Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Cerita tragis belasan warga Suku Anak Dalam mati kelaparan di hutan

Cerita tragis belasan warga Suku Anak Dalam mati kelaparan di hutan Suku anak dalam. ©istimewa

Merdeka.com - Koes Plus dalam salah satu lagunya menyebut bila Indonesia adalah Tanah Surga. Tongkat dan kayu pun jadi tanaman. Namun masih relevan kah lagu itu kini? Nyatanya belasan Suku Anak Dalam di Jambi mati karena kelaparan. Mereka mati kelaparan di tengah hutan tempat mereka selama ini lahir, hidup dan mencari makan.

Kasus kematian belasan jiwa Suku Anak Dalam atau 'orang rimba' yang mendiami Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi juga telah menarik perhatian publik, tidak hanya lokal tapi juga nasional. Cerita ini begitu tragis karena mereka meninggal akibat kelaparan setelah berbulan-bulan mengalami krisis pangan.

Fasilitator Kesehatan KKI WARSI, Yomi, menjelaskan kematian 'orang rimba' secara beruntun itu diduga akibat mereka kesulitan mendapatkan pangan yang layak dan air bersih. Kematian beruntun itu menyerang tiga kelompok orang rimba di bagian timur TNBD, Kabupaten Sarolangun-Batanghari atau kelompok yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong.

Orang lain juga bertanya?

Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? berikut cerita tragisnya:

Belasan warga Suku Anak Dalam mati kelaparan karena terusir

Kematian beruntun itu menyerang tiga kelompok orang rimba di bagian timur TNBD, Kabupaten Sarolangun-Batanghari atau kelompok yang dipimpin Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Nyenong. Dari 150 jiwa di tiga kelompok itu, kematian beruntun paling banyak terjadi pada Januari dan Februari 2014 dengan enam kasus kematian, yaitu empat anak-anak dan dua orang dewasa."Hutan semakin sempit sehingga orang rimba tidak lagi 'melangun' (berpindah-pindah) ke dalam hutan namun ke pinggir-pinggir desa dan ladang masyarakat. Tentu saja di kawasan ini akan sedikit bahan pangan yang biasa didapatkan orang rimba dari berburu dan meramu hasil hutan," ujar Yomi seperti dikutip dari Antara, Rabu (18/3).Dalam beberapa bulan terakhir, orang rimba setidaknya sudah berpindah ke tujuh lokasi baru yang sebagian besar merupakan daerah pinggir desa dan juga perkebunan masyarakat. "Ketika 'melangun' pasokan makanan kurang, dan menyebabkan daya tahan tubuh mereka berkurang sehingga banyak yang sakit," katanya.Tengganai, salah seorang dari Suku Anak Dalam dari kelompok Terap, Mangku Balas, juga mengatakan bahwa banyaknya orang rimba yang jatuh sakit disebabkan kurang makanan."Kami kekurangan pemakon (makanan), kalau 'melangun' seperti ini kami tidak bisa berburu, tempatnya juga susah, makanya banyak yang sakit, kami takut," ujar Mangku Balas.

Suku Anak Dalam tak mau dirawat bila sakit

Sebelum meninggal dunia, sebagian Suku Anak Dalam ada yang mencoba berobat ke rumah sakit terdekat, seperti di Sarolangun. Namun orang rimba tidak mau dirawat, akhirnya banyak yang meninggal dunia dan kemudian melangun lagi.'Melangun' merupakan tabu kematian pada orang rimba, yaitu berpindah tempat hidup akibat kesedihan setelah ditinggalkan anggota kelompoknya. Karena kematiannya beruntun, menyebabkan mereka ketakutan dan panik.Namun demikian, pemerintah terus berupaya melakukan langkah-langkah penyelamatan 'orang rimba' melalui pemberian bantuan pangan dan pengobatan sampai perawatan di rumah sakit terhadap mereka. Pihak Kementerian Sosial RI mengaku bahwa kematian belasan 'orang rimba' di wilayah Jambi itu akibat krisis pangan yang dialaminya berbulan-bulan.

Pemerintah dianggap bertanggung jawab atas nasib Suku Anak Dalam

Keadaan salah satu suku di Indonesia, Suku Anak Dalam, saat ini ternyata memprihatinkan. Suku bermukim Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi itu semakin terdesak lantaran kehilangan lahan mereka dan mengalami kelaparan.Alhasil, karena kelaparan sebelas orang Suku Anak Dalam atau kerap disebut orang rimba wafat. Kenyataan itu membuat publik tersentak lantaran pemerintah setempat nampak abai terhadap hal itu.Dosen Ilmu Sosial Universitas Jambi Idris Sardi mengatakan pemerintah harus bertanggungjawab penuh atas nasib orang rimba dan tidak bisa menyalahkan siapapun. Menurut dia, meski tidak memiliki identitas resmi dan tinggal di dalam taman nasional, orang rimba tetap warga negara Indonesia dan memiliki hak serta keberadaan mereka dilindungi oleh undang-undang.Idris menyatakan, inti permasalahan Suku Anak Dalam karena tidak memiliki lahan atau ruang buat bercocok tanam, karena lahan mereka sudah dijadikan Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Karena menyandang status taman nasional, sehingga pemanfaatan lahan itu dibatasi."Dengan penetapan seperti itu, kawasan hutan tidak bisa dibuka sebagai lahan pertanian produktif. Karena itu, negara yang menetapkan kawasan taman nasional wajib menaungi orang rimba Suku Anak Dalam di Jambi, seperti misalnya suku Badui di Jawa Barat," kata Idris seperti dilansir dari Antara, Rabu (18/3).

Pemerintah ingin Suku Anak Dalam tinggal menetap

Keberadaan Suku Anak Dalam saat ini ternyata dalam ancaman. Kelompok bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi itu semakin terdesak lantaran kehilangan lahan mereka dan mengalami kelaparan.Alhasil, karena kelaparan sebelas orang Suku Anak Dalam atau kerap disebut orang rimba wafat. Sebabnya adalah mereka kesulitan melaksanakan tradisi Melangun (berpindah tempat mencari bahan pangan atau berkabung karena ada anggota suku wafat) lantaran banyak tanah sudah dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Tercatat sebagian lahan itu ditetapkan menjadi Hutan Tanaman Industri bagi PT Wana Printis, PT Agro Nusa Alam Sejahtera, PT Jebus Maju, PT Tebo Multi Agro, PT Lestari Asri Jaya, PT Malaka Agro Perkara, dan PT Alam Lestari Makmur. Mereka pun tidak bisa sembarangan memasuki tanah itu karena bisa dianggap ilegal. Apalagi tempat mereka tinggal juga ditetapkan sebagai taman nasional, membuat gerak-gerik mereka makin sulit.Namun, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa malah ingin Orang Rimba meninggalkan cara hidup nomaden itu dan mulai menetap dengan membuka desa adat. Dia menyatakan hal itu sesuai undang-undang dan dengan dalih menyelamatkan suku terpencil itu."Sesuai Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa Adat, maka pemerintah akan mengusahakan pemberian desa adat kepada orang rimba yang menghuni Taman Nasional Bukit Duabelas yang ada di Jambi," kata Khofifah di Jakarta, Rabu (18/3).Khofifah menjelaskan, wacana membangun desa adat buat Orang Rimba dilakukan buat menyelamatkan mereka. Harapannya supaya mereka bisa terhindar dari musibah seperti kematian akibat kelaparan.Khofifah mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak terkait buat menangani masalah menimpa orang rimba di Jambi, seperti dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan buat mencari solusi terbaik. Menurut dia semua pilihan masih terus dikaji sampai ada kesepakatan."Itu semua akan dikaji lagi untuk direkomendasikan bisa jadi kawasan desa adat oleh pemerintah. Untuk membentuk desa adat memang sudah ada tatanan administrasinya dan payung hukumnya yang sudah disahkan. Dan jika mereka siap untuk menjadi desa adat maka pemerintah akan melakukan intervensi program-program perlindungan sosial yang bisa diintegrasikan oleh warga atau Suku Anak Dalam (SAD) di sana," ujar Khofifah.Khofifah juga mendesak perusahaan yang memiliki HTI dan lahannya bersinggungan dengan tanah adat Orang Rimba buat menyerahkan lahan seluas kurang lebih 200 hektare kepada Suku Anak Dalam kelompok Temenggung Maritua. Dia meminta supaya lahan itu secepatnya bisa diberikan supaya menekan potensi konflik."Jika Orang Rimba mau menjadikan kawasan itu sebagai desa adat, maka mereka akan mendapatkan hak -hak administratif dan dana yang digulirkan pihak kementerian menjadi hak mereka," lanjut Khofifah.Selain itu, Khofifah berjanji Orang Rimba itu mendapatkan program perlindungan sosial seperti Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sehat serta beras program raskin. Mereka juga akan diberdayakan mengawal kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Tetapi, pemerintah tetap menghormati adat Suku Anak Dalam."Kita lebih dahulu akan melakukan pendekatan kepada warga SAD sehingga apapun keputusan dari mereka akan dihormati nantinya," ucap Khofifah.Khofifah juga meminta agar Orang Rimba mengolah lahan mereka buat bercocok tanam. Tujuannya supaya bisa mendapatkan makanan layak dan ketimbang mesti berburu dan hidup berpindah."Tapi jika nanti disahkan, salah satu Temenggung harus ada yang menandatangani perjanjian penyerahan HTI itu ya. Perjanjian itu supaya kita bisa mendapatkan lahan untuk bercocok tanam," tambah Khofifah.Khofifah juga menawarkan anak-anak orang rimba buat sekolah. Orang Rimba diberi pilihan disekolahkan di luar dengan beasiswa atau membangun institusi pendidikan di hutan.

(mdk/hhw)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Mengunjungi Kampung Mati di Lereng Gunung Merapi, Lenyap Akibat Letusan Tahun 2010
Mengunjungi Kampung Mati di Lereng Gunung Merapi, Lenyap Akibat Letusan Tahun 2010

Pada tahun 2010, kampung itu terkena lahar panas letusan Gunung Merapi. Kini yang tersisa hanyalah rumah-rumah tak berpenghuni

Baca Selengkapnya
Miris Bocah Ini Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Makan Nasi Pakai Garam 'Terakhir Menu Pakai Telur di Bulan Puasa'
Miris Bocah Ini Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Makan Nasi Pakai Garam 'Terakhir Menu Pakai Telur di Bulan Puasa'

Sebuah keluarga yang memiliki dua bocah perempuan terpaksa harus tinggal di kampung mati tengah hutan dan setiap hari makan nasi pakai garam.

Baca Selengkapnya
Potret Miris Kekeringan di Jawa Tengah, Nenek Asal Pati Harus Jalan Kaki 2 Kilometer Pikul Puluhan Liter Air
Potret Miris Kekeringan di Jawa Tengah, Nenek Asal Pati Harus Jalan Kaki 2 Kilometer Pikul Puluhan Liter Air

Warga di berbagai daerah terpaksa mencari air di dalam hutan yang jaraknya mencapai satu kilometer dari desa mereka.

Baca Selengkapnya
Viral Penemuan Belasan Ekor Sapi di Asahan Mati Mendadak, Diduga Akibat Keracunan
Viral Penemuan Belasan Ekor Sapi di Asahan Mati Mendadak, Diduga Akibat Keracunan

Total ada 13 sapi milik warga yang mati secara mendadak.

Baca Selengkapnya
Bencana Kekeringan Landa Puncak Papua, 6 Warga Meninggal Dunia
Bencana Kekeringan Landa Puncak Papua, 6 Warga Meninggal Dunia

Kekeringan melanda dua distrik yakni Lambewi dan Agandugume.

Baca Selengkapnya
Kisah Keluarga Pemberani yang Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Cilacap, Hidup Berdampingan dengan Babi Hutan
Kisah Keluarga Pemberani yang Tinggal di Kampung Mati Tengah Hutan Cilacap, Hidup Berdampingan dengan Babi Hutan

Saat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras

Baca Selengkapnya
Krisis Air Makin Parah, Begini Perjuangan Warga di Grobogan Berburu Air hingga ke Tengah Hutan
Krisis Air Makin Parah, Begini Perjuangan Warga di Grobogan Berburu Air hingga ke Tengah Hutan

Sumber air di tengah hutan itu kondisinya keruh, namun warga tak punya pilihan lain.

Baca Selengkapnya
Melihat Keseharian Para Lansia di Kampung Terpencil Tengah Hutan Banyumas, Hidup Serba Sulit
Melihat Keseharian Para Lansia di Kampung Terpencil Tengah Hutan Banyumas, Hidup Serba Sulit

Sebuah kampung terpencil tengah hutan dihuni para lansia. Bagaimana kehidupan mereka di sana?

Baca Selengkapnya
Malang Nasib Empat Warga di Garut, Tertimpa Pohon saat Berteduh hingga Terseret ke Bawah Tebing
Malang Nasib Empat Warga di Garut, Tertimpa Pohon saat Berteduh hingga Terseret ke Bawah Tebing

Empat orang warga Garut diketahui meninggal dunia saat tengah berburu di kawasan Gunung Cikolak.

Baca Selengkapnya
Kronologi Pohon Tumbang Timpa Rumah Makan di Wisata Alam Soppeng, Sembilan Orang Meninggal Dunia
Kronologi Pohon Tumbang Timpa Rumah Makan di Wisata Alam Soppeng, Sembilan Orang Meninggal Dunia

Para pengunjung Mattabulu berteduh karena saat itu hujan deras. Di saat bersamaan, pohon besar di dekat pondok tumbang akibat angin kencang.

Baca Selengkapnya
Korban Tewas Banjir Bandang dan Lahar Dingin di Sumbar Bertambah jadi 43 Orang, 15 dalam Pencarian
Korban Tewas Banjir Bandang dan Lahar Dingin di Sumbar Bertambah jadi 43 Orang, 15 dalam Pencarian

Dari 43 tersebut, 19 orang berasal Kabupaten Agam, 14 Tanah Datar, 8 Padang Pariaman serta 2 dari Padang Panjang.

Baca Selengkapnya
Cerita Warga yang Tinggal di Kampung Mati Lebak, Hanya Tersisa 4 Keluarga
Cerita Warga yang Tinggal di Kampung Mati Lebak, Hanya Tersisa 4 Keluarga

Ditumbuhi semak belukar, warga mengaku hampir tiap malam membunuh ular.

Baca Selengkapnya