DPR Minta Jokowi Turun Tangan Terkait Pelaporan Komisioner KPU
Merdeka.com - Komisi III DPR mendorong Presiden Joko Widodo turun tangan terkait persoalan hukum yang menjerat para komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Komisioner KPU dilaporkan Oesman Sapta Odang (OSO) karena dinilai melanggar Pasal 421 KUHP juncto Pasal 216 ayat (1) terkait tidak melaksanakan perintah undang-undang atau putusan PTUN.
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menilai ancaman pidana terhadap sejumlah komisioner KPU bukan sekadar melahirkan kegaduhan di ruang publik, tetapi membuka ruang ketidakpastian hukum dalam pergantian kepemimpinan nasional.
"Proses hukum terhadap komisioner KPU harus diantisipasi karena masalahnya serius. Peningkatan status terhadap komisiner KPU tidak sekadar mengganggu jalannya tahapan pemilu, tapi kredibilitas penyelenggaran dan hasil pemilu," kata Nasir di Jakarta seperti dikutip Antara, Jumat (1/2).
-
Siapa yang dilaporkan melanggar aturan Pilpres? Kubu pasangan Calon Presiden nomor urut satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar heran laporan dugaan pelanggaran pemilu terhadap Calon Wakil Presiden nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka tidak diproses.
-
Apa yang diadukan kepada Ketua KPU? Ketua KPU Hasyim Asyari didalilkan lalai dan tidak cermat dalam menentukan serta menetapkan anggota KPU Kabupaten Puncak yang terindikasi sebagai anggota aktif partai politik.
-
Bagaimana DPR saran KPK mengusut kebocoran OTT? Bahkan Sahroni merekomendasikan KPK untuk berkolaborasi dengan instansi-instansi terkait, jika ingin serius mengungkap dugaan ini.
-
Siapa yang diadukan ke DKPP? Dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor 19-PKE-DKPP/I/2024, Nus Wakerkwa mengadukan Ketua KPU Hasyim Asy’ari berserta anggota KPU Mochammad Afifuddin dan Parsadaan Harahap.
-
Mengapa Jokowi digugat? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang DPR minta tindak tegas? Polisi diminta menindak tegas orang tua yang kedapatan mengizinkan anak di bawah umur membawa kendaraan.
Dia menilai persoalan hukum antara KPU dengan Polda Metro Jaya bukan sekadar masalah pidana, namun ketidakpatuhan KPU pada putusan peradilan. Sebab, PTUN Jakarta telah mencabut putusan KPU terkait daftar calon tetap (DCT) anggota DPD RI sehingga kekosongan hukum tersebut harus diselesaikan.
Menurutnya, sengketa yang terjadi saat ini telah berubah menjadi polemik antarlembaga negara dan peradilan. Bukan sekadar hilangnya hak politik OSO dalam Pemilu 2019.
Politikus PKS itu mengusulkan jalan keluar yaitu Presiden mengundang Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), KPU, Bawaslu dan kepolisian untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan tersebut.
Dia mengibaratkan sebelum api besar maka harus segera dipadamkan. Salah satunya dengan langkah Presiden memanggil KPU, Bawaslu, MA, MK dan Polri untuk mendengarkan pendapatnya masing-masing.
"Kalau sudah begini yang dikedepankan adalah kewenangannya bukan ketenangan, kita ingin tenang. Harus dicari jalan keluar karena ada orang yang ingin hak politiknya direalisasikan yaitu OSO," imbuh Nasir.
Sebelumnya, KPU dilaporkan tim kuasa hukum Oesman Sapta Odang (OSO) ke Polda Metro Jaya, Rabu (16/1), dengan tuduhan tidak melaksanakan perintah undang-undang, serta putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi diperiksa Polda Metro Jaya pada Selasa (29/1).
Keduanya dimintai keterangan terkait laporan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) terhadap KPU yang tidak mau melaksanakan putusan peradilan tentang pencalonan OSO sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
KPU dinilai melakukan tidak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 421 jo Pasal 261 ayat (1) KUHP yang berbunyi, "Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasannya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan".
Kemudian, sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Demokrasi lndonesia mengutuk upaya pemidanaan anggota KPU RI oleh Oesman Sapta terkait pencalonan dirinya sebagai anggota DPD RI. (I028).
Sebelumnya, KPU tidak meloloskan Oesman dalam pencalonan anggota legislatif Dewan Pimpinan Daerah (DPD RI), padahal dirinya telah memenangkan gugatan di PTUN dan Bawaslu. KPU menolak pencalonan OSO karena Mahkamah Konstitusi (MK) melarang pengurus partai politik maju sebagai calon anggota DPD RI.
Dalam perkembangannya, pengacara Oesman, Herman Kadir melaporkan Ketua KPU Arief Budiman dan komisioner lainnya yaitu Hasyim Asyari, Ilham Saputra, dan Pramono Ubaid ke Polda Metro Jaya, Rabu (16/1).
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Presiden Joko Widodo atau Jokowi buka suara dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan tindak nepotisme.
Baca SelengkapnyaLaporan dilayangkan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Erick Samuel kepada Pimpinan KPK pada Senin (23/10).
Baca SelengkapnyaLaporan dilayangkan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Erick Samuel kepada Pimpinan KPK pada Senin (23/10).
Baca SelengkapnyaLaporan dilayangkan usai putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres.
Baca SelengkapnyaKoordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Erick Samuel melaporkan Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep dan Anwar Usman
Baca SelengkapnyaSebelumnya, Agus Rahardjo mengungkapkan dirinya pernah dipanggil dan diminta Presiden Jokowi untuk menghentikan penanganan kasus korupsi pengadaan e-KTP
Baca SelengkapnyaPada Senin (16/12) kemarin, PDIP resmi memecat Jokowi dari PDIP.
Baca SelengkapnyaJokowi meyakini hal ini dapat memberikan efek jera untuk para koruptor dan mengembalikan kerugian negara.
Baca SelengkapnyaSomasi pertama dikirim oleh Koalisi Masyarakat Sipil pada tanggal 9 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaPresiden Joko Widodo menjawab usulan agar pimpinan KPK dinonaktifkan di tengah kasus dugaan pemerasan Mentan Syahrul Yasin Limpo.
Baca SelengkapnyaPemecatan terhadap Jokowi ini tercantum dalam Surat Keputusan (SK) dengan Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024.
Baca SelengkapnyaMenurut Faisal, apa yang disampaikan oleh Agus Rahardjo tidak disertai dengan bukti-bukti otentik dan berdasarkan fakta-fakta hukum.
Baca Selengkapnya