan ladang masyarakat. Tentu saja di kawasan ini akan sedikit bahan pangan yang biasa didapatkan orang rimba dari berburu dan meramu hasil hutan," ujar Yomi seperti dikutip dari Antara, Rabu (18/3).Dalam beberapa bulan terakhir, orang rimba setidaknya sudah berpindah ke tujuh lokasi baru yang sebagian besar merupakan daerah pinggir desa dan juga perkebunan masyarakat. "Ketika 'melangun' pasokan makanan kurang, dan menyebabkan daya tahan tubuh mereka berkurang sehingga banyak yang sakit," katanya.Tengganai, salah seorang dari Suku Anak Dalam dari kelompok Terap, Mangku Balas, juga mengatakan bahwa banyaknya orang rimba yang jatuh sakit disebabkan kurang makanan."Kami kekurangan pemakon (makanan), kalau 'melangun' seperti ini kami tidak bisa berburu, tempatnya juga susah, makanya banyak yang sakit, kami takut," ujar Mangku Balas.
Suku Anak Dalam tak mau dirawat bila sakit
Sebelum meninggal dunia, sebagian Suku Anak Dalam ada yang mencoba berobat ke rumah sakit terdekat, seperti di Sarolangun. Namun orang rimba tidak mau dirawat, akhirnya banyak yang meninggal dunia dan kemudian melangun lagi.'Melangun' merupakan tabu kematian pada orang rimba, yaitu berpindah tempat hidup akibat kesedihan setelah ditinggalkan anggota kelompoknya. Karena kematiannya beruntun, menyebabkan mereka ketakutan dan panik.Namun demikian, pemerintah terus berupaya melakukan langkah-langkah penyelamatan 'orang rimba' melalui pemberian bantuan pangan dan pengobatan sampai perawatan di rumah sakit terhadap mereka. Pihak Kementerian Sosial RI mengaku bahwa kematian belasan 'orang rimba' di wilayah Jambi itu akibat krisis pangan yang dialaminya berbulan-bulan.
Pemerintah dianggap bertanggung jawab atas nasib Suku Anak Dalam
Keadaan salah satu suku di Indonesia, Suku Anak Dalam, saat ini ternyata memprihatinkan. Suku bermukim Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi itu semakin terdesak lantaran kehilangan lahan mereka dan mengalami kelaparan.Alhasil, karena kelaparan sebelas orang Suku Anak Dalam atau kerap disebut orang rimba wafat. Kenyataan itu membuat publik tersentak lantaran pemerintah setempat nampak abai terhadap hal itu.Dosen Ilmu Sosial Universitas Jambi Idris Sardi mengatakan pemerintah harus bertanggungjawab penuh atas nasib orang rimba dan tidak bisa menyalahkan siapapun. Menurut dia, meski tidak memiliki identitas resmi dan tinggal di dalam taman nasional, orang rimba tetap warga negara Indonesia dan memiliki hak serta keberadaan mereka dilindungi oleh undang-undang.Idris menyatakan, inti permasalahan Suku Anak Dalam karena tidak memiliki lahan atau ruang buat bercocok tanam, karena lahan mereka sudah dijadikan Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Karena menyandang status taman nasional, sehingga pemanfaatan lahan itu dibatasi."Dengan penetapan seperti itu, kawasan hutan tidak bisa dibuka sebagai lahan pertanian produktif. Karena itu, negara yang menetapkan kawasan taman nasional wajib menaungi orang rimba Suku Anak Dalam di Jambi, seperti misalnya suku Badui di Jawa Barat," kata Idris seperti dilansir dari Antara, Rabu (18/3).
Pemerintah ingin Suku Anak Dalam tinggal menetap
Keberadaan Suku Anak Dalam saat ini ternyata dalam ancaman. Kelompok bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi itu semakin terdesak lantaran kehilangan lahan mereka dan mengalami kelaparan.Alhasil, karena kelaparan sebelas orang Suku Anak Dalam atau kerap disebut orang rimba wafat. Sebabnya adalah mereka kesulitan melaksanakan tradisi Melangun (berpindah tempat mencari bahan pangan atau berkabung karena ada anggota suku wafat) lantaran banyak tanah sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Tercatat sebagian lahan itu ditetapkan menjadi Hutan Tanaman Industri bagi PT Wana Printis, PT Agro Nusa Alam Sejahtera, PT Jebus Maju, PT Tebo Multi Agro, PT Lestari Asri Jaya, PT Malaka Agro Perkara, dan PT Alam Lestari Makmur. Mereka pun tidak bisa sembarangan memasuki tanah itu karena bisa dianggap ilegal. Apalagi tempat mereka tinggal juga ditetapkan sebagai taman nasional, membuat gerak-gerik mereka makin sulit.Namun, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa malah ingin Orang Rimba meninggalkan cara hidup nomaden itu dan mulai menetap dengan membuka desa adat. Dia menyatakan hal itu sesuai undang-undang dan dengan dalih menyelamatkan suku terpencil itu."Sesuai Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa Adat, maka pemerintah akan mengusahakan pemberian desa adat kepada orang rimba yang menghuni Taman Nasional Bukit Duabelas yang ada di Jambi," kata Khofifah di Jakarta, Rabu (18/3).Khofifah menjelaskan, wacana membangun desa adat buat Orang Rimba dilakukan buat menyelamatkan mereka. Harapannya supaya mereka bisa terhindar dari musibah seperti kematian akibat kelaparan.Khofifah mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak terkait buat menangani masalah menimpa orang rimba di Jambi, seperti dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan buat mencari solusi terbaik. Menurut dia semua pilihan masih terus dikaji sampai ada kesepakatan."Itu semua akan dikaji lagi untuk direkomendasikan bisa jadi kawasan desa adat oleh pemerintah. Untuk membentuk desa adat memang sudah ada tatanan administrasinya dan payung hukumnya yang sudah disahkan. Dan jika mereka siap untuk menjadi desa adat maka pemerintah akan melakukan intervensi program-program perlindungan sosial yang bisa diintegrasikan oleh warga atau Suku Anak Dalam (SAD) di sana," ujar Khofifah.Khofifah juga mendesak perusahaan yang memiliki HTI dan lahannya bersinggungan dengan tanah adat Orang Rimba buat menyerahkan lahan seluas kurang lebih 200 hektare kepada Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Maritua. Dia meminta supaya lahan itu secepatnya bisa diberikan supaya menekan potensi konflik."Jika Orang Rimba mau menjadikan kawasan itu sebagai desa adat, maka mereka akan mendapatkan hak -hak administratif dan dana yang digulirkan pihak kementerian menjadi hak mereka," lanjut Khofifah.Selain itu, Khofifah berjanji Orang Rimba itu mendapatkan program perlindungan sosial seperti Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sehat serta beras program raskin. Mereka juga akan diberdayakan mengawal kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Tetapi, pemerintah tetap menghormati adat Suku Anak Dalam."Kita lebih dahulu akan melakukan pendekatan kepada warga SAD sehingga apapun keputusan dari mereka akan dihormati nantinya," ucap Khofifah.Khofifah juga meminta agar Orang Rimba mengolah lahan mereka buat bercocok tanam. Tujuannya supaya bisa mendapatkan makanan layak dan ketimbang mesti berburu dan hidup berpindah."Tapi jika nanti disahkan, salah satu Temenggung harus ada yang menandatangani perjanjian penyerahan HTI itu ya. Perjanjian itu supaya kita bisa mendapatkan lahan untuk bercocok tanam," tambah Khofifah.Khofifah juga menawarkan anak-anak orang rimba buat sekolah. Orang Rimba diberi pilihan disekolahkan di luar dengan beasiswa atau membangun institusi pendidikan di hutan.
(mdk/hhw)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pada tahun 2010, kampung itu terkena lahar panas letusan Gunung Merapi. Kini yang tersisa hanyalah rumah-rumah tak berpenghuni
Baca SelengkapnyaSebuah keluarga yang memiliki dua bocah perempuan terpaksa harus tinggal di kampung mati tengah hutan dan setiap hari makan nasi pakai garam.
Baca SelengkapnyaWarga di berbagai daerah terpaksa mencari air di dalam hutan yang jaraknya mencapai satu kilometer dari desa mereka.
Baca SelengkapnyaTotal ada 13 sapi milik warga yang mati secara mendadak.
Baca SelengkapnyaKekeringan melanda dua distrik yakni Lambewi dan Agandugume.
Baca SelengkapnyaSaat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras
Baca SelengkapnyaSumber air di tengah hutan itu kondisinya keruh, namun warga tak punya pilihan lain.
Baca SelengkapnyaSebuah kampung terpencil tengah hutan dihuni para lansia. Bagaimana kehidupan mereka di sana?
Baca SelengkapnyaEmpat orang warga Garut diketahui meninggal dunia saat tengah berburu di kawasan Gunung Cikolak.
Baca SelengkapnyaPara pengunjung Mattabulu berteduh karena saat itu hujan deras. Di saat bersamaan, pohon besar di dekat pondok tumbang akibat angin kencang.
Baca SelengkapnyaDari 43 tersebut, 19 orang berasal Kabupaten Agam, 14 Tanah Datar, 8 Padang Pariaman serta 2 dari Padang Panjang.
Baca SelengkapnyaDitumbuhi semak belukar, warga mengaku hampir tiap malam membunuh ular.
Baca Selengkapnya