DPR Tegaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bukan Pro Seks Bebas dan LGBT
Merdeka.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual didesak segera disahkan. Namun sejumlah pihak lain menandatangani petisi menolak pengesahan RUU ini. Petisi ini diinisiasi Dosen Universitas Padjajaran, Maimon Herawati dan telah berhasil mengumpulkan ratusan ribu tanda tangan di Change.org. Petisi muncul karena RUU ini dinilai pro perzinahan dan LGBT.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo menegaskan RUU ini bukan pro pada kehidupan seks bebas dan LGBT. RUU ini menekankan pada pentingnya perlindungan korban kekerasan seksual baik laki-laki maupun perempuan. Dia mengatakan Anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan ini tak ada yang mendukung seks bebas. Bahkan dalam RDPU (rapat dengar pendapat umum), Panja juga menerima masukan dari tokoh lintas agama, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Semua masukan masih kita terima. Kalau misalkan memang ada yang merasa kurang silakan memberikan masukan dalam bentuk konkret yaitu dalam bentuk daftar inventaris masalah pasal mana yang harus diubah. Atau pasal mana yang harus ditambahkan. Jadi tidak ada masalah di situ dan saya rasa tidak ada satu pun anggota DPR terutama di Panja ini yang mendukung perilaku seks bebas atau zina dan seterusnya, tidak," tegasnya ditemui di D'Consulate, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2).
-
Bagaimana DPR ingin cegah pelecehan? 'KemenPAN-RB harus segera membuat aturan spesifik demi menghadirkan ruang kerja yang aman bagi para ASN. Aturan-aturan ini penting agar pelecehan yang sebelumnya seringkali dianggap lazim, bisa diberantas dan dicegah. Kita tidak mau lagi ada ruang abu-abu dalam kasus pelecehan ini,' ujar Sahroni dalam keterangan, Senin (25/3).
-
Mengapa DPR RI minta pelaku dihukum berat? 'Setelah ini, saya minta polisi langsung berikan pendampingan psikologis terhadap korban serta ibu korban. Juga pastikan agar pelaku menerima hukuman berat yang setimpal. Lihat pelaku murni sebagai seorang pelaku kejahatan, bukan sebagai seorang ayah korban. Karena tidak ada ayah yang tega melakukan itu kepada anaknya,' ujar Sahroni dalam keterangan, Kamis (4/4).
-
Bagaimana DPR RI ingin polisi menangani kasus pelecehan anak? Ke depan polisi juga diminta bisa lebih memprioritaskan kasus-kasus pelecehan terhadap anak. Polisi Diminta Dampingi Psikologis Anak dan Istri korban Pencabulan Oknum Petugas Damkar Polisi menangkap SN, pria yang tega melakukan dugaan tindak pidana pencabulan terhadap anaknya sendiri yang berusia 5 tahun. Tidak hanya diminta menghukum berat pelaku, polisi diminta juga mendampingi psikologis korban dan ibunya. 'Setelah ini, saya minta polisi langsung berikan pendampingan psikologis terhadap korban serta ibu korban. Juga pastikan agar pelaku menerima hukuman berat yang setimpal. Lihat pelaku murni sebagai seorang pelaku kejahatan, bukan sebagai seorang ayah korban. Karena tidak ada ayah yang tega melakukan itu kepada anaknya,' ujar Sahroni dalam keterangan, Kamis (4/4). Di sisi lain, Sahroni juga memberi beberapa catatan kepada pihak kepolisian, khususnya terkait lama waktu pengungkapan kasus. Ke depan Sahroni ingin polisi bisa lebih memprioritaskan kasus-kasus pelecehan terhadap anak.'Dari yang saya lihat, rentang pelaporan hingga pengungkapan masih memakan waktu yang cukup lama, ini harus menjadi catatan tersendiri bagi kepolisian. Ke depan harus bisa lebih dimaksimalkan lagi, diprioritaskan untuk kasus-kasus keji seperti ini. Karena korban tidak akan merasa aman selama pelaku masih berkeliaran,' tambah Sahroni.
-
Kenapa Rasuna Said memperjuangkan hak perempuan? Terinspirasi oleh ketidakadilan yang dialami perempuan pada masa itu, ia aktif dalam dunia pendidikan dan organisasi, mengadvokasi kesetaraan hak antara pria dan wanita.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Aturan apa yang DPR dorong? Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendorong Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk membuat aturan yang bisa mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual di kalangan aparatur sipil negara (ASN).
Terkait berbagai kekhawatiran yang dilontarkan masyarakat jika RUU disahkan, Rahayu menjawab bahwa kekhwatiran masyarakat itu telah diatur dalam UU lain seperti UU PKDRT dan UU Perkawinan.
"Tapi jangan juga kita tumpang tindih karena ada UU PKDRT, ada UU Perkawinan yang di mana di situ sudah masuk di dalamnya," jelasnya.
Terkait kekhwatiran lain bahwa nantinya orang tua tidak bisa mengatur pakaian anaknya, Rahayu menilai itu muncul karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak dibaca secara utuh melainkan hanya dibaca kata per kata sehingga memiliki interpretasi bermacam-macam.
"Karena itu dibaca dari kata-kata kalau saya lihat. Jadi enggak ada unsur seperti itu dan itu hanya interpretasi dari kata-kata yang ada di RUU," jelasnya.
Namun demikian, adanya pro kontra di masyarakat dijadikan masukan bagi Panja dalam membahas RUU ini. Masukan dari manapun akan diterima sebagai aspirasi yang akan masuk dalam pembahasan.
"Kalau ibu Maimon dan teman-teman ingin memberikan masukan kami sangat menanti masukan tersebut," kata politikus Gerindra ini.
Terkait petisi, Rahayu mengatakan bukan saatnya menolak karena belum mendekati pengesahan. Saat ini prosesnya ialah masih menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai kalangan. Langkah selanjutnya akan dibahas pada masa sidang berikutnya karena ada beberapa RUU lain yang juga mendesak untuk dirampungkan. Adanya petisi ini menurutnya karena keinginan masyarakat yang ingin mengetahui maksud dan tujuan RUU ini.
Terkait sikap Fraksi Gerindra, Rahayu mengatakan pihaknya mendukung RUU ini yang ruhnya untuk memberikan perlindungan pada korban kekerasan seksual yang banyak celah hukumnya. Berbagai masukan banyak diterima dari LSM, dan dari para aktivis dan pendamping korban kekerasan seksual.
"Fraksi Gerindra bersama semua fraksi di DPR mendukung pembahasan RUU PKS," ujarnya.
"Kami ingin memastikan jangan sampai di tahun-tahun berikutnya itu ada ratusan ribu korban tidak mendapatkan keadilan karena belum tentu mereka yang melaporkan bisa mendapat keadilan di negara ini. Walaupun mereka melaporkan belum tentu pelakunya bisa jadi tersangka atau terpidana. Itu yang mau kita pastikan ada kejelasan hukum yang melindungi korban dan kelompok rentan," jelasnya.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kasus kekerasan seksual di Indonesia hingga saat ini masih marak di lingkungan masyarakat maupun lingkungan pendidikan
Baca SelengkapnyaKementerian Kesehatan (Kemenkes) menjawab anggapan pemberian kontrasepsi bagi remaja membuka peluang seks bebas bagi pelajar.
Baca SelengkapnyaPuan pun mengingatkan, Indonesia memiliki berbagai regulasi hukum melindungi masyarakat dari tindak kekerasan seksual.
Baca SelengkapnyaKomnas Perempuan menyebut, dengan disahkan RUU PPRT dapat menciptakan kenyamanan dan keamanan bagi para pekerja rumah tangga di tanah air.
Baca SelengkapnyaKetua DPR RI Puan Maharani menyoroti masih banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masih diabaikan pihak kampus
Baca SelengkapnyaPuan meminta aparat kepolisian untuk menindak tegas semua pelaku KDRT dan kekerasan terhadap perempuan juga anak tanpa toleransi.
Baca SelengkapnyaKetua DPR RI Puan Maharani menyebut DPR RI Periode 2019-2024 telah mengesahkan 225 RUU menjadi undang-undang.
Baca SelengkapnyaMenurut Budi, penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar yang diatur PP Kesehatan itu akan ditindaklanjuti.
Baca SelengkapnyaKetua DPR RI Puan Maharani menekankan agar Pemerintah harus segera memberikan pendampingan dan bimbingan keperawatan kepada masyarakat guna mencegah KDRT.
Baca SelengkapnyaTujuan akhir yang ingin kita capai melalui UU TPKS ini adalah memberikan kepentingan terbaik untuk korban.
Baca SelengkapnyaSapto berpendapat RUU Penyiaran berpotensi mengganggu demokrasi di Indonesia.
Baca SelengkapnyaNinik menegaskan mandat penyelesaian karya jurnalistik itu seharunya ada di Dewan Pers.
Baca Selengkapnya