Derita para kaum fakir di Pulau Dewata
Merdeka.com - Provinsi Bali yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Dewata ini merupakan salah satu wilayah paling banyak sambangi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara untuk menikmati keindahan alam pantainya.
Sumber pemasukan daerah tersebut mengalir deras dari sektor pariwisata, tidak sedikit dari orang tajir alis kaya menghabiskan uang atau berfoya-foya di pulau itu.
Namun, sungguh ironis di beberapa desa wilayah Pulau Dewata itu warganya hidup serba kekurangan dari segi ekonomi. Rumah yang tidak layak huni, sampai kesusahan untuk makan sehari-hari.
-
Di mana desa miskin itu berada? Salah satu desa miskin berada di Desa Cipelem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
-
Siapa yang mengalami masalah kesehatan di Bali? Pongki menjelaskan bahwa keputusan tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi kesehatan istrinya. 2 Sophie mengalami masalah kesehatan, namun setelah pindah ke Bali, kesehatannya sangat membaik dan kini sudah pulih sepenuhnya.
-
Dimana warga terdampak kekeringan? BPBD Kabupaten Cilacap mencatat jumlah warga yang terdampak kekeringan di wilayah tersebut mencapai 9.153 jiwa dari 3.011 keluarga.
-
Bagaimana Banyuwangi menangani kemiskinan? Salah satu upayanya tersebut adalah dengan melakukan intervensi kepada warga miskin yang masuk di database UGD Kemiskinan Banyuwangi. Dari data tersebut, warga pra sejahtera yang masih produktif, akan dilibatkan dalam program padat karya yang dicanangkan Pemkab Banyuwangi.
-
Bagaimana Banyuwangi menekan angka kemiskinan? 'Apa yang kami rencanakan tersebut disesuaikan dengan arah pembangunan ke depan yang telah dicanangkan secara nasional, maupun oleh pemerintah provinsi, dengan menyesuaikan dengan dinamika lokal di Banyuwangi,' papar Ipuk. Ipuk mencontohkan dalam upayanya menekan angka kemiskinan. Seluruh komponen masyarakat dari tingkat kabupaten hingga unit terkecil di tingkat Rukun Tetangga dilibatkan. Tak terkecuali komponen sosial kemasyarakatan lainnya.
-
Dimana angka kemiskinan Kaltim berada? Provinsi Kaltim masuk dalam 18 Provinsi yang angka kemiskinannya berada di bawah nasional dan menempati posisi kedelapan dengan tingkat kemiskinan terendah.
Berikut penderitaan warga pulau dewata hidup dalam kemiskinan seperti dihimpun merdeka.com:
Nenek Lembuk lumpuh dan tinggal di bekas kandang sapi
Nenek Lembuk berumur 80 tahun tinggal di gubuk tidak layak huni di Banjar Taman Sari, Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri, Tabanan Bali. Dalam kondisi tak bisa berjalan, Ni Wayan Lembuk hidup bersama anak wanitanya di sebuah gubuk bekas kandang sapi.Â
Di tengah guyuran hujan, Lembuk terus berteriak kesakitan sambil menangis menahan rasa nyeri pada kakinya yang patah. Tidak hanya itu, nampak di sebuah Bale dan lantai tanah becek karena banyak tetesan air hujan jatuh dari atap bocor.
Ironisnya, dalam kondisi tak berdaya ini dia tinggal bersama anaknya dalam kondisi keterbelakangan mental.
"Selama ini saya masih bisa cari-cari duit untuk makan. Sejak kaki patah 6 bulan lalu, hanya bisa tidur saja tidak bisa ke mana mana. Anak saya buduh (gila)," keluh nenek Lembuk di Tabanan, Senin (15/2).
Nenek Lembuk kakinya patah tertabrak mobil saat pulang dari berjualan. Kini dia dan anaknya hanya bergantung hidup dari beras raskin, serta uluran tangan warga sekitar.
Gubuk berbahan ranting-ranting pepohonan ditempatinya ini berada di areal pinggiran persawahan bekas tempat kandang sapi.
"Ini dulunya bekas kandang sapi, tanahnya ini milik seorang dokter namanya Pak Anak Agung Subawa. Ibu Lembuk hanya numpang di sini," kata Made Putera, salah warga setempat.
Dia mengungkapkan, nenek Lembuk bersama anaknya yang memiliki keterbelakangan mental sudah hampir 10 tahun tinggal di gubuk reot. "Dia tidak punya sanak saudara di sini, hanya bersama anaknya saja. Tetapi gangguan jiwa anaknya tidaklah parah sampai mengamuk," tambah Made Putera.
Gubuk yang ditempati nenek Lembuk, sangatlah kotor dan bau. Selain bau pesing juga bau kotoran manusia bercampur dengan kotoran hewan. Maklumlah, berjarak lima meter dari gubuknya juga ada kandang kambing.
Ironisnya, dia tergolek di atas kasur kusam dan basah dan bau tengik. "Dulu saat masih bisa jalan, saya sehari-hari jual porosan (bahan untuk sembahyangan) dapat sehari Rp 5 ribu kadang Rp 7 ribu. Setelah ditabrak enam bulan lalu saya tidak berjualan lagi," lirihnya.
Kakek di Bali ini hidup seorang diri di gubuk ranting kering
I Wayan Sari alias Sari Enggung kakek berumur 80 tahun tinggal Dusun Panek Desa Ban Kecamatan Kubu Karangasem hidup di lahan kosong milik warga dengan mendirikan gubuk dari ranting pohon dan daun kering. Bahkan alas tempat tidur yang digunakan sebuah papan serutan kayu tanpa kapuk dan spon empuk.Â
Tampak dalam gubuk yang kosong melompong hanya terdapat tempat tidur yang terbuat dari kulit kayu papan. "Kalau pas musim hujan, saya sering tidak bisa tidur karena basah semuanya, tutur Enggung.
Kakek miskin di Karangasem ©2016 merdeka.com/gede nadi jayaEnggung yang sehari harinya hanya bekerja membantu kerabatnya menyabit, hidup serba kekurangan. Dia pun mengakui sangat membutuhkan jatah raskin dari pemerintah.
Sementara itu, Perbekel Desa Ban I Wayan Potag menyampaikan Enggung merupakan salah satu warganya hidup di bawah garis kemiskinan,di mana saat ini yang bersangkutan belum memiliki Kartu Keluarga karena hidup sebatang kara.
Rumah pasutri miskin di Bali ini mirip gubuk Tarzan di hutan
Keluarga miskin I Nengah Rijeng (57), asal Gebagan, Desa Kayubihi, Bangli, ini tinggal bersama istrinya Ni Wayan Patri dan satu anak perempuannya.Â
"Rumahnya di tengah rimbunan hutan di tepi jurang. Lumayan jauh dari jalan utama, harus jalan kaki," kata salah seorang warga menunjukkan arah rumah Rijeng, Jumat (23/1) di Bangli, Bali.
Dari jalan utama menuju rumah Rijeng, perlu istirahat lebih dari 5 kali setiap 15 menit perjalanan. Maklum medan jalan untuk menuju rumah Rijeng tidaklah mudah, apalagi bila dalam kondisi hujan dan becek.
Rumah beratapkan genteng, berdindingkan gedek dan pagar bambu, serta ada beberapa bagian atap bolong ditutupi anyaman daun kelapa. Begitulah gambaran rumah Rijeng yang berjarak 10 meter di belakangnya ada sebuah jurang karang.
"Hanya di sini kami bisa tinggal, maklum kami tidak punya apa-apa," ujar Rijeng.
Sementara itu, nampak di dalam rumah yang lantainya tanah, luasnya tidak lebih dari 5 x 6 meter itu, jadi satu antara dapur dan tempat tidur beralaskan kardus ditutupi tikar usang.
Sambil menganyam sebilah bambu, ia menuturkan bahwa tidak lagi mendapat jatah Raskin. "Nama saya dihapus, tidak terdaftar. Tidak tau apa sebabnya," ucapnya.
Untuk hidup, ia bekerja sebagai buruh tukang cangkul dengan upah Rp 10.000 per hari. Untuk tambahan, dari hasil jualan anyaman bambu, itu pun kalau laku bisa dapat Rp 100 ribu per bulan.
"Kami hanya bersyukur masih diberikan kepercayaan kepada Tuhan, bisa sembahyang di saat hari raya," tutupnya.
Nenek Nyoman Sondari terlantar, tinggal di gubuk tanah negara
Nenek renta, Nyoman Sondri (90) merasa menjadi orang asing di daerah kelahirannya sendiri di Mendoyo Jembrana di Bali. Setelah rumahnya diterjang ombak akibat abrasi pantai Penyaringan Mendoyo. Ia terpaksa harus hidup tak menentu, kadang di aula banjar kadang di bale desa. Hingga akhirnya ia membangun gubuk di sebuah lahan milik negara pinggir jalan jalur Denpasar-Gilimanuk.
Sialnya, hujan angin yang terjadi selama ini membuat rumah yang dibangun nyaris roboh. "Kami tak berdaya lagi pak. Si kakek (suami) sudah tak kuat, anak cacat. Bingung tiang (saya)," ungkap Sondri, Rabu (28/1) di Jembrana, Bali.
Sebelumnya, mereka tinggal di pinggir pantai di Penyaringan, Mendoyo. Selama 18 tahun tinggal di bibir pantai dan harus menyingkir setelah terkena abrasi.
"Anak saya cacat sejak kecelakaan 10 tahun lalu. Saya hanya bantu di sawah, kadang dibayar, kadang hanya di kasi beras," ucapnya.
Sementara itu Perbekel Penyaringan Mendoyo, Made Dresta dikonfirmasi membenarkan kalau keluarga ini memang termasuk keluarga miskin. Namun karena mereka tidak memiliki tanah untuk dibangun sehingga pihaknya tidak bisa mengusulkan untuk mendapatkan bedah rumah ataupun dana stimulan untuk perbaikan rumah.
"Kita juga bingung bagaimana caranya membantu karena tidak punya lahan. Itu yang ditempati tanah negara. Kami masih berusaha mudah-mudahan saja ada lahan satu are saja sehingga dia bisa membangun rumah," harapnya.
Keluarga ini tinggal di gubuk reyot dan tidur di tumpukan rongsokan
Kehidupan yang dijalani Ketut Sareng (65) dan istrinya Nyoman Runtini (55) di Lingkungan Satria, Kabupaten Jembrana, Bali. Di atas tanah milik warga, pasutri yang hanya dikaruniai seorang anak cacat mental ini tinggal dalam gubuk berukuran 5 x 6 meter. Mereka kesehariannya mengumpulkan barang bekas hingga larut malam, hanya bisa pasrah menjalani hidup.
"Makan bubur sudah tahunan Pak. Uang hanya bisa beli beras, kadang ada lebih bisa beli sebutir telur dibagi bertiga," ucap Ketut Sareng, Selasa (17/2) di Jembrana, Bali.
Selama 11 tahun mereka tinggal di gubuk tersebut, diakuinya belum satupun tersentuh oleh pemerintah. "Hanya petugas jurtik (juru jentik nyamuk) yang datang, tapi periksa nyamuk bukan periksa kami," kata dia.
Mengharukan lagi, bila hujan tiba, mereka tidur seperti babi di kubangan lumpur. Bahkan tidak jarang dia dikerubungi kaki seribu dan cacing tanah, lantaran tidur di atas tanah menyatu dengan tumpukan rongsokan botol plastik bekas. Bahkan untuk MCK, kebun semak belukar sudah jadi tempatnya.
"Kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Kami mau pindah, tapi harus ke mana, dan kami belum mendapat tempat. Kami memang di sini sudah diusir karena katanya tanah ini sudah laku dijual," kata Runtini nada sedih.
3 Bersaudara hidup dalam kebutaan, tuli dan keterbelakangan mental
I Wayan Labek dan dua saudaranya Ni Made Gendok serta I Ketut Lapar. Warga Desa Susut Kaja, Kabupaten Bangli di Bali hanya mengharapkan belas kasihan dari tetangga untuk kebutuhan sehari-hari. Ketiganya hidup miskin dan tidak memiliki pekerjaan. Bukan ketiganya malas bekerja, melainkan kondisi fisik yang tidak memungkinkan.
Labek pria berumur 47 tahun itu sudah 15 tahun menderita gangguan jiwa. Sedangkan kedua saudaranya mengalami buta dan tunawicara. Tiga bersaudara tersebut hidup sangat memprihatinkan, mereka tinggal di gubuk reyot tak layak huni.
I Wayan Labek dirawat kedua saudaranya yang buta dan bisu dalam gubug reot ©2015 Merdeka.comLabek kondisinya paling parah, dirawat oleh dua saudaranya si buta dan si bisu. Mereka pun menjalani hari-harinya dengan ikhlas dan tabah. Meskipun terkadang Gendok dan Lapar menolak jika diberi uang atau kebutuhan dengan cuma-cuma.
Mereka lebih senang orang menggunakan jasa pijatnya kemudian diberi upah. "Orang yang minta dipijat oleh Gendok bukan karena ingin dipijat, tidak lebih hanya kasihan saja. Karena kalau diberi uang cuma-cuma, keluarga ini pantang menerimanya," kata salah seorang warga setempat.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sehari-hari, mereka bekerja sebagai buruh tani. Penghasilan harian kecil kadang tak dapat sama sekali
Baca SelengkapnyaMereka sudah merasakan dampak kekeringan sejak Mei.
Baca SelengkapnyaJalan setapak, bangunan sekolah sampai lapangan bola kini berubah menjadi lautan.
Baca SelengkapnyaSebetulnya ada wacana warganya akan di relokasi ke sebuah rusun yang nantinya bakal disiapkan oleh Pemprov.
Baca SelengkapnyaPeningkatan penduduk miskin di Sulawesi disebabkan rendahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Baca SelengkapnyaMasuknya modal asing dan kapitalisme modern mendorong munculnya pranata ekonomi baru di kalangan masyarakat nelayan.
Baca SelengkapnyaWarga di berbagai daerah terpaksa mencari air di dalam hutan yang jaraknya mencapai satu kilometer dari desa mereka.
Baca SelengkapnyaWarga harus berjuang keras untuk mendapatkan air di tengah bencana kekeringan.
Baca SelengkapnyaPerubahan iklim telah membuat Dusun Rejosari Senik, yang dahulu dihuni 225 kepala keluarga (KK), kini ditinggalkan penduduknya.
Baca SelengkapnyaPotret kehidupan nelayan di tengah laut saat mencari ikan. Terombang-ambing saat hujan badai.
Baca SelengkapnyaSumber air yang biasanya dimanfaatkan mendadak juga mengering sejak kemarau.
Baca SelengkapnyaKondisi rumah Idris rapuh. Atapnya terbuat dari daun rumbia yang hampir hancur, dinding anyaman bambunya juga berlubang dan penuh rongga. Ia butuh bantuan.
Baca Selengkapnya