DPR: Kasus Kekerasan Seksual Anak jadi Momentum Percepat Pengesahan RUU TPKS
Merdeka.com - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem Muhammad Farhan mengatakan munculnya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lembaga pendidikan di Indonesia merupakan momentum RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) segera disahkan.
"Jadi momentum ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS, karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita, secara proporsional," kata Farhan dilansir Antara, Senin (13/12).
Menurut Farhan, terkait kasus kekerasan seksual oleh seorang guru di salah satu pesantren di Bandung, Jawan Barat, pihak yang perlu dihakimi adalah pelaku, bukan pesantrennya.
-
Siapa guru yang mencabuli murid? Kasat Reskrim Polres Kota Pariaman, Iptu Rinto Alwi mengatakan, peristiwa itu terjadi beberapa bulan yang lalu dan pelaku sudah berhasil diamankan. 'Kejadian tahun ini, beberapa bulan yang lalu. Pelaku berhasil ditangkap pada 15 Mei 2024. Pada 29 Mei 2024 perkaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan,' tuturnya.
-
Di mana guru itu mencabuli murid? 'Korban dicabuli pada saat jam pelajaran dengan diiming-iming uang. Aksi itu ada yang dilakukan pelaku di pustaka, dan ada juga di kelas. Kejadian sudah berulang-ulang,' jelasnya.
-
Di mana kasus pencabulan pengasuh Ponpes terjadi? Kasus pencabulan kembali terjadi di lingkungan pondok pesantren. Kali ini seorang pengasuh pondok pesantren di Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar diduga mencabuli enam orang santriwati.
-
Siapa yang bertanggung jawab atas kekerasan di sekolah? Satuan pendidikan harus menyadari mereka memiliki tugas dan fungsi perlindungan anak, selain tugas layanan pembelajaran.
-
Siapa yang diduga melakukan pelecehan seksual? Video itu berisikan pengakuan dan permintaan maaf seorang pria atas pelecehan seksual yang dilakukannya.
-
Siapa yang dituduh melakukan kekerasan? Menurut Vanessa, Yudha Arfandi lah yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Tamara Tyasmara.
"Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut. Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut," katanya lagi.
Ia menilai kesadaran hukum masyarakat sudah meningkat, sehingga tidak ada alasan lagi menunda pengesahan RUU TPKS. Para pelaku kekerasan seksual, menurut dia, tidak hanya harus dijerat hukuman maksimal hingga kebiri untuk memutus mata rantai potensi pelecehan.
Lebih dari itu, mobilitas fisik maupun mobilitas sosial mereka juga perlu dibatasi, sebab dampak perbuatan pelaku merusak kondisi sosial para korban.
"Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial, karena korban kejahatan kekerasan seksual harus menanggung dampak jangka panjang pula," ujar Farhan.
Dia menekankan pemerintah daerah (pemda) hadir memberi perlindungan kepada para korban dengan intensif.
"Perlu kita apresiasi upaya DP3AKB Provinsi Jabar dan ibu Atalia Kamil yang 'gercep' (gerak cepat) memberi perlindungan dan pemulihan korban, bahkan jauh sebelum kasus ini diangkat di media sosial. Perlindungan psikologis dan pemenuhan kesehatan ibu dan anak (yang masih di kandungan maupun yang sudah lahir) menjadi prioritas utama," kata dia pula.
Ia mengatakan pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada sang ibu yang masih usia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung dan yang sudah lahir perlu diperhatikan.
"Saya mengajak semua pihak, jika ingin membantu para korban, kita kolaborasi dengan DP3AKB Provinsi Jabar. Hindari politisasi kasus ini, apalagi sampai dihubungkan dengan Pilpres 2024. Sangat tidak manusiawi," ujar Farhan.
Farhan menilai dari semua pemberatan hukuman, mulai penjara sampai kebiri kimia, ada satu hal yang belum diberlakukan yaitu pembinaan dan rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman.
Rehabilitasi dan pembinaan kepada pelaku, menurut dia, akan memberi ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku. Tujuannya untuk memberikan efek jera bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku.
"Sayangnya, pidana kekerasan seksual bukan masuk kategori 'extraordinary crime', sehingga tidak bisa berlaku surut, akibatnya perilaku kejahatan kekerasan seksual tidak bisa diusut sampai ke tindakan sang pelaku di masa lalu," kata dia lagi.
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Polres Gorontalo kemudian menetapkan oknum guru berinisial DH (57) sebagai tersangka.
Baca SelengkapnyaKasus perundungan di dunia pendidikan, khususnya di pesantren, menjadi perhatian Menteri PPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Baca SelengkapnyaKorban merupakan santriwati di ponpes yang diasuh oleh oknum kiai AM.
Baca SelengkapnyaPuan pun menyoroti pentingnya komitmen perguruan tinggi untuk serius menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Baca SelengkapnyaDari keterangan yang didalami polisi, korban pelecehan bertambah.
Baca SelengkapnyaPelaku berinisial ME ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Baca SelengkapnyaPuan juga prihatin atas banyaknya guru yang terseret kasus hukum karena mendisiplinkan siswa dianggap sebagai pelanggaran.
Baca SelengkapnyaKetua DPR RI Puan Maharani menyoroti masih banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masih diabaikan pihak kampus
Baca SelengkapnyaKasus dugaan pencabulan itu dilaporkan sesuai LP/B/394/11/2024/SPKT/POLRES METRO JAKSEL/POLDA METRO JAYA, tertanggal 07 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaDia mengimingi sejumlah uang untuk murid yang menjadi incarannya.
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi X DPR RI, Karmila Sari sangat menyayangkan kasus seperti ini terulang kembali yang bisa merusak citra pendidikan.
Baca SelengkapnyaLangkah yang dilakukan yakni penanganan yang mengedepankan keadilan restoratif.
Baca Selengkapnya