Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Derita Tan Malaka di Singapura, diburu intel dan tak punya uang

Derita Tan Malaka di Singapura, diburu intel dan tak punya uang tan malaka. ©2014 Merdeka.com

Merdeka.com - Indonesia dan Singapura belakangan bersitegang terkait penamaan KRI Harun Usman. Singapura protes karena penamaan KRI Usman Harun diambil dari nama dua anggota KKO yang mengebom MacDonald House di Orchard Road, Singapura, pada 1965.

Dulu, Singapura menjadi salah satu tempat pelarian Tan Malaka dari buruan polisi rahasia negara imperialis Inggris, Belanda dan Amerika Serikat. Bapak Republik Indonesia itu pernah dua kali tinggal di Singapura pada 1927 dan 1937.

Tan datang kali kedua di Singapura meninggalkan Amoy karena tentara Jepang telah masuk ke wilayah China itu. Tan Malaka tiba setelah menumpang kapal dari Amoy menuju Hong Kong dan Rangoon, Burma. Meski kapal itu sempat berlabuh di Singapura, Tan tak langsung turun di kota itu. Sebab, saat itu Tan memiliki tiket menuju Ranggon dan pihak kapal menahan USD 25 dan kartu pas penumpangnya sebagai jaminan agar tak turun di tempat yang tak sesuai dengan tujuan di tiketnya.

Orang lain juga bertanya?

Saat itu, Tan harus benar-benar berhemat karena kondisi keuangannya yang memprihatinkan. Saat itu, isi dompetnya sudah habis dan ia terancam tak bisa makan alias kelaparan.

"Di manakah saya bisa tinggal untuk mendapatkan pekerjaan pertama kali untuk sumber penghidupan. Inilah pertanyaan yang mendesak di dalam pikiran saya, karena uang simpanan saya semakin hari semakin habis," kata Tan Malaka dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid II.'

Tan berupaya mencari pekerjaan. Namun jumlah penganggur saat itu cukup besar. Sementara untuk melamar menjadi guru dia tak memiliki ijazah Inggris yang berlaku saat itu dan untuk menggunakan ijazah Belanda tak mungkin dilakukannya. Sebab, hal itu sama saja membuka rahasianya sebagai seorang pelarian yang sudah terkenal oleh agen rahasia negara imperialis.

Berubahnya kondisi Singapura saat itu semakin membuat Tan bingung. Sebab, saat 1927, Singapura masih mayoritas didiami orang Indonesia dengan komposisi 90 persen dari jumlah penduduk. Alamat dan lokasi tinggal para sahabatnya pun jelas saat itu.

Namun, pasca-Inggris masuk, jumlah pendatang ke Singapura yang berasal dari etnis Tionghoa dan Hindustan, India, tak terbendung. Alhasil, komposisi penduduk berubah. Orang Indonesia yang awalnya mayoritas kini hanya tinggal 5 persen, bahkan ada yang menyebut 1 persen saja dari total penduduk saat itu. Tak hanya itu lokasi-lokasi pemukiman warga Indonesia pun tergusur dan diganti oleh para pendatang itu.

Meski demikian, Tan sempat menemui dua orang temannya. Satu orang temannya mencoba membantunya dan menitipkan Tan untuk tinggal dengan saudaranya. Namun sayangnya, saudara sahabat Tan itu ternyata seorang pensiunan polisi Inggris. Hal itu tentu mengkhawatirkan bagi Tan.

Tan lantas pergi meninggalkan rumah tersebut setelah meminta pertimbangan dari sahabatnya. Tan lantas diberi sejumlah uang oleh sahabatnya itu. Tan kembali menemui sahabatnya yang lain, tapi sahabatnya itu kini telah menjadi seorang borjuis yang penuh kemewahan dan sudah tak tertarik dengan semangat kemerdekaan. Meski diterima dengan baik, Tan sadar kehadirannya itu tak diharapkan karena bisa membahayakan sahabatnya itu. Tan lantas meninggalkan sahabatnya yang memiliki empat istri itu.

"Dalam satu dua minggu saya tinggal di Singapura itu saya coba memasuki kantor maskapai yang besar-besar buat mendapatkan pekerjaan juru tulis atau pun bujang tapi tak berhasil.... Lain sekali keadaan pada tahun 1937 itu dari 10 tahun lampau. Dahulu mudah saya mendapatkan pekerjaan. Tetapi pada 1937 itu dikatakan dalam surat kabar 4.000 pemuda keluaran sekolah menengah yang menganggur," kata Tan.

Tan semakin terdesak. Uang di dompetnya benar-benar sudah habis tak tersisa. Letih, kekurangan tidur dan makan membawanya termenung di sebuah bangku di gedung Museum Raffles. Tan berandai-andai jika saja sahabatnya Buna ada, selesailah semua kesulitannya. Tiba-tiba tampak di depan mata Tan seorang Tionghoa yang cara berjalannya seperti Buna.

"Saya panggil dia dengan suara agak keras, sambil menggosok-gosok mata saya sendiri. Keduanya kami tercengang atas pertemuan yang tiada disangka-sangka itu. Tiada sanggup kami berbicara berapa lama," kata Tan.

Keduanya lantas langsung berangkat mencari seorang sahabat yang dikenal keduanya saat masih di Amoy. Sahabat yang tak disebut namanya hanya disebut YY oleh Tan itu punya teman yang memiliki sebuah sekolah. Tan berharap bisa bekerja sebagai guru di sekolah itu. Setelah sempat kesulitan mencari YY, Tan dan Buna akhirnya berhasil menemukannya.

Tan kemudian menjadi guru bahasa Inggris di sekolah rendah itu dan mendapat gaji awal USD 8 per bulan l kemudian naik menjadi USD 10 per bulan. Di sekolah itu, Tan merasa aman dari buruan agen rahasia negara imperialis. Tan pun semakin banyak mengenal orang.

Atas koneksinya yang semakin bertambah, Tan akhirnya bisa mengajar bahasa Inggris dan ilmu bumi di sekolah menengah tinggi. Soal ijazah Inggris yang tak dimilikinya tak lagi menjadi masalah. Di tempat itu, Tan bisa berkomunikasi dengan orang Indonesia dan mengorek informasi soal perjuangan di Indonesia. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan Tan memilih Singapura sebagai tempat pelariannya setelah Amoy.

Namun, 'kenyamanan' itu tak berlangsung lama. Tan harus kembali pergi setelah pasukan tentara fasis Jepang menguasai Singapura. Saat itu Inggris menyerah kepada Jepang yang berhasil membombardir tentara Inggris di Singapura melalui udara dan darat.

Tan lantas meninggalkan Singapura menuju Penang pada Mei 1942 dengan menumpangi tongkang alias perahu kecil dan kemudian menuju Medan.

(mdk/dan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Sosok Ibrahim Marah Sutan, Kaum Intelek Masa Hindia Belanda Asal Padang Pariaman
Sosok Ibrahim Marah Sutan, Kaum Intelek Masa Hindia Belanda Asal Padang Pariaman

Seorang tokoh intelektual, pendidik, penulis, dan tokoh pergerakan asal Minangkabau ini hidup di masa Hindia Belanda dan Orde Lama.

Baca Selengkapnya
Rekam Jejak WNA Singapura Punya KTP Palsu Warga Tulungagung, 15 Tahun Tinggal di Indonesia secara Ilegal
Rekam Jejak WNA Singapura Punya KTP Palsu Warga Tulungagung, 15 Tahun Tinggal di Indonesia secara Ilegal

Mohtar dideportasi ke negara asalnya melalui Bandara Internasional Djuanda, Surabaya.

Baca Selengkapnya
Ibu-ibu Ini Bertemu Sosok Gurunya saat SD Mengamen di Terminal, Momen Perjumpaannya Bikin Haru
Ibu-ibu Ini Bertemu Sosok Gurunya saat SD Mengamen di Terminal, Momen Perjumpaannya Bikin Haru

Guru yang dulunya penuh wibawa di ruang kelas kini harus berjuang mengais rezeki di tengah keramaian terminal.

Baca Selengkapnya
Cerita Guru Honorer Terdampak Cleansing di DKI Jakarta, Diputus Kontrak secara Lisan
Cerita Guru Honorer Terdampak Cleansing di DKI Jakarta, Diputus Kontrak secara Lisan

Ara erkena cleansing pada Mei 2024 lalu usai disampaikan secara lisan oleh kepala sekolah tanpa surat apapun.

Baca Selengkapnya
30 Quotes Tan Malaka tentang Perjuangan, Cocok untuk Caption Media Sosial
30 Quotes Tan Malaka tentang Perjuangan, Cocok untuk Caption Media Sosial

Tan Malaka adalah seorang tokoh sejarah yang memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Baca Selengkapnya
Napak Tilas Kediaman Tan Malaka, Jejak Semasa Hidup Sang Revolusioner Indonesia
Napak Tilas Kediaman Tan Malaka, Jejak Semasa Hidup Sang Revolusioner Indonesia

Kediaman salah satu tokoh revolusioner Indonesia yang tersohor ini sebagai salah satu saksi bisu ketika masa hidupnya.

Baca Selengkapnya