Duduk Perkara Polemik Dosen UI dan Kemendikbud soal Gelar Guru Besar
Merdeka.com - Upaya Sri Mardiyati seorang Dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) untuk memperoleh gelar guru besar berujung gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak Sri, menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses pengajuan karya ilmiahnya tersebut.
Di tengah proses gugatan tersebut, pihak Sri mengungkap, ada upaya perdamaian yang diajukan oleh Kemendikbud Ristek.
Kuasa Hukum Sri, Maqdir Ismail bercerita, kliennya tersebut sempat ditawarkan damai oleh Sekjen Kemendikbud Ristek. Agar mencabut gugatan sebelumnya yang telah dilayangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada awal 2020 silam.
-
Siapa yang mengajukan gugatan ke MK? Diketahui, ada 11 pihak yang menggugat aturan batas usia capres dan cawapres ke MK. Dengan sejumlah petitum.
-
Bagaimana Nurul Indarti bisa jadi Guru Besar? Atas berbagai gelar yang ia terima, Nurul mengaku dia banyak dimudahkan dalam setiap proses yang ia jalani hingga sampai di titik ini.'Terutama karena keluarga saya sangat mendukung. Infrastruktur sosial kekeluargaan saya ini bagus banget untuk mensupport saya berkarier,' kata Nurul dikutip dari Ugm.ac.id.
-
Apa capaian Nurul Indarti di UGM? Nurul Indarti resmi ditetapkan menjadi Guru Besar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Selasa (27/8). Ia resmi menjadi Guru Besar perempuan pertama dari prodi Manajemen dan menjadi satu-satunya Guru Besar aktif dari kalangan perempuan yang ada di FEB UGM.
-
Siapa yang pertama kali mendapat gelar sarjana di Indonesia? Sosok Sosrokartono menjadi salah satu inpirasi, sehingga dibentuk Hari Sarjana Nasional untuk memberikan penghargaan bagi anak bangsa yang telah berhasil menamatkan pendidikan tingginya.
-
Siapa yang mengajukan gugatan praperadilan? Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Bandung Eman Sulaeman mengabulkan permohonan gugatan sidang praperadilan oleh pihak pemohon yakni Pegi Setiawan terhadap Polda Jabar.
"Jadi ada satu pertemuan saya diajak oleh wakil rektor untuk menemui Sekjen. Jadi kalau tidak salah awal-awal Januari lah, 2020," kata Maqdir saat dihubungi merdeka.com, Kamis (13/1).
Dalam pertemuan itu, Maqdir mengatakan, jika mereka menanyakan terkait kesalahan yang ada dalam karya ilmiah Sri, dimana berujung upaya gugatan ke PTUN.
Namun, bukan jawaban yang diterima atas pertanyaan itu. Kata Maqdir, pihak Kemendikbud malah menawarkan agar gugatan di PTUN oleh kliennya itu dicabut dengan balasan, Sri akan diangkat sebagai guru besar melalui Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK).
"Sudah lah perkara ini dihentikan saja, nanti kepada Bu Sri ini kita berikan, gelar guru besar itu melalui NIDK. Nah, kan di dalam dialog itu, kami persoalkan. Sebenarnya kesalahan dari paper ini dimana?" kata Maqdir
Bahkan, lanjut Maqdir, pihaknya dalam dialog itu juga mempersoalkan penguji Profesor Yanuarsyah yang dalam penilaiannya memutuskan jika hasil karya ilmiah Sri tidak layak. Padahal, Maqdir meyakini jika kualifikasi Yanuarsyah tidak sesuai.
"Ya dalam dialog itu ya memang, pihak Kementerian lebih banyak membela diri, mereka tidak mau menunjukan kesalahan itu apa dan dimana? Gitu loh. Mereka hanya mengatakan bahwa ini menurut penilaian dari Prof Yanuarsyah itu tidak layak untuk naik pangkat (dapat gelar guru besar)," ujar Maqdir.
Padahal, Maqdir menyebut, jika karya ilmiah Sri telah lolos dan terdaftar dalam scopus yang merupakan database jurnal ilmiah secara internasional. Dimana hasil paper dari Sri telah lolos uji dari sejumlah editor berbagai negara.
"Ini kan sudah melewati pemeriksaan editor dari jurnal itu kan ada orang India, Turki, Jepang, China dan Amerika kalau tidak salah, ada lima sampai enam negara profesor dari berbagai negara yang memeriksa itu," katanya.
"Nah ini tiba-tiba datang, orang yang ilmunya kami yakini betul, dia tidak menguasai persoalan itu. Pada bidang yang ditulis dalam bidang Bu Sri. Yang mengatakan bahwa kemudian ini diputuskan ini tidak layak naik pangkat," tambahnya.
Sedangkan apabila alasan waktu pengajuan yang sangat terbatas dengan waktu pensiun dari Sri pada saat itu hanya diberikan waktu sekitar 21 hari, Maqdir telah membantunya dengan beberapa bukti pengajuan karya ilmiah yang rampung hanya beberapa hari.
"Jadi persoalan kita, ini ada apa sebenarnya, meskipun ada juga yang mengatakan ini soal waktu. Itu tidak bisa jadi alasan karena kami ada bukti ada yang cuma 2 minggu, 10 hari bisa mereka naik pangkat jadi guru besar gitu loh," ujarnya.
Sehingga Sri, kata Maqdir, sangat ingin membongkar apa yang terjadi di balik ini. Dimana proses yang cukup panjang telah dilaluinya sejak 2016 telah mendapatkan rekomendasi dari fakultas, dilanjutkan universitas hingga ke kementerian untuk menindaklanjuti hasil karyanya.
"Saya terus terang, kami tidak tahu ada apa sebenarnya. Kami hanya menduga-duga saja ada yang salah dalam proses penilaian ini. Nah inilah yang saya sampaikan ke Sekjen ketika itu. Nah itulah dikatakan supaya kita terus kaya gini, supaya kita bisa selesaikan secara damai ya sudahlah jangan diteruskan perkara ini. Nanti kepada Bu Sri nanti kami proses, pengangkatan dia melalui NIDK. Itu yang saya dengar sendiri," bebernya.
Bertemu Lagi
Setelah pertemuan di awal Januari, Maqdir mengatakan, jika pihak pimpinan UI kembali diajak bertemu sekitar Maret untuk membicarakan persoalan karya ilmiah dari Sri. Dengan tetap menyatakan bahwa karya ilmiah tersebut tidaklah layak, dengan tawaran yang sama mengangkat menjadi guru besar melalui jalur NIDK.
"Sekali lagi mereka menyampaikan bahwa paper ini tidak layak, nah akan tetapi tetap ditawarkan supaya ini tidak usah diteruskan perkaranya. Dan kepada Bu Sri nanti tetap diberikan Pangkat guru besar melalui NIDK gitu," ujarnya.
Namun demikian, setelah mendengar hasil pertemuan tersebut Sri, kata Maqdir, tetap pada tujuan awalnya. Dimana mereka mempersoalkan tindakan kesewenang-wenangan atas hasil penilaian tidak layaknya hasil karya ilmiah tersebut dengan dalil yang tidak jelas.
"Bagi kami dan klien kami bukan persoalan pangkatnya yang masalah. Tetapi kesewenang- wenangan mereka dengan menunjuk orang yang tidak jelas kualifikasinya, meskipun dia guru besar ya silakan dia guru besar. Tetapi kan kualifikasinya kan tidak di situ. Yang memberikan penilaian ini, ini lah yang jadi alasan keberatan kami," katanya.
"Iya betul, jadi begini, karena mereka tidak bisa menunjukan. Kesan kalau Bu Sri ini papernya salah tunjukan saja ini loh salahnya," tambahnya.
Termasuk, Maqdir juga mempersoalkan hasil penilaian dari salah satu saksi yang dihadirkan dalam persidangan JR di MK, Prof. Sutikno yang menyebutkan ada ketidakkonsistenan dalam penyebutan. Padahal, dia bukanlah orang yang berwenangan untuk memberikan penilaian itu.
"Lah dia kan bukan editor, Urusan tata kalimat, susunan kalimat itukan urusannya sudah selesai ketika editor meloloskan itu. Karena tidak ada syarat-syarat untuk kelulusan itu, ada pada kewenangan mereka yang melakukan penelitian ini untuk menolak itu," ujarnya
Dugaan Kartel
Maqdir menduga dalam permohonannya perkara ini, ada kartel yang bermain. Dia yang menentukan kelulusan seseorang menjadi guru besar. Dugaan itu, dasarnya dari kejanggalan alasan ditolaknya karya ilmiah Sri.
"Makanya itu yang saya pernah menulis, bahkan di dalam permohonan kami ini. Kami menduga ini ada kartel di Kementerian itu. Itu yang kita ingin bongkar kita ingin hancurkan, tidak boleh ada kartel di situ," ungkapnya.
"Karena ada juga rumor yang beredar selama ini, kalau mau cepat urusan di sana itu. Sering-sering beranjangsana dengan bijaksana, saya tidak ngerti apa maksudnya ya," tambahnya.
Bahkan, keyakinan Maqdir semakin kuat dengan keterangan dari salah satu Anggota Hakim Konstitusi, Aswanto yang juga menyoroti persoalan pengangkatan guru besar. Dimana dalam sidang, dirinya juga mempunyai pengalaman hampir serupa dengan yang dialami Sri terkait pengangkatan guru besar.
"Saya kira pernyataan Aswanto kemarin cukup tegas, jangan ada dusta gitu loh. Apalagi beliau juga menyatakan , bahwa teman-temannya pernah mengalami seperti itu. Nah itu artinya, bukan hanya kami yang merasakan tapi orang banyak yang merasakan itu," kata Maqdir.
Rela Tunda Pensiun dan Tak Digaji
Lebih lanjut, Maqdir mengatakan jika tujuan kliennya bukan hanya sekadar mendapatkan gelar guru besar. Namun soal tindakan kesewenang-wenangan yang diterimanya ini lah yang jadi persoalan.
"Bagi klien kami ini, bukan soal naik pangkat dapat gelar guru besar itu atau tidak. Tetapi aturan main ini harus ditegakan, tidak bisa mereka semena-mena,” katanya.
Kalau hanya persoalan pangkat guru besar, lanjut Maqdir, pastinya tawaran dengan NIDK itu sudah diterima jauh-jauh hari dan tidak perlu sampai naik perkara ini hingga ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan, demi menuntaskan perkara ini, Sri rela untuk menunda waktu pensiunnya dan mengajar tanpa digaji.
"Jadi dia kan sudah menolak, dari awal dia terima saja, sudah clear. Kamu bisa bayangkan enggak sejak perkara ini ditolak untuk naik pangkat Bu Sri ini tidak ajukan pensiun sampai sekarang. Dua tahun lebih dia tidak terima gaji, meskipun masih tetap melaksanakan kewajibannya," ujarnya.
"Itu untuk sekadar menunjukkan, persoalannya kepada klien kami bukan soal uang bukan soal jabatan tetapi soal kebenaran," tambahnya.
Untuk diketahui, jika Sri melayangkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen). Gugatan dilakukan buntut dari ditolaknya karya ilmiah untuk menjadi guru besar di UI.
Sri adalah seorang dosen dimana diusulkan Universitas Indonesia untuk diangkat menjadi guru besar atau guru besar pada tahun 2019, setelah melalui proses panjang di internal UI. Termasuk penilaian karya ilmiah oleh guru besar bidang matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun, usulan tersebut ditolak oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam hal ini Ditjen Dikti. Untuk beberapa alasan, seperti karya ilmiah tidak memenuhi syarat. Padahal, UI telah menyetujui dan telah mengkonfirmasi hasil validasi karya ilmiah Pemohon.
Alhasil, dirinya melayangkan judicial review ke MK. Dalil Sri selaku pemohon pada Pasal 50 ayat (4) UU Guru dan Dosen, pengangkatan dan penetapan jabatan akademik tertentu, termasuk guru besar, harus menjadi kewenangan satuan pendidikan tinggi atau universitas atau rektor.
Namun karena adanya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Tahun 2019 yang ditetapkan menteri, maka kewenangan pengangkatan dan pengangkatan jabatan akademik tersebut menjadi kewenangan direktorat pendidikan tinggi.
Hingga saat ini, perkara JR di MK masih berlangsung. Karena masih banyak permasalahan yang harus dibuktikan, untuk kembali memberikan kesempatan bagi para pihak untuk sidang pembuktian.
"Jadi, nanti Kepaniteraan akan memberitahu kapan sidang selanjutnya, apakah pihak terkait mengajukan tetap mengajukan dua saksi dan 1 ahli," kata Hakim Ketua Konstitusi, Anwar Usman yang memimpin sidang.
Jawaban Kemendikbud
Dalam sidang MK, pihak Kemendikbud Ristek telah menjawab terkait polemik tersebut. Direktur Sumber Daya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi, Kemendikbud Ristek Dikti, Muhammad Sofwan Effendi, menjelaskan, ketika sebuah usulan ditolak, maka pihaknya akan melakukan dua hal. Pertama mengajukan audiensi kepada universitasnya, lalu bila tak ada kesepakatan, telah disiapkan tim komisi banding.
"Karena itu, pada tanggal 5 Maret 2020, Dirjen Dikti melakukan audiensi. Itu kami yang mengundang. Tidak atas usul universitas, tapi atas usul direktorat sumber daya. Menawarkan solusi agar Pemohon mendapatkan jalan keluar, dapat diangkat menjadi profesor, tetapi dengan status NIDK karena sudah melewati batas usia pensiun," ujarnya.
Namun, Sofwan mengatakan, kesempatan yang diberikan disertai catatan serta klarifikasi, bukan diberi kesempatan, maupun langsung menjadi guru besar. Melainkan kesempatan mengajukan NIDK dengan perbaikan publikasi ilmiah baru. Sehingga, nanti akan dinilai lagi dan statusnya diperpanjang sampai dengan 5 tahun.
"Akan tetapi, sampai dengan diajukannya gugatan ke PTUN maupun perdata, tidak ada upaya perbaikan atau penyempurnaan usulan dan persyaratan dari Pemohon Melalui Universitas Indonesia dan Pemohon juga sudah memasuki batas usia pensiun," katanya.
"Terhitung mulai tanggal 1 November 2019. Maka, Dirjen Dikti tidak dapat meneruskan usulan penggugat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk dapat ditetapkan kenaikan jabatan akademiknya menjadi profesor atau guru besar," tambahnya.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Penangguhan gelar doktor terhadap Bahlil, ditangguhkan Universitas Indonesia setelah viral di media sosial.
Baca SelengkapnyaDua guru besar UNS Surakarta tak terima gelar profesor mereka dicopot Mendikbud Ristek Nadiem Makarim. Keduanya mengajukan keberatan dan gugatan ke PTUN.
Baca SelengkapnyaSelain kirim surat keberatan ke Mendikbud Ristek Nadiem Makariem, dua profesor ini melayangkan gugatan ke PTUN.
Baca SelengkapnyaRektor memastikan kegaduhan pascapencopotan gelar guru besar 2 profesor tak menggangu proses belajar mengajar.
Baca SelengkapnyaMajelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhakn sanksi pemberhentian dari posisi ketua MK kepada Anwar Usman.
Baca SelengkapnyaKoentjoro menerangkan jika pihaknya menilai masa pemerintahan Jokowi saat ini telah melakukan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi
Baca SelengkapnyaDewan Guru Besar (DGB) UI akan melakukan sidang etik terhadap potensi pelanggaran proses pembimbingan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam Program Doktor (S3)
Baca SelengkapnyaGelar guru besar dua profesor di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dicabut Mendikbud, Nadiem Makarim. Keduanya yakni Hasan Fauzi dan Tri Atmojo Kusmayadi.
Baca SelengkapnyaProf Sri maupun mahasiswanya sudah diperiksa polisi untuk dimintai keterangan.
Baca SelengkapnyaPihak kampus saat ini tengah melakukan investigasi terkait kebenaran kasus pelecehan seksual itu.
Baca SelengkapnyaGugatan ini diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia bernama Brahma Aryana.
Baca SelengkapnyaTim Kuasa Hukum Anwar Usman hanya irit bicara perihal agenda pemeriksaan awal sidang.
Baca Selengkapnya