Denny Indrayana Sebut Potensi Politik Uang Tetap Ada di Pilkada Langsung atau Tidak
Merdeka.com - Jelang Pilkada 2020, wacana akan dilaksanakan Pilkada langsung atau tak langsung menuai pro dan kontra. Salah satu alasan selain biaya mahal, terkait politik uang.
Ahli hukum tata negara, Denny Indrayana memandang, baik Pilkada langsung maupun tak langsung, keduanya berpotensi adanya politik uang.
"Jadi itu yang harus kita tekankan. Baik Pilkada langsung, enggak langsung, itu potensi politik uang ada," katanya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (21/11).
-
Apa itu Pilkada? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah proses demokratisasi di Indonesia yang memungkinkan rakyat untuk memilih kepala daerah mereka secara langsung.
-
Bagaimana Pemilu dan Pilkada dilakukan? Proses pelaksanaan Pemilu menjunjung asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-
Bagaimana cara Pilkada dilaksanakan? Pilkada yang dilaksanakan secara serentak di 37 provinsi ini tidak hanya menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin lokal yang terbaik, tetapi juga merupakan cerminan dari partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokrasi.
-
Bagaimana Pilkada dilakukan? Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat provinsi, kabupaten atau kota dan juga diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) sesuai dengan tingkatannya.
-
Apa arti dari Pilkada? Pilkada artinya Pemilihan Kepala Daerah, Berikut Tahapannya Pilkada artinya proses pemilihan umum di Indonesia yang dilakukan untuk memilih kepala daerah.
Dia menuturkan, sekarang yang ditekankan bagaimana meminimalisir politik uang tersebut.
"ya kita serahkan ke pembuat undang-undang," jelas Denny.
Menurut dia, baik langsung maupun tak langsung, keduanya sama-sama konstitusional.
"Keduanya kan sebenarnya baik langsung dan enggak langsung itu konstitusional," pungkasnya.
Tito Nilai Pilkada Langsung Banyak Mudaratnya
Sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian mempertanyakan, apakah sistem pemilihan langsung tersebut masih relevan hingga sekarang.
"Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun," ujar Tito.
Tito menilai, sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya. Dia mengakui ada manfaatnya terkait partisipasi politik, tetapi biaya politiknya terlalu tinggi hingga memicu kepala daerah terpilih melakukan tindak pidana korupsi.
"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Udah mahar politik," ucapnya.
Reporter: Putu Merta Surya PutraSumber: Liputan6.com
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Hugua mengusulkan, agar money politics dilegalkan dengan batasan tertentu di Peraturan KPU pencalonan di Pilkada
Baca SelengkapnyaMengusulkan agar politik uang dilegalkan saja dengan batasan tertentu di Peraturan KPU (PKPU) pencalonan di Pilkada
Baca SelengkapnyaUsul itu diajukan saat Komisi II rapat bareng Komisi Pemilihan Umum (KPU) di DPR
Baca SelengkapnyaChico meyebut maraknya money politic tidak ditindak tegas dan justru dibiarkan tumbuh subur.
Baca SelengkapnyaPolitik uang dalam pemilu adalah sebuah praktik yang melanggar aturan pemilu, di mana calon atau tim kampanye memberikan uang kepada pemilih.
Baca SelengkapnyaPadahal, kata Titi, demokrasi sejatinya sistem nilai yang harus ditegakkan dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan untuk semua.
Baca SelengkapnyaPolitik uang kembali mencuat sebagai isu utama dalam Pilgub Jawa Tengah tahun 2024.
Baca SelengkapnyaOngku juga tidak mau menilai bahwa calon independen itu dikesankan sebagai boneka.
Baca SelengkapnyaBawaslu mengatakan politik uang dan netralitas ASN menjadi kerawanan Pilkada 2024
Baca SelengkapnyaMenurutnya, ancaman tersebut semakin serius dan berpotensi mengganggu integritas dan keadilan dalam proses pemilu, terutama menjelang Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya