Di Sidang Edhy Prabowo, Eksportir Ngeluh Usaha Benur Tak Ada Untung
Merdeka.com - Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito mengakui selama menjalani bisnis ekspor benih benur lobster (BBL), tidaklah menguntungkan, karena beban biaya yang mahal dan risiko turunnya harga BBL yang tinggi. Hal itu disampaikan saat sidang kasus suap izin ekspor benih lobster.
Berawal dari jaksa yang menanyakan kepada Suharjito terkait hitungan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan ekspor BBL. Lantas Suharjito menjawab, harga ekspor BBL yang ditentukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai terlalu mahal.
Sebagaimana diketahui, pembayaran biaya operasional ekspor BBL dibayarkan kepada PT Aero Citra Kargo (ACK) PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebesar Rp1.800 per ekor benih lobster dengan pembagian pendapatan operasional PT PLI sebesar Rp 350/ekor BBL dan PT ACK mendapat Rp 1.450.
-
Kenapa lobster biru langka? Menurut FTC, lobster biru terjadi hanya satu dari setiap 2 juta lobster. Mereka menekankan bahwa kemungkinan lobster biru ditangkap, dikirim, diselamatkan, dan tidak dinikmati sangat sulit, hampir tidak mungkin.
-
Kenapa Heru memilih beternak lobster? Alasan Menurut Heru, pemeliharaan lobster lebih mudah dan sederhana. Selain itu, cuan yang dihasilkan lebih banyak.
-
Lobster biru itu apa? Lobster biru sangat langka. Diperkirakan peluang menangkap lobster biru hanya sekitar satu banding dua juta, sehingga dianggap sebagai spesies yang sangat langka.
-
Bagaimana lobster biru ditangkap? Sebagai seorang nelayan sejak 2013, Haass menyampaikan keberuntungannya dan keistimewaan menemukan lobster biru dalam perangkapnya.
-
Dimana Heru menjual lobsternya? Heru memanfaatkan media sosial untuk menjual lobster hasil budi daya dari kolam belakang rumahnya. Selain itu, ia juga sudah punya pelanggan tetap dari Jombang dan kota-kota lain Surabaya, Banyuwangi, dan nyaris seluruh daerah di Jawa Timur.
-
Kenapa lobster bahaya kalau makan banyak? Ya karena tinggi kolesterol, ya jangan banyak-banyak ya makannya,' ujar Prof. Ahmad dalam acara Jelajah Gizi 2024 di Banyuwangi, seperti yang dikutip Merdeka.com pada Selasa (19/11/2024).
"Iya (kemahalan), Jadi sebelum itu kita sudah hitung sampai plastik kita hitung," kata Suharjito saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (5/5).
Dengan harga tersebut, Suharjito memandang bila ekspor BBL seharusnya hanya berkisar Rp300 per ekor. Namun karena ada hitungan biaya yang dibayarkan ke PT ACK sehingga harga ekspor BLL menjadi Rp1.800 per ekor.
"Ya kita kan memang bisnis sudah kita menghitung itu kemahalan, tapi di dalam kemahalan itu tentunya karena ada keuntungan Rp1.500. Nah Rp1.500 itu memang ACK yang mengerjainnya," ujarnya.
Lalu kemudian jaksa bertanya kepada Suharjito kenapa masih tetap menjalankan bisnis ekspor BBL padahal sudah diketahui terlalu mahal untuk biayanya. Lalu dijawab Suharjito kalau dirinya tidak ada pilihan, lantaran sejak dirinya bergabung harga Rp1.800 sudah disepakati sebelumnya.
"Karena itu tidak ada suatu pilihan, karena waktu saya bergabung sama pak Chandra Astan (Direktur PT Grahafoods Indo Pasifik) di kantor saya itu memberitahu selaku ketua asosiasi Perduli (Persatuan Dunia Lobster Indonesia) yang pasti terima keluhan dari anggota. Nah itu saya bertemu, kan punya gudang, lalu Chandra cerita untuk ACK itu sudah komitmen dengan pihak KKP sehingga harganya Rp1.800," bebernya.
Selanjutnya, Suharjito menceritakan, terkait keluhannya dalam menjalani bisnis lobster ini ketika berbicara dengan Chandra. Lantaran modal yang disetorkan baik uang komitmen fee maupun uang biaya ekspor BBL tak kunjung balik modal.
"Dia ngomongnya gitu waktu itu belum balik modal, sama-sama (perusahaan lainnya) pada belum balik modal uang yang dikeluarkan. Nah artinya dia nyebut ada PT Tania Asia Marina, dan seperti itu. Ya tapi itu cerita sambil lalu saja," ujarnya
"Jadi usaha BBL ini enggak ada untung, enggak ada untung. Saya sendiri 12 kali ekspor cuman untung Rp40 juta, yang lainnya rugi," tambahnya.
Suharjito menjabarkan, alasannya mengapa tidak mendapatkan untung dari bisnis BBL ini, yang mana dari pihak pembeli telah mengetahui kuota ekspor perekor BBL yang dilakukan setiap perusahan sehingga bisa memperkirakan harganya.
"Jadi kalau Vietnam itu tahu harga satuan, kalau kita harga benihnya misalkan total benih 10.000 di nelayan. Nah sebenarnya nelayan ini untung besar karena persaingan usaha banyak karena nelayan itu merasa untung. Misalkan 10.000 benih Vietnam sudah ngitung 10.000 xRp1.800 plus PPDB Rp1000 nah sudah Rp2.800. Nah nanti dikasih selisih (keuntungan) paling harga Rp1.000 atau Rp1.500," terangnya.
Namun demikian, ketika proses ekspor berlangsung, kata Suharjito, keuntungan yang seharusnya didapat sekitar Rp1.000 sampai Rp1.500 per ekor benur tidak semuanya berjalan lancar. Karena banyak benur lobster yang mati maupun kualitasnya menurun sehingga harganya turun.
"Tapi di situ ada, kematian, hitungan, berubah warna, kurang ini itu yang rugi. Tapi saya sebenarnya tidak utamakan di ekspor BBL, saya lebih ingin budidaya karena saya sudah belajar budidaya," terangnya.
"Tadi rugi ya pak belum balik modal, tapi tadi pak Candra dan PT Tania apakah ada juga uang komitmen fee?" tanya jaksa.
"Ada, tapi kan saya ini kan saling menutupi lah, dari tadi cerita dia," timpal Suharjito.
Suharjito pada sidang ini diperiksa sebagai saksi untuk enam terdakwa. Terdiri dari eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, asisten pribadi Edhy, Amiril Mukminin, dan staf khusus menteri kelautan dan perikanan Safri.
Kemudian staf istri menteri kelautan dan perikanan Ainul Faqih; staf khusus menteri kelautan dan perikanan Andreau Pribadi Misanta; dan Siswadhi Pranoto Loe. Mereka diduga sebagai pihak penerima dan perantara suap izin ekspor BBL.
Atas perbuatannya itu, para terdakwa didakwa dengan Pasal 12 huruf a Undang -Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang- Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan.
Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menteri Trenggono menjalin kerja sama dengan Vietnam untuk mengatasi penyelundupan benih bening lobster.
Baca SelengkapnyaSuwardi memulai usaha itu hanya dengan modal Rp300 ribu.
Baca SelengkapnyaPramono bingung apa yang terjadi, karena sejak 2015-2017 dirinya selalu rutin membayar pajak dengan besaran Rp10 juta.
Baca SelengkapnyaPolisi Setop Kijang Innova Angkut 50.000 Lebih Benur Senilai Rp6 M di Palembang
Baca SelengkapnyaPangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Palembang menggagalkan penyelundupan 99.648 ekor benih atau baby lobster senilai Rp15 miliar ke Singapura.
Baca SelengkapnyaKeberhasilan tersebut merupakan hasil kerjasama dengan aparat penegak hukum yang telah menggagalkan penyelundupan sebanyak 24 kali di 11 lokasi.
Baca SelengkapnyaSkandal 'Mark Up' Harga Beras Impor Berpotensi Rugikan Devisa Negara hingga Rp8,5 Triliun
Baca SelengkapnyaSeorang pembudidaya belut mampu kembangkan hingga 200 kolam meski sempat diremehkan hingga merugi.
Baca SelengkapnyaMenteri Trenggono akui kewalahan mengurus ekspor ilegal benih lobster.
Baca SelengkapnyaKepala Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah II, Etty Rachmiyanthi memberikan penjelasan. Menurutnya, ada beberapa poin yang harus disampaikan.
Baca Selengkapnya174 Ribu benih lobster nyaris diekspor secara ilegal ke Singapura. Beruntung upaya tersebut berhasil digagalkan.
Baca SelengkapnyaPihak berwenang berhasil mengamankan 6 pekerja packing beserta barang bukti benih lobster.
Baca Selengkapnya